HIDUPKATOLIK.COM – “KAMI belum fasih memilih kata, menata kalimat, dan membubuhkan tanda baca.” Dirumuskan dalam satu kalimat, demikianlah kondisi literasi baca-tulis para siswa Seminari Menengah Santo Yohanes Don Bosco, Samarinda.
Mungkin sukar dipercaya tapi begitulah faktanya, hic et nunc, kini dan di sini. Mayoritas atau 18 dari 21 orang siswa Seminari Don Bosco mengakuinya sebagai masalah utama. Mereka mengungkap hal itu saat mengikuti “Pelatihan Membaca, Menulis, dan Mengedit (3M)” yang difasiltasi Paguyuban Gembala Utama (PGU) di Wisma Keuskupan Agung Samarinda (KASRI) pada 7-9 Maret 2025 lalu.
Siswa Seminari Don Bosco itu dirundung masalah senjang literasi baca-tulis dalam dua makna. Pertama, keterlambatan literasi dalam arti tingkat literasinya di bawah standar kelayakan untuk siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Masalah literasi para seminaris Don Bosco tadi mestinya sudah teratasi saat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Faktanya tidak demikian karena adanya kesenjangan antara target dan realisasi capaian pengajaran literasi bahkan sejak Sekolah Dasar (SD).
Kedua, ketertinggalan literasi dalam arti tingkat literasinya di bawah rata-rata siswa SMA kota-kota besar di Indonesia Bagian Barat. Ini masalah kesenjangan kinerja pendidikan literasi antardaerah: kota dan desa, barat dan tengah/timur Indonesia, Jawa dan Luar Jawa.
Jelas bahwa senjang literasi pada seminaris Don Bosco bukan sebuah pengecuailan. Gejala itu menimpa siswa SMA umumnya, termasuk seminaris, di daerah Luar Jawa khususnya tengah dan timur Indonesia. Itu masalah nasional. Skor Proggramme for International Student Assesment (PISA) membaca anak SMA di Indonesia tahun 2022 hanya 359 poin, urutan keenam dari delapan negara ASEAN.
Tapi ketimbang mengutuki keadaan, PGU lebih suka mengambil inisiatif menutup senjang literasi pada seminaris. Dalam rangka itu, selaku mitra Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), paguyuban para eks-seminaris/pastor senusantara itu memprakarsai program pelatihan 3M untuk seminari. Pelatihan di Seminari Don Bosco adalah yang kedua setelah di Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematangsiantar (Juni 2024).
Pusat Keunggulan Literasi
Gereja Katolik tumbuh dan berkembang menjadi besar secara berkelanjutan sampai hari ini di atas basis tradisi literasi yang kuat. Kecuali dengan peran Roh Kudus, sulit membayangkan Katolik bisa mendunia dengan cara getok-tular seperti pada Gereja Perdana.
Hanya berkat kemampuan literasi yang kuat di kalangan imam, Gereja Katolik kemudian menghasilkan teks-teks ajaran iman yang mendukung persebaran Katolik ke seluruh dunia. Kitab Suci Perjanjian Lama dan Injil menjadi yang utama. Lalu, berakar pada Kitab Suci, lahir teks-teks Magisterium antara lain dokumen konsili (Nicea, Trente, Vatikan II), katekismus, Kitab Hukum Kanonik, ensiklik, dan surat gembala.

Kemampuan literasi imam-imam Katolik itu tidak sekonyong-konyong muncul seperti api Roh Kudus. Kemampuan itu ditanamkan dan dipupuk dalam diri mereka sejak di seminari. Itu hanya dimungkinkan jika, tentu saja, seminari itu adalah pusat keunggulan (centre of excellence) literasi baca-tulis.
Keunggulan literasi baca-tulis itulah penciri khusus yang wajib dilanggengkan seminari-seminari di Indonesia. Sebab jika tidak demikian, dan jika dari mula seminaris sudah dirundung senjang literasi, maka kelak imam-imam yang dihasilkan niscaya lemah literasinya. Kondisi itu akan menyulitkan Gereja Katolik bertahan dan berkembang di tengah dunia yang cenderung bergerak menuju profanisasi.
Dalam konteks pewujudan seminari sebagai pusat keunggulan literasi itulah relevansi pelatihan 3M mendapatkan tempatnya. Memang PGU belum memiliki data status literasi semua seminari di Indonesia. Tapi kondisi di empat seminari, dua di antaranya (SMCS dan Don Bosco) telah mendapat pelatihan 3M dari PGU, cukup menggambarkan kebutuhan kerja keras untuk menjadikan seminari pusat keunggulan literasi.
Talenta dari Tuhan
Pelatihan 3M oleh PGU tak hendak menargetkan semua seminaris menjadi penulis tapi cukuplah bisa menulis. Sebab sejarah Gereja Katolik juga hanya sedikit dari banyak imam yang menjadi Pujangga Gereja.
Target “seminaris bisa menulis”, sebagai inti literasi baca-tulis, berangkat dari keyakinan bahwa kemampuan menulis adalah talenta dari Tuhan bagi setiap umat-Nya. Hanya saja masing-masing seminaris memperoleh modal talenta yang berbeda: satu, dua, dan lima (bdk. Matius 25:14-30).
Fakta mayoritas seminaris tak bisa menulis, seperti ditemukan misalnya di Seminari Don Bosco dan SMCS, hic et nunc, bukanlah indikasi mereka tak punya talenta. Itu hanya indikasi realitas senjang literasi di kalangan seminaris karena sejak SD tak mendapatkan pembelajaran yang selayaknya.
Pemahaman di atas mengantarkan pada prinsip bahwa serendah apapun status literasi para seminaris, hal l itu tak membatalkan nilai mereka sebagai karunia Tuhan yang harus disyukuri. Berangkat dari rasa syukur itulah PGU kemudian menyesuaikan materi dan metode pelatihan 3M dengan kondisi spesifik literasi masing-masing seminari. Pengalaman pelatihan 3M di SMCS tak bisa direplikasi di Don Bosco.
Pada kasus Seminari Don Bosco, pelatih PGU harus menurunkan tingkat kompleksitas materi pelatihan. Mengingat status senjang literasi yang serius, materi pelatihan difokuskan pada kemampuan memilih kata yang tepat, menata kalimat tunggal logis seturut kaidah “Subyek – Predikat – Obyek – Keterangan” (SPOK) berikut penempatan tanda baca, dan penyusunan paragraf yang koheren. Lalu, di ujungnya, kemampuan itu diterapkan dalam praktek peliputan dan penulisan berita sederhana tentang pelatihan yang diikuti seminaris.
Metode pelatihan juga diubah dari pendekatan kelas ke pendekatan personal, coaching clinic secara orang per orang (one on one). Setiap seminaris dibimbing langsung dalam praktik pemilihan kata, penataan kalimat, penyusunan paragraf, dan penulisan berita sederhana. Pendekatan ini membuat seminaris merasa dihargai sesuai hakekatnya subyek.
Dengan pendekatan seperti di atas, pelatihan 3M di Seminari Don Bosco memang menjadi melelahkan sekaligus mengharukan. Melelahkan karena harus melatih seminaris satu per satu. Mengharukan karena mereka sungguh-sungguh berjuang keras, jatuh-bangun selama tiga hari, untuk menguasai materi pelatihan.
Hasilnya terbilang menggembirakan. Secara obyektif para seminaris akhirnya mampu memilih kata, menata kalimat logis, menyusun paragraf koheren, dan menulis berita sederhana. Memang belum sempurna tapi jelas mereka sudah mulai sedikit “bisa menulis”. Secara subyektif mereka menilai diri mulai bisa mengatasi masalah dasar senjang literasi tersebut di muka.
Dalam tiga hari pelatihan, para seminaris Don Bosco bisa menyadari keberadaan talenta menulisnya. Pelatihan 3M mereka alami sebagai pengalaman mengembangkan talentanya sehingga menghasilkan suatu tulisan yang bermakna.
“Tapi ingat, ini baru langkah awal,” nasihat Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Tarmono Harjosusanto, MSF saat pembukaan pelatihan. Perkataan Bapa Uskup benar belaka. Pelatihan 3M selama tiga hari itu akan sia-sia bila tak ada tindak-lanjutnya.
Berbasis Jaringan
Tiga hari pelatihan di Seminari Don Bosco, juga di SMCS serta seminari lain, mustahil bisa menjadikan seminaris langsung bisa menulis dengan baik dan benar. Talenta menulis itu harus diasah secara intensif terus-menerus. Tentu hal itu bukan tanggungjawab formator seminari sendirian.
Talenta menulis juga harus dikembangkan secara dialektik dengan budaya baca. Mustahil seminaris bisa menulis, apalagi menjadi penulis, bila tak punya kebiasaan membaca yang baik. Membaca adalah mengisi bendungan pengetahuan, menulis adalah mengalirkan pengetahuan dalam bingkai gagasan bermakna.

Untuk itu PGU bersama Seminari Don Bosco berupaya membangun jaringan penyangga kemajuan literasi seminari. Upaya itu dikemas dalam dua program yang saling sokong.
Pertama, program seminari membaca kritis. Setiap seminaris wajib membaca dan menuliskan tinjauan ringkas isi buku, minimal satu judul per minggu. Untuk itu PGU menggalang jaringan donatur buku untuk mengisi perpustakaan Don Bosco yang masih jauh dari memadai.
Kedua, program seminari menulis kreatif. Seminari menyelenggarakan kelas menulis rutin. Hasil tulisan dipublikasikan pada majalah dinding dan atau majalah daring bikinan seminaris sendiri. Untuk mendukung kelas menulis ini, PGU menggalang jaringan fasilitator untuk mendampingi seminaris secara luring dan daring.
Selepas pelatihan 3M di Seminari Don Bosco, seseorang bertanya untuk apa susah-payah melatih seminaris menulis kalau perangkat Artificial Intellegence (AI) dapat melakukannnya secara instan? Otentisitas dan kedalaman manusiawi dalam terang Roh Kudus, seperti telah ditunjukkan dengan teks Kitab Suci dan teks-teks Magisterium, itulah alasannya. Apa jadinya jika misalnya ensiklik, surat gembala, dan kotbah-kotbah dibuat oleh mesin AI?
M.T. Felix Sitorus (Trainer Paguyuban Gembala Utama)
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 13, Tahun Ke-79, Minggu, 13 Maret 2025