web page hit counter
Kamis, 17 April 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung OFM Can: Mengikuti Raja yang Menunggang Keledai

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 13 April 2025 Minggu Palma. Luk.19:28-40; Yes.50:4-7; Mzm.22:8-9, 17-18a, 19-20, 23-24; Flp.2:6-11; Luk.22:14-23:56 (panjang) atau Luk.23:1-49 (singkat)

Hari ini kita memasuki gerbang Pekan Suci. Kita mengangkat daun palma dan menyerukan “Hosana!”, mengenang saat Yesus memasuki Yerusalem. Injil Lukas menampilkan sebuah gambaran yang mengejutkan: Raja yang dielu-elukan itu menunggang keledai muda (Luk. 19:28-40), bukan kuda perang, bukan tandu kehormatan, tetapi binatang sederhana, sulit dikendalikan, lambang kerendahan hati dan damai.

Yesus tidak datang sebagai penguasa duniawi. Ia datang sebagai Raja Damai, Raja yang mengosongkan diri, bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Itulah gema dari bacaan kedua hari ini, kidung kristologis dalam Filipi 2:6-11. Paulus menulis, “Kristus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.” Sebaliknya, Ia mengosongkan diri (kenosis), mengambil rupa seorang hamba, dan taat sampai mati di salib.

Menurut Raymond E. Brown, makna terdalam dari kenosis ini bukanlah sekadar pelepasan kuasa, melainkan pemenuhan misi kasih. Yesus menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada dominasi, tetapi pada penyerahan diri kepada kehendak Bapa demi keselamatan dunia. Dalam pandangan Brown, pengosongan diri ini tidak membuat Kristus lemah. Justru di dalam kerendahan dan ketaatan itulah terletak kekuatan ilahi yang paling agung. Kristus tidak menyerahkan diri karena kalah, tetapi karena kasih yang sempurna. Kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menebus dunia yang terluka.

Baca Juga:  Para Imam Perbarui Janji Imamat, Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku: Imamat sebagai Jalan Suci

Inilah logika Injil yang sulit dicerna dunia: bahwa kemenangan sejati diraih bukan melalui kekuasaan, melainkan melalui pengorbanan. Salib menjadi takhta, penderitaan menjadi jalan kemuliaan, dan kematian menjadi benih kehidupan baru. Dalam Spe Salvi, Paus Benediktus XVI menegaskan, “Harapan kita bukanlah pelarian dari penderitaan, melainkan keberanian untuk memasukinya bersama Kristus.”

Dalam dunia yang mengagungkan pencapaian cepat, prestise, dan kekuasaan, cara Yesus tampak seperti kekalahan. Tapi justru di sinilah letak daya Injil. Seperti dikatakan Paus Fransiskus: “Yesus menang bukan karena Ia kuat dalam kekuasaan, tetapi karena Ia kuat dalam kasih.” (Homili Minggu Palma, 2017).

Zaman ini menawarkan beragam ilusi kekuatan: ketergantungan pada citra diri di media sosial, godaan untuk tampil dominan dan selalu benar, serta kecenderungan untuk mengejar kenyamanan instan dan menghindari penderitaan. Banyak orang terdorong untuk membangun identitas berdasarkan penampilan luar dan pengakuan publik, sehingga lupa pada nilai-nilai kedalaman hati, kejujuran, dan kerendahan. Dalam budaya yang mengagungkan keberhasilan cepat dan pengaruh luas, kesetiaan pada jalan salib Yesus terasa seperti pilihan yang asing dan sulit dimengerti.

Baca Juga:  Ketika Tuhan Memerlukan Seekor Keledai

Namun, justru dalam jalan yang sepi dan tak menarik di mata dunia itulah Yesus memanggil kita untuk mengikut-Nya. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kontrol atau kemegahan, tetapi pada kasih yang rela berkorban, kerendahan hati yang bersedia dilupakan, dan kesetiaan yang tidak tergantung pada hasil instan. Mengikuti Yesus berarti menolak ilusi kuasa demi kesetiaan pada kehendak Allah, bahkan ketika jalan itu penuh tantangan. Inilah undangan Prapaskah: berjalan bersama Raja yang menunggang keledai, diam, rendah hati, namun penuh kuasa kasih yang mengubah dunia.

Dalam terang Tahun Yubileum Pengharapan 2025, Minggu Palma ini mengingatkan kita bahwa harapan Kristen tidak lahir dari janji dunia, melainkan dari cinta yang disalibkan. Kita dipanggil bukan hanya untuk mengagumi Yesus yang masuk ke Yerusalem, tapi juga untuk mengikuti-Nya ke Kalvari, memikul salib, dan membawa cahaya pengampunan ke dalam dunia yang diliputi kebencian.

Baca Juga:  Menyambut Paskah, Yayasan I J. Kasimo Kembali Gelar Bakti Sosial Kesehatan

Yesus tidak pernah menjanjikan perjalanan yang mudah, tapi Ia menjanjikan bahwa kita tidak akan berjalan sendirian. Maka, marilah kita mengosongkan diri dari kesombongan dan ketakutan, agar kita dapat diisi oleh kasih-Nya dan menjadi saksi harapan dalam dunia yang haus akan belas kasih.

Hari ini kita berseru “Hosana!” tapi pertanyaan bagi kita adalah: apakah kita akan tetap bersama-Nya ketika sorak sorai berubah menjadi teriakan, “Salibkan Dia!?

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 15, Tahun Ke-79, Minggu, 13 April 2025

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles