web page hit counter
Sabtu, 12 April 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menjadi Penziarah Pengharapan dalam Iman dan Kasih

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KETIKA membuka pintu penjara Rebibbia, Roma sebagai Porta Sancta kedua setelah Basilica St. Petrus, Vatikan, Paus Fransiskus katakan demikian “Saya ingin agar Pintu Suci ke dua yang dibuka adalah di tempat ini, di penjara, karena tempat ini juga adalah Basilika”. Selajutnya, Paus asal Argentina ini mengajak, “Saya ingin agar kita semua, baik yang di dalam penjara atau di luar perlu membuka pintu hati dan memahami bahwa pengharapan tidak pernah mengecewakan”.

Paus menggarisbawahi peran pengharapan dalam mengubah hati, membaharui hidup, jadi membuka Porta Sancta adalah simbol membuka hati. “Lebih penting dan lebih memberi makna ilahi adalah ketika kita mampu membuka hati, karena gestur ini adalah bukti kasih persaudaraan”. Dan, “rahmat Tahun Yubilium yang kita dapatkan adalah hati yang terbuka, lapang, dan penuh pengharapan akan kasih Allah; meski kadang, pada saat-saat sulit, kita merasa tidak ada jalan keluar dan semuanya menjadi buntu, namun pengharapan tidak pernah mengecewakan,” demikian tegas Bapa Suci.

Paus Fransiskus membuka Pintu Suci.

Tahun Yubileum menjadi kesempatan untuk refleksi, saat membaharui diri dan sadar bahwa hidup ini lebih dari sekadar rentetan kejadian, tapi adalah kisah perjalanan penuh pengharapan. Hidup perlu dilabuhkan dalam iman agar langkah kedepan diterangi dan tujuan hidup dikuatkan oleh pengharapan. Sebagaimana bangsa Israel yang bersiarah di padang gurung, penuh tantangan dan ketidakpastian, namun tetap percaya bahwa Allah setia menuntun mereka ke Tanah Terjanji yang berlimpah susu dan madu, demikian juga kita dipanggil untuk bersiarah dalam pengharapan, sambil percaya bahwa Allah akan menuntun kita ke masa depan yang disiapkan-Nya.

Pengharapan

Pengharapan, sebagimana iman dan kasih adalah pemberian Allah sekaligus kekuatan manusia untuk menanggapi pemberian Allah. Paus Benediktus XVI, dalam Deus Caritas Est, menekankan kesatuan dari tiga kebajikan ini: “Iman, pengharapan dan kasih merupakan satu kesatuan”. Tentang pengharpan, ia menulis, “Pengharapan terungkap dalam keutamaan kesabaran, yang juga bila nampaknya tak berhasil tetap bertekun dalam kebaikan, dan dalam keutamaan kerendahan hati, yang menerima rahasia Allah dan percaya kepadannya meski dalam kegelapan” (no. 39).

Tiga kebajikan teologis saling mengandaikan, yang satu tidak bisa bertumbuh tanpa dua yang lainnya. St. Yohanes dari Salib dalam antropologi spiritualnya menekankan bahwa ketiganya berkaitan erat dengan tiga kemampuan kodrati manusia, yakni intelek, kehendak dan daya ingat, yang menjadi kekuatan untuk hidup sebagai manusia. Tiga keutamaan teologis ini adalah kemampuan adikodrati yang berproses dalam tiga kemampuan kodrati manusia. Artinya rahmat tidak pernah merusak dan bekerja di luar kodrat, tapi dalam dan bersama kodrat manusiawi, sehingga keutamaan teologis itu menjadi dasar dan pedoman yang diatasnya hidup sebagai manusia beriman ditumbuhkan.

Baca Juga:  Kejutan dari Paus Fransiskus

Iman bukan sekadar keputusaan sesaat, tetapi kisah bagaimana Allah bekerja dan kita membiarkan diri agar Allah bekerja dalam diri kita. Sebagai penziarah pengharapan, kita melangkah ke depan tanpa tahu pasti, namun diteguhkan janji setia Allah. Surat Kepada Umat Ibrani: 11, 1 ingatkan kita demikian: “Iman adalah dasar dari segala yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Dalam kalimat ini tersirat arti perjalanan, makna siarah, yakni meninggalkan apa yang diketahui, masuk ke dalam apa yang tidak diketahui dengan keyakinan bahwa janji Allah menjadi penuntun.

St. Paulus kepada umat di Roma menulis, “Semoga Allah sumber pengharapan memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam perkembangan imanmu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan”(Rm 15:13). Kata-kata St. Paulus ini meyakinkan kita bahwa pengharapan bukan sekedar berpikiran cerah atau percikan optimisme. Ia lebih dalam, lebih kuat, yakni keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa Allah bersiarah bersama kita.

Demikian juga manusia berupaya agar daya ingatnya, sebagai salah satu kekuatan kodrati, perlu dibebaskan, atau dalam bahasa St. Yohanes dari salib, dimurnikan, agar hanya Allah dan seluruh kekuatan-Nya yang berdiam dan berperan didalamnya. Dengan demikian, pengharapan menjadi medan dimana tidak hanya Allah yang berkerja, tapi kita juga terlibat aktif dalam proses menggapai tujuan akhir itu. Jadi, pengharapan perlu menjadi pola hidup orang beriman, karena ia adalah dasar, panaung, penggerak dan sasaran akhir siarah hidup beriman.

Proses Pemurnian    

Harapan mengarah ke masa depan, sedangkan daya ingat menyimpan segala memori dan ingatan masa lalu. Ada kontradiksi antara kekuatan ilahi, yakni harapan, dan kekuatan kodrati, yakni memori masa lalu. Nah, justru di sini letak peran kebajikan harapan, yang menurut St. Yohanes dari Salib, untuk memurnikan daya ingat manusia. Proses pemurnian daya ingat ini akan menjadikan hidup bebas dari beban dan ingantan masa lalu, entah ingatan yang baik atau kenangan buruk. Proses pemurnian ini dijalani agar daya ingat itu hanya dipenuhi oleh Allah saja. Tidak ada apa-apa pun yang lain, selain Allah dan seluruh kekuatan-Nya.

Baca Juga:  Kejutan dari Paus Fransiskus

Kehadiran Allah dalam daya ingat akan menjadi kekuatan untuk mengahadapi dan mengatasi segala kesulitan hidup. Karena bukan lagi kita yang berharap tetapi Allah yang berharap dalam diri kita. Kita berharap dengan harapan Allah sendiri. Dalam kebajikan harapan, hidup selalu menawarkan sisi baik dan benar untuk dipelajari, menjadi lebih baik, bertumbuh dalam kasih dan kesabaran, serta semakin mampu hidup menurut kehendak Allah. Cita-cita demikian bukan sekedar aspirasi personal dan keinginan sesaat, melainkan juga adalah apa yang dikehendaki Allah agar setiap pribadi menjadi penyebar kebaikan dan pewarta pengharapan. Dalam Tahun Rahmat ini, kita dipanggil untuk semakin yakin, bahwa pengharapan menjadi percikan motivasi hidup, mencintai, berkorban, dan melayani sesama dan Allah.

Rancangan Allah

Nabi Yeremia mengingatkan kita atas rencana besar Allah, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikian  firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yer 29: 11). Nabi Yeremia menyakinkan kita bahwa mimpi Allah tentang manusia tidak pernah berubah. Allah setia akan janji dan rancangan-Nya. Dan, Allah hanya punya satu rancangan, yakni agar kita selamat dan mengalami cinta-Nya; kita hidup dalam sukacita sejati, lepas bebas dan menjadikan Allah tumpuan segalanya.

Situasi sosial menghadirkan kecemasan akan masa depan yang lebih baik dan adil. Ada banyak alasan untuk itu, namun Kitab Suci menyakinkan bahwa Allah tidak tidur dan tidak masa bodoh. Kitab Pengkhotbah katakan, “Untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”(3:1). Setiap masa, waktu dan kejadiaan dalam hidup, entah dalam penantian, dalam pertumbuhan atau pencapaian apa pun, merupakan bagian dari rancangan Allah. Sebagaimana para pesiarah percaya pada rancangan Allah dalam setiap langkah dan waktu, demikian juga kita percaya bahwa Allah terus bekerja melalui diri dan hidup kita. Meski untuk mewujudkan keinginan banyak jalan buntunya, namun pengharapan sungguh menjadi kekuatan bahwa rancangan Allah selalu baik dan indah pada waktunya.

Baca Juga:  Kejutan dari Paus Fransiskus

 Refleksi

            Tahun Yubileum menjadi kesempatan untuk refleksi apa yang sudah dilewati dan bermimpi tentang apa yang akan datang. Namun perlu diingat bahwa kita adalah pesiarah dijalan yang suci, karena Allah yang menuntun dan kita terbentuk dalam kasih-Nya. Kita diminta bukan saja melihat ke dalam diri, namun juga kedepan, dengan pengharapan dan iman. Ketika mimpi-mimpi kita tertanam kuat dalam iman, maka itu tidak lagi sekadar sebuah percikan keinginan hati, melainkan panggilan ilahi. Kita dipanggil untuk percaya pada apa yang direncanakan Allah, meski ditengah aneka tantangan dan pencobaan, untuk berjalan dalam pengharapan dan hidup dalam kasih. Siarah hidup bukan sekedar satu perjalanan personal melainkan kisah berjalan bersama sebagai komunitas umat beriman yang disatukan kasih Kristus.

Sebagaimana kita bermimpi untuk masa depan yang lebih cerah, baik dan adil, kita juga yakin bahwa kita mampu berbagi pengharapan melalui kata dan tindakan; berbagi waktu dan tenaga, rejeki, empati, berbuat baik, dan bersolider serta tidak mengambil yang bukan hak kita. Dengan berpegang pada pengharapan, kita tentu mampu menjadi percikan api kasih ditengah ketidakpastian dan dalam dunia yang sedang kehilangan pengharapan.

Mari kita gunakan kesempatan dalam Tahun Yubileum ini untuk membaharui diri, lebih dekat dengan Allah dan aktif dalam Gereja, lebih teguh beriman dan merangkul masa depan dengan hati terbukan, percaya bahwa siarah meraih tujuan ilahi selalu dikuatkan oleh penghapran yang tidak pernah mengecewakan. Mari kita terus berproses untuk menjadi pesiarah pengharapan dalam iman dan kasih.

            Tahun Yubileum menjadi kesempatan untuk refleksi apa yang sudah dilewati dan bermimