web page hit counter
Rabu, 16 April 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

APA DENGAN RAMALAN

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Kita semua pasti pernah denger tentang membaca garis tangan, membaca nasib, horoskop, ramalan pakai jam, hari, bulan, tahun, dan sebagainya. Atau juga ada yang pernah dengar ramal pakai kartu, pakai benda tertentu, dan sebagainya. Atau jangan-jangan kita sendiri pelakunya? Terlepas dari apapun pandangan pribadi kita, adalah berguna bagi kita sebagai umat Katolik untuk melihat sekilas pandangan Gereja soal praktik ramalan.

Kalau kita baca dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ramalan berasal dari akar kata ‘ramal’. Ramal diartikan sebagai pasir yang dipakai untuk melihat nasib atau mengetahui apa yang akan terjadi. Kita tidak tahu kenapa ‘pasir’, tetapi – mengingat praktik ramalan dahulu – adalah masuk akal berasumsi bahwa pasir adalah salah satu medium yang dipakai buat melakukan kegiatan meramal ini. Oleh karena itu terlepas dari medianya apa, ramalan berarti adalah hasil dari kegiatan meramal. Yaitu usaha untuk melihat nasib atau mengetahui apa yang akan terjadi. Ramalan biasanya menggunakan kekuatan supranatural untuk melakukan hal tersebut. Sebagai manusia, tentu saja tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Namun, kegiatan meramal mengasumsikan bahwa dengan menggunakan kekuatan supranatural, manusia bisa memperoleh bantuan buat mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.

Kegiatan meramal mungkin adalah salah satu aktivitas supranatural paling tua dalam budaya manusia. Manusia kuno menggunakan berbagai cara dan media buat mengetahui masa depan dari sejak zaman dulu kala. Bangsa Cina kuno misalnya menggunakan tulang hewan atau ciamsi untuk mengetahui masa depan atau kehendak dari para leluhur. Orang Romawi kuno meramal masa depan seperti kemenangan atau kekalahan dalam perang dengan memperhatikan gerak-gerik burung di udara, dan seterusnya. Yang paling terkenal salah satunya adalah Orakel dari Delphi, yang duduk di atas tripod di atas sebuah lubang di kuil di Yunani sambil ‘kerasukan’ supaya bisa berkomunikasi dengan dewa matahari Apollo.

Baca Juga:  Uskup Amboina, Mgr. Seno Ngutra: Imam Harus Merayakan Ekaristi dengan Sempurna

Oleh karena itu, kita lihat ramalan sudah dipraktikkan manusia sejak zaman purba. Namun, dalam Katekismus Gereja Katolik 2116 tertulis:

“Segala macam ramalan harus ditolak: mempergunakan setan dan roh jahat, pemanggilan arwah atau tindakan-tindakan lain, yang tentangnya orang berpendapat tanpa alasan, seakan-akan mereka dapat “membuka tabir” masa depan. Di balik horoskop, astrologi, membaca tangan, penafsiran pratanda dan orakel (petunjuk gaib), paranormal dan menanyai medium, terselubung kehendak supaya berkuasa atas waktu, sejarah dan akhirnya atas manusia; demikian pula keinginan menarik perhatian kekuatan-kekuatan gaib. Ini bertentangan dengan penghormatan dalam rasa takwa yang penuh kasih, yang hanya kita berikan kepada Allah.”

Singkatnya, Gereja sama sekali menolak ramalan apapun itu bentuk dan rupanya. Kalau kita perhatikan pula, hampir semua ramalan dalam sejarah itu motivasinya bukan hanya ingin tahu masa depan semata. Biasanya terdapat pula ‘maksud tersembunyi’ untuk menggunakan ramalan itu demi kepentingan si peminta ramalan. Inilah yang disebut sama katekismus tadi ‘terselubung kehendak supaya berkuasa atas waktu, sejarah, dan akhirnya atas manusia’. Atau bahkan dapat dikatakan supaya menjadi mahakuasa. Jika kita ingat perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah, “Akulah Tuhan Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” “allah” di sini (dengan ‘a’ kecil) bukan hanya sesembahan atau berhala lain. Semua hal yang mengalihkan kita dari berbakti dan hanya memuja Tuhan Allah saja itu juga merupakan “allah”. Termasuk juga “allah-allah” zaman modern seperti kekayaan, kekuasaan, keterkenalan, kehebatan, dan lainnya. Tuhan Allah saja memperingatkan supaya tidak percaya kepada allah-allah lain yang mengalihkan kita dari mengandalkan kekuatan-Nya. Oleh karena itu, ramalan yang jelas-jelas bukti meminta petunjuk dari hal-hal lain selain Tuhan Allah tentu saja jelas dilarang dan ditentang keras Gereja Katolik.

Baca Juga:  Gereja di Ujung Jari “Uskup Online”

Catholic Encyclopedia menyebutkan bahwa cara-cara mendapatkan pengetahuan tentang masa depan aka meramal itu ‘tidak sempurna’ dan ‘tidak sah’. Bahkan untuk cara-cara ramalan yang sepertinya tidak menggunakan kekuatan supranatural secara langsung. Mengapa demikian? Tidak lain tidak bukan karena maksud memperolehnya yang jelas salah, yaitu supaya bisa mengetahui hal-hal yang secara kodrati manusia tidak seharusnya tahu.

Di Perjanjian Lama misalnya, Ulangan 18: 10-15 secara eksplisit mengecam praktik-praktik seperti pengorbanan manusia, sihir, mantra, sampai ramalan yang disebut sebagai kekejian atau kejahatan di mata Tuhan. Selain itu, di Perjanjian Baru juga ada Rasul Paulus yang mengecam Elimas si tukang sihir yang hendak menghalangi pekerjaan pewartaannya. Orang kudus lainnya yang juga diketahui mengutuk praktik perdukunan dan ramalan adalah Santo Agustinus dari Hippo, yang menuliskan bahwa tujuan dari ramalan ini yang sumbernya dari setan tak lain tak bukan ialah buat menyesatkan umat manusia.

Salah satu bentuk ramalan yang populer di kalangan masyarakat dulu sampai sekarang adalah astrologi. Yaitu membaca ilmu perbintangan dengan tujuan memprediksi masa depan atau traits sesuatu atau seseorang memakai gerakan benda langit. Memang ada beberapa individu dan kelompok dalam Gereja dan Kekristenan zaman dulu yang menggunakan astrologi. Namun ini terjadi karena ilmu astrologi dan astronomi yang kita kenal sekarang belum terpisahkan dengan jelas sampai era modern. Dengan sudah berkembangnya dua ilmu ini, maka Gereja – seperti halnya juga sains – memperlakukan dua disiplin ini sebagai disiplin yang terpisah. Gereja mengecam dan melarang astrologi. Namun Gereja tidak mengecam atau melarang astronomi. Ilmu astronomi adalah ilmu yang sahih secara saintifik mempelajari pergerakan benda langit yang mempengaruhi musim dan pasang surut laut di Bumi. Jelas beda dengan astrologi yang tadi kita sebutkan. Gereja tidak anti-sains, tetapi Gereja sangat anti-sihir karena sihir atau ramalan itu bertentangan dengan kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa.

Baca Juga:  Menangkap Denyut Keberagaman di Kota London

Untuk merangkum semuanya, Gereja tidak menentang ramalan yang berdasarkan bukti ilmiah sahih seperti ramalan cuaca atau ramalan pasang surut air laut. Mereka adalah cara yang sah untuk memahami dunia sekitar kita yang diciptakan oleh Tuhan untuk kebaikan manusia. Namun, Gereja jelas menentang praktik ramalan yang menggunakan kekuatan supranatural lain baik langsung maupun tidak langsung. Jenis ramalan ini harus dihindari sebab menjadi pintu masuk bagi si jahat ke dalam jiwa manusia, baik yang diramal maupun yang meramal.

Michael Jason Saputra, OMK Paroki Alam Sutera, Tangerang Selatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles