HIDUPKATOLIK.COM – UDARA London pagi ini menusuk hingga ke tulang, dengan suhu yang bertengger di angka 7 derajat Celsius — cukup menggigit bagi orang Indonesia yang lebih terbiasa dengan hangatnya cuaca tropis. Napas menguap tipis di udara saat kaki melangkah di trotoar yang masih sedikit basah sisa hujan semalam. Perjalanan ke Paroki – Queensway Gereja Our Lady Queen of Heaven ‘Maria Ratu Surga’, Keuskupan Westminster, London, Inggris, dari Stasiun Paddington bisa ditempuh dalam waktu 17 menit dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan menuju gereja, mata akan dimanjakan dengan deretan bangunan tua bergaya Victoria, kafe-kafe kecil dengan aroma kopi yang menggoda, hingga sesekali bunga ceri berwarna merah muda terbawa angin awal musim semi.

HIDUP/Felicia Permata Hanggu
Memasuki pintu gereja, seorang imam berparas Amerika Latin yang membuka pintu dan mempersilakan umat untuk hadir. Misa harian pagi itu hanya dihadiri oleh tujuh orang umat dengan seorang koster perempuan yang telah memasuki masa senja. Hanya ada satu laki-laki muda yang ikut dalam Misa. Pagi itu, ia bertugas sebagai lektor. Usai Misa, kepala paroki berdiri di depan pintu menyapa umat satu persatu sembari membagikan berkat personal.
Desain Neo-Gotik
Gereja Queensway berdiri di tengah deretan restoran makanan. Gedungnya tampak anggun dibandingkan dengan gedung lainnya. Berdasarkan catatan sejarah, gereja ini dibandun pada tahun 1868 untuk United Methodist Free Church ‘Gereja Metodis’, menggantikan sebuah kapel kecil Wesleyan Methodist dari tahun 1828. Meskipun arsiteknya tidak diketahui, tetapi arsitektur gereja ini tampak eksternalnya bergaya neo-gotik yang menonjol di antara deretan bangunan bata dan plester di area Queensway. Sedangkan bagian dalamnya serba modern tetapi dirancang dalam bentuk tapal kuda.
Pada tahun 1909, bangunan ini pun dijual kepada West London Ethical Society, yang kemudian menyewakannya sekitar tahun 1946 kepada West London Unitarian Fellowship. Kemudian pada bulan Maret 1954, gereja ini dibeli seharga £22.000 poundsterling (ditambah £1.000 poundsterling untuk organ) oleh Pastor Horace Tennant, Superior dari Saint Mary of the Angels, Bayswater.

(HIDUP/Felicia Permata Hanggu)
Gereja ini pun resmi dibuka untuk penggunaan umat Katolik oleh Kardinal Griffin pada 12 September 1954. Oleh karena itu, Queensway didaulat menjadi paroki independen pada tahun 1973. Pada awal 1990-an, aula gereja direnovasi dan diberi nama Carpenter Hall, sebagai penghormatan kepada Pastor Philip Carpenter, kepala paroki pertama.
Dalam perkembangan waktu, memasuki tahun milenium, yakni pada tahun 2000-2002, arsitek Gerald Murphy memimpin renovasi dan penataan ulang gereja dengan biaya sebesar £300.000 poundsterling. Proyek ini mencakup penghapusan lantai miring dari tahun 1920-an dan menggantinya dengan lantai baru pada level aslinya, penghapusan pagar altar, pemasangan bangku baru, perabotan baru untuk tempat suci (termasuk altar menggantikan altar lama yang menempel di dinding), pembangunan ruang rekonsiliasi di bekas area pencahayaan, serta pemasangan organ dan sistem pencahayaan baru. Gereja ini kemudian dikonsekrasi oleh Kardinal Cormac Murphy-O’Connor pada 21 April 2002.
Ritus Gheez Ethiopia
Selain Ritus Latin, paroki ini menjadi salah satu dari sedikit gereja di Keuskupan Westminster yang melaksanakan Ritus Gheez Etiopia. Misa dengan ritus ini diadakan setiap hari Minggu pukul 13.00 waktu setempat. Ritus Gheez Etiopia adalah salah satu Tradisi Kristen Oriental kuno yang bermukim di Inggris. Kapelan Ritus Gheez didirikan di London berkat upaya tak kenal lelah dari Abba (Pastor) Kidane Lebasi, kapelan Ritus Gheez pertama di London. Kardinal Basil Hume sendiri mendukung dan membantu kapelan ini berakar kuat di Keuskupan Westminster.
Secara terminologi, Gheez (Ge’ez) adalah salah satu dari empat bahasa Semit, bersama dengan Ibrani, Aram, dan Arab. Dahulu, Gheez merupakan bahasa lisan yang dipakai Kerajaan Aksum, sebuah kerajaan yang berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ethiopia dan Eritrea (dahulu disebut Abyssinia). Saat ini, penggunaan bahasa Gheez terbatas pada doa liturgis dan studi akademis. Tiga bahasa lain yang berasal dari Gheez adalah Tigre, Tigrinia, dan Amharik, yang terutama digunakan oleh masyarakat Eritrea dan Ethiopia.
Dalam lingkup struktur Katolik Roma, tidak hanya ritus latin yang diakui tetapi juga ritus timur yang kita kenal dengan Gereja Timur. Gereja Timur mencakup semua gereja yang berada di bagian timur Kekaisaran Romawi, berbeda dengan Gereja Barat (Latin) yang berada di bagian barat kekaisaran.
Dalam penggunaan modern, Gereja Timur terbagi menjadi tiga kelompok utama: pertama Gereja Ortodoks Oriental, yang menerima tiga konsili ekumenis pertama. Kelompok ini mencakup Gereja Armenia, Koptik, Etiopia-Eritrea, Yakobit Suriah, dan Malankar India. Kedua, Gereja Ortodoks Timur, yang menerima tujuh konsili ekumenis pertama. Mereka berafiliasi dengan gereja-gereja patriarkat kuno seperti Antiokhia, Aleksandria, Konstantinopel, Yerusalem, dan kemudian Moskow. Ketiga, Gereja Katolik Timur, yang berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Roma dan sering disebut sebagai “gereja uniat.” Ritus Gheez Ethiopia termasuk dalam kelompok ini. Gereja-gereja Katolik Timur mempertahankan tradisi asli mereka dan mencakup gereja-gereja dari tradisi Ortodoks, Ortodoks Oriental, dan Gereja Timur Suriah, serta lainnya.

Penulis bersama Abba (pastor) dari Ritus Gheez Ethiopia. (HIDUP/Felicia Permata Hanggu)
Meskipun tidak begitu dikenal di Indonesia, menghadiri Misa dengan ritus Gheez Ethiopia adalah pengalaman yang memperkaya iman. Suara nyanyian kuno yang melantun dalam bahasa Gheez, aroma dupa yang memenuhi udara, dan irama liturgi yang terasa begitu berbeda mengingatkan pada misa inkulturasi yang akrab di tanah air. Namun, tidak semua orang bisa langsung memahami keunikannya. Berbeda dengan sepasang turis dari Polandia yang penulis jumpai — mereka tampak kebingungan, bahkan bertanya, “Apakah ini benar Misa Katolik?”
Di negeri asing ini, hati penulis justru dipenuhi rasa syukur. Gereja Katolik di Indonesia telah lama terbuka terhadap keberagaman budaya, menjadikannya ladang subur untuk menemukan Tuhan dalam warna-warni tradisi yang berbeda. Di mana pun berada, iman tetap satu, meski bahasa dan cara penyampaiannya beragam.
Felicia Permata Hanggu dari London, Inggris
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-79, Minggu, 6 April 2025