web page hit counter
Jumat, 25 April 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF: Kita Harus Menjemput Bola

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – APRESIASI ini seolah melecut semangat para seminaris dari Seminari Yohanes Don Bosco Samarinda mengikuti pelatihan Membaca, Menulis, dan Mengedit di Wisma Keuskupan Agung Samarinda (KASRI) dari tanggal 7-9 Maret 2023 l. Mgr. Yustinus baru bisa membuka secara resmi acara ini pada malam hari pertama karena baru tiba dari Jakarta. Pelatihan sudah dimulai sejak siang hari. Acara ini difasilitasi paguyuban para eks-seminari/imam dari pelbagai seminari di Indonesia ini (Paguyuban Gembala Utama, PGU). Uskup menyambut gembira pelatihan perdana ini mengingat tantangan zaman yang dihadapi para seminaris saat ini dan ke depan (kelak mereka menjadi imam) tidaklah ringan.

Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto (bediri di baris tengah dengan batik kuning) berfoto bersama para seminari, pamong, rektor, dan PGU seusai pelatihan. (Dok KASRI)

Usai pelatihan, Mgr. Yustinus menyediakan waktu yang cukup panjang untuk berbincang-bincang tentang seminari, panggilan, dan KASRI di Wisma Keuskupan pada hari Selasa, 11/3/2025. Sekarang ini ada 18 frater diosesan dan 21 seminaris. Tergolong sedikit, namun Uskup optimis, jumlah itu akan terut bertambah di masa depan. Berikut petikan wawancara:

Seperti apa rencana Monsinyur untuk pengembangan Seminari ke depan?

Yang pertama soal fasilitas. Fasilitas di Seminari Don Bosco yang sekarang memang sangat terbatas. Lahannya juga terbatas. Untuk sementara ini, keadaan itu memang masih memadai. Jumlah seminarisnya belum banyak. Ke depan, kami melihat bahwa hal itu harus dikembangkan. Perkiraan saya, seminaris akan bertambah. Saya mendorong para pastor paroki dan staf Seminari untuk semakin giat mempromosikan Seminari dengan sebaik-baiknya. Kita harus menjemput bola untuk meningkatkan jumlah itu. Barberengan dengan itu, fasilitas musti diperbaiki. Sementara ini kita akan tetap di situ (Jl. Pasundan, Kelurahan Jawa, Samarinda Ulu, Red.). Nantinya jika jumlahnya melampaui sarana yang ada, Seminari akan dipindahkan ke tempat yang lebih luas dan memadai. Sekali lagi, saya berharap jumlah seminaris terus bertamah. Di sini, rupa-rupanya, pengetahuan akan Seminari masih sangat minim. Banyak umat masih belum begitu tahu tentang Seminari. Meskipun sebenarnya ada yang ingin masuk, tapi karena kekurangpengetahuan, jadi mandek di situ.

Baca Juga:  Selamat Jalan, Romo Eyang Suto; Pemakaman secara Militer
Seminaris Pra-Tahun Rohani ikut dalam pelatihan. (Dok Komsos KASRI)

Dari sisi softskills dan software, diharapkan para formator dapat ditingkatkan juga. Sekarang ada dua formator untuk seminaris SMA-KPA dan Pra-TOR, saya kira masih memadai. Saya tempatkan memang satu pastor di situ karena kebetulan kurang sehat. Ternyata setelah di situ, kesehatannya lebih baik. Dia bisa berkontribusi sesuatu. Maka, untuk software formator terus ditambah. Sekarang ada dua orang studi Malang. Satu belajar Kurikulum di Universitas Brawijaya, Malang dan satu Psikologi Klinis. Saya harap ini menjadi sangat penting di masa yang akan datang. Bukan hanya untuk kepentingan Seminari, juga untuk KASRI. Satu lagi sedang bersiap berangkat ke Roma.

Boleh dikatakan sudah ada rencana jangka panjang atau menengah ya?

Rencana jangka menengahlah. Kami memang di sini belum memiliki banyak tenaga ahli. Sekarang ini kami baru memiliki satu teolog domatik. Ahli moral dan hukum Gereja belum punya. Misiologi juga belum. Antropologi sebetulnya perlu. Jumlah imam kami juga masih sangat terbatas. Yang inkardinasi di sini ada. Tapi itu kami masih pinjam dari Keuskupan Bandung, Bogor, Amboina. Di sini ada juga Tarekat MSF, OMI, SVD, SCJ. Saya sedang minta satu yang melayani kelompok khusus, yaitu Kongregasi CMF. Mereka fokus pastoral kepemudaan. Kami butuh itu.

Seminari Menengah ini sebenarnya sudah lama ada, tapi kok umat belum begitu kenal. Mengapa, Monsinyur?

Itu tadi soal sosialisasi. Gereja di sini kan masih tergolong muda. Berkembangnya suku-suku baru tahun 70-an. Dulu Kongregasi MSF tidak bisa mengkover seluruh bidang kerasulan yang ada. Yang paling diperhatikan adalah paroki. Yang lain-lain, seperti Seminari, belum. Sekarang ini saya meningkatkan perhatian ke Seminari.

Hal kedua, umat Katolik yang sudah lama tinggal di sini belum begitu tahu mengenai tanggung jawab umat terhadap para imam. Padahal salah satu tunggung jawab umat itu adalah membuka hati dan mempromosikan anaknya menjadi imam.

