HIDUPKATOLIK.COM – Pastor Hertanto yang terkasih, saya punya saudara. Dulu beragama Katolik, setelah menikah menjadi non-Katolik. Tapi saudara saya ini taat dalam menjalankan ajaran agamanya yang baru, sama seperti ketika dia masih beragama Katolik. Saya melihat hal ini tidak masalah, toh iman memiliki hubungan vertikal: pribadi dan Tuhan. Pertanyaan saya: bagaimana Gereja Katolik melihat fenomena seperti ini, pindah agama karena alasan tertentu?
Sophia
NTT
SOPHIA yang baik, ada beberapa hal menarik dalam pertanyaanmu. Pertama, pindah agama termasuk dalam tiga tindakan yang berlawanan dengan iman (bdk. Kitab Hukum Kanonik – KHK 751), yaitu 1) heresi (bidaah): menyangkal dengan membandel suatu kebenaran yang harus diimani dengan sikap iman ilahi dan Katolik sesudah penerimaan baptis, 2) murtad (apostasia), yaitu bila orang menyangkal iman Kristiani secara menyeluruh, dan 3) skisma: menolak taat pada Paus atau menolak persekutuan dengan anggota-angota Gereja yang tunduk kepadanya. Katekismus Gereja Katolik menyebut juga ketidakpercayaan (infidelitas), yaitu bila orang sesudah mendengar kebenaran Katolik dan memahaminya, tetapi tidak mau menerimanya (KGK 2089). Ketidakpercayaan terjadi sebelum orang bergabung dalam Gereja Katolik, sedangkan heresi, murtad, dan skisma terjadi setelah orang menjadi anggota. Pindah agama atau bergabung dalam gereja lain biasanya disebut murtad.
Kedua, secara moral murtad termasuk dosa berat, karena dengan tahu dan mau orang menolak Kristus, yang adalah jalan, hidup, dan kebenaran. Namun, kalau bicara dosa biasanya dilihat juga motivasinya. Bila orang pindah dan kemudian memegang teguh ajaran yang jelas-jelas bertentangan dengan iman Katolik tentulah berat. Juga lebih berat bila kepindahan itu dilakukan dengan bebas, bukan terpaksa, lalu menjadi ateis dan melawan Gereja Katolik. Pindah karena menikah biasanya dilakukan tidak dengan hati yang bebas benar, meskipun motivasinya itu bisa berkembang setelahnya. Toh kepindahan seperti ini juga patut disayangkan, sebab meskipun terpaksa, faktanya mereka meninggalkan Kristus dan Gerejanya. Gereja Katolik selalu berharap agar nanti mereka kembali, sebab meterai baptisan yang menjadikan mereka anak Allah tidak hilang, hanya tak berdaya.
Ketiga, orang yang pindah agama tidak bisa lagi menerima rahmat-rahmat yang dipercayakan kepada Gereja Katolik untuk diberikan kepada anggota-anggotanya. Dalam KHK konsekuensi ini disebut sebagai ekskomunikasi (No. 1364). Mereka tidak boleh menyambut Komuni, Sakramen Krisma, Pengurapan Orang Sakit, dan sakramen-sakramen lainnya. Juga pelayanan sakramentali (misalnya: pemberkatan rumah, pemakaman Katolik) tidak lagi diberikan. Mengapa tidak boleh? Karena mereka sendiri tidak mau menerimanya melalui keputusannya meninggalkan Gereja Katolik.
Pertanyaannya, apakah orang yang pindah agama dapat diselamatkan? Tentu dalam hal ini Tuhan saja yang bisa menentukan. Gereja Katolik juga percaya bahwa Roh Kudus berkarya dalam berbagai cara untuk mendatangkan rahmat bagi siapa saja. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang” (NA 2). Namun Nostra Aetate sama sekali tidak mengatakan bahwa semua agama sama saja. Gereja Katolik yakin benar bahwa dalam Gereja Katolik telah dipercayakan sarana rahmat yang perlu untuk keselamatan. “Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh. 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.”
Inilah hal berikut yang penting dari pertanyaan Sophia. Agama tidak hanya urusan vertikal manusia dengan Tuhan secara sendiri-sendiri. Sebaliknya iman pada dan dalam Gereja juga penting. Gereja adalah Tubuh Kristus, dengan Kristus sebagai kepalanya. Di dalam persekutuan Gereja iman diwartakan, dijelaskan secara tepat dan dipupuk sehingga berbuah. Maka persekutuan juga penting.
Pastor Gregorius Hertanto, MSC
Dosen di STF Seminari Pineleng
Sulawesi Utara
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 13, Tahun Ke-79, Minggu, 30 Maret 2025