HIDUPKATOLIK.COM – “AKU bangga menjadi seminaris.” Tulisan ini terpampang manis di sisi kanan tembok kapel Seminari Menengah St. Yohanes Don Bosco, Samarinda, Kalimantan Timur. Ketika HIDUP menyambangi Seminari yang terletak di Jalan Pasundan, Kelurahan Jawa, Samarinda Ulu, Rabu petang, 12 Maret lalu, para seminaris tengah pulang dari sekolah. Layaknya anak-anak SMA, para calon imam ini mengenakan seragam sekolah. Mereka sekolah di SMAK W.R. Soepratman, Samarinda.
Tahun ajaran ini, ada enam orang Kelas X, empat orang Kelas XI, empat orang Kls XII ditambah dengan tiga orang Kursus Persiapan Atas (KPA), dan empat orang Pra-Tahun Orientasi Rohani (Pra-TOR). Seminaris di jejang SMA, sepulang sekolah, masih memperoleh pelajaran tambahan seperti Kitab Suci, Bahasa Latin, Bahasa Inggris, Komputer, dan program lain. Seminaris KPA punya program sedikit berbeda. Mereka adalah seminaris yang sudah lulus SMA atau sederat. Begitu pula dengan Pra-TOR. Ada saatnya seluruh seminaris memiliki acara bersama namun ada yang berbeda-beda. KPA umumnya mengikuti KPA kecuali ke sekolah.
Mengingat Pra-TOR akan memasuki masa TOR, keempat seminaris dipersiapkan secara khusus. Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF mengatakan, ia belum memutuskan apakah akan dikirim ke Malang atau tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bisa saja mereka akan menjalani TOR di Samarinda.

Para Pra-TOR ini sudah memiliki ruang tidur, ruang makan yang terpisah dari seminaris menengah dan KPA. Sore itu, para seminaris Pra-TOR mengikuti kuliah psikologi dari seorang suster. Sementara para seminaris lain tengah kerja (opus manuale) semisal menyapu ruang tidur, ruang belajar, dan membuang sampah.
Melihat catatan sejarah, Seminari Don Bosco sebetulnya bukan seminari yang baru lahir (lihat box). Namun, hingga saat ini, Seminari belum memiliki sebuah tradisi keseminarian seperti seminari-seminari lain di keuskupan lain. Katakanlah, seminari di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain.

“Kami sedang pembenahan total,” ujar Pastor Hilario Didakus Nenga Nampar, Rektor sejak tahun 2024 . Pastor Rio – sapaan akrab lulusan Teologi Dogmatik Universitas Urbaniana, Roma, Italia ini dengan terus terang mengatakan, dua-tiga bulan terakhir ini ia tengah melakukan pembenahan fisik. Mulai dari penyediaan kelas, perpustakaan, hingga tempat tidur yang layak bagi para seminaris. Begitu juga sarana dan prasarana pendukung yang lain agar para seminaris lebih merasa at home. “Jadual tetap pun baru kami susun,” ujar alumni Seminari Menengah Berkhmans, Mataloko, NTT ini seraya menunjukkan jadual harian para seminaris selama sepekan dari bangun tidur pukul 04.30 hingga ibadat penutup (Completorium) pukul 21.45 WITA. Jadual harian itu ditandatangani Pastor Rio pada tanggal 25 Januari 2025. Masih sangat baru!
“Keadaan sekarang ini sudah banyak berubah bila dibandingkan dengan beberapa bulan lalu. Baik secara fisik maupun penerapan tradisi keseminarian itu. Di dalamnya termasuk soal pembenahan kedisiplinan sebagai calon imam, literasi dan numerasi,” tambah Pastor Rio yang diamini Pastor Fabianus Lana selaku Rektor Pra-TOR Seminari St. Yakobus, Keuskupan Samarinda dan Petrus Yaini selaku Pamong sejak tahun 2011. Ketiganya secara bersamaan ditemui petang itu. Bergabung pula Pastor Agustinus Dale Weruin, alumni seminari ini dan menjabat sebagai Vikep Kevikepan Mahakam Hulu dan Pastor Paroki Santo Petrus, Ujoh Bilang.
Dari penelusuran HIDUP ke ruangan kelas, ruang tidur, perpustakaan, ruang komputer, dan lain-lain, tampak sentuhan tangan Pastor Rio. “Pokoknya, apa yang bisa kami rapikan, kami rapikan segera,” ujar pria yang menjabat sebagai Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Agung Samarinda sejak tahun 2024. “Saya ingin meng-ATM seminari saya dulu, yaitu Mataloko,” ujarnya sambil tertawa (ATM: Amati, Tiru, Modifikasi). “Apa yang dilakukan Pastor Rio, saya dukung penuh,” timpal Pastor Fabianus. “Kami saling melengkapi. Duet,” tambah seminaris Don Bosco 2005-2009 ini tersipu.
“Saat ini, kami sedang membangun fondasi tradisi keseminarian. Lebih dari itu, kami berharap, seminari dan asrama bisa terintegrasi. Sekolah dan asrama menjadi satu supaya kami bisa mengatur semuanya dengan tetap mengikuti program pendidikan pemerintah dan program seminari secara bersamaan,” tutur Pastor Rio bersemangat.
“Membangun tradisi kebersamaan, kedisiplinan, dan karakter seorang seminaris, intelektualitas,” ujar Pastor Fabianus. “Pelatihan literasi yang difasilitasi Paguyubuan Gembala Utama (PGU) selama tiga hari, Jumat-Minggu, 7-9 Maret 2025 adalah bagian dari upaya kami menumbuhkan tradisi baru itu,” timpal Pastor Rio.
Pastor Rio beharap, satu tahun ke depan, sudah ada pedoman pembinaan Seminari Don Bosco. “Semua itu ada di otak saya. Seandainya saya punya tambang, semua itu sudah saya adakan, termasuk mendatangkan guru-guru terbaik,” ujarnya ngakak.
“Blue print memang belum ada. Untuk sementara, saya bangun Seminari ini berdasarkan pengalaman saya selama enam tahun sebagai seminaris di Seminari Mataloko,” ujar kelahiran Samarinda, 26 Agustus 1989 ini.

Usai bincang-bincang serius tapi santai di pendopo Seminari, acara kami lanjutkan ke ruang makan. Namun diskusi masih berlanjut dalam keakraban.
Pastor Rio, Pastor Fabi, Pastor Dale, dan Pak Petrus serta semua pemangku kepentingan berharap, pada waktunya, tak hanya para seminaris yang bangga atas seminari Don Bosco! Gereja Indonesia juga!
Hasiholan Siagian dari Samarinda, Kalimantan Timur
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 11, Tahun Ke-79, Minggu, 30 Maret 2025