Baca Juga:  Paus Fransiskus dan Jerman; Orang Argentina yang Merasa Asing di Negeri Para Penyair dan Pemikir
Para seminaris setingkat SMA dan KPA (Kelas Pesiapan Atas). (Dok Komsos KASRI)

Hal berikut adalah bahwa sekarang ini tidak begitu mudah menarik orang terbuka hati, baik calon maupun orang tua. Orang Katolik pendatang yang punya tradisi Katolik yang kuat, katakanlah dari Timur (NTT, Red.),  sangat terbuka dan mendorong anak-anak mereka. Sebagian besar calon imam yang ada di sini dari NTT.  Sementara yang dari sini, asli Dayak, termasuk budayanya mempengaruhi lambannya panggilan menjadi imam.

Kalau mau disebut, putra Dayak sendiri masih kurang?

Betul. Itu masih sangat kurang. Grafik memang naik tapi belum banyak. Saya kira faktor-faktor yang saya sebut tadi cukup berpengaruh. Satu lagi, anak-anak laki-laki di sini punya peran yang cukup besar bagi keluarga. Meskipun sudah ada tanda-tanda, misalnya anak pertama sudah berani tapi kalau tidak disertai dengan suatu keinginan besar, enggak berani juga.

Suasana pelatihan “3M” di Wisma Keuskupan Agung Samarinda bersama M.T. Felix Sitorus dari Paguyuban Gembala Utama. (Dok Komsos KASRI)

Setiap kali saya kunjungan ke paroki, saya selalu menyinggung-nyinggung hal ini. Saya minta para pastor menggalakkan ini. Rupa-rupanya banyak hambatan tadi. Tapi kalau saya lihat, misalnya di Keuskupan Palangka Raya dan Keuskupan Tanjung Selor cukup berkembang. Ketika saya di sana, saya berani buka seminari di tahun kelima. (Mgr. Yustinus adalah Uskup Pertama Keuskupan Tanjung Selor.) Seminari di Samarinda ini, saya hanya meneruskan yang sudah lama ada. Kalau dilihat dari jumlah, perkembangan di Tanjung Selor lebih cepat bila dibandingkan di sini. Sekarang jumlahnya kurang lebih sama. Bahkan di Tanjung Selor pernah sampai 30 seminaris.

Dari segi kualitas, apa yang menurut Monsinyur perlu diperhatikan?

Pertama, sisi intelektualitas. Intelektualitas tidak sama dengan Intelligence Quotien (IQ). Bahwa mereka siap masuk ke Seminari, menuntut lebih dari tuntutan sekolah menengah biasa. Selain ikut program sekolah menengah biasa, mereka ada program seminari. Waktunya kan sangat pendek dan padat. Kalau tidak memiliki sebuah kemampuan, tidak bisa mengikuti.

Kedua, soal arus zaman. Saya dapat keluhan dari formator, anak-anak sekarang sulit diajak untuk belajar. Idealnya kan kemauan dan kemampuan belajar ada dalam diri anak dan mau berkembang terus-menerus. Misalnya, melalui kebiasaan membaca, menulis, berefleksi.

Baca Juga:  Kota Abadi dalam Keadaan Luar Biasa; Tantangan Logistik untuk Pemakaman Paus Fransiskus

Ketiga, menghadapi tantangan zaman ini berat. Mentalitas anak sekarang kan tidak seperti yang kita bayangkan. Idealnya, kalau ada tantangan harus dihadapi dan diatasi. Di sini kita lihat, kalau ada tantangan anak langsung mundur. Dilihat berat.

Keempat, hemat saya, kalau anak berangkat atau berlatarbelakang dari keluarga yang aktif hidup menggereja jauh lebih siap. Anak-anak yang sudah biasa dilibatkan di Sekami, misdinar, OMK itu lebih siap.

Partisipasi aktif para peserta pelatihan saat bersama F. Hasiholan Siagian dari Paguyuban Gembala Utama. (Dok KASRI)

Kelima, idealnya, orang muda bisa cepat adaptasi. Ini saya lihat kadang-kadang tidak begitu mudah. Saya bicara tentang orang muda dari keluarga asli di sini. Secara keluarga, mereka seperti dalam “cluster-cluster”, di kampung-kampung. Seakan-akan enggak bergaul dengan yang lain. Kalau ketemu dengan yang lain, tidak mudah cair atau bergaul. Merasa aman di kelompok sendiri atau teman seasal atau sekampung.

Apakah ada rencana membangun gedung baru Seminari?

Kami ada rencana. Kami sudah ada tempat yang baru dan cukup luas. Moga-moga calon-calon semakin banyak. Untuk orang muda memang, selain tempat belajar yang memadai, perlu sarana olah raga, pengembangan fisik. Ada lapangan bola, voli, basket, futsal, dan lain-lain.

Apakah menurut Monsinyur, Seminari lebih baik menyelengarakan sekolah (SMA) sendiri atau bergagung dengan sekolah luar?

Idealnya sendiri. Dengan menyelengarakan sendiri kita lebih leluasa mengelolanya. Kita memang tetap mengikuti program pendidikan dari pemerintah. Hal itu mengandaikan macam-macam hal yang perlu dipenuhi. Misalnya, jumlah murid satu kelas. Tenaga pengajar harus lengkap. Tuntutan pemerintah kan bermacam-macam. Implikasinya cukup luas dan berat. Tapi, jika memang panggilan cukup banyak, pada satu titik kita harus putuskan untuk menyelenggarakan sendiri.

F. Hasiholan Siagian, dari Samarinda, Kalimantan Timur

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 13, Tahun Ke-79, Minggu, 30 Maret 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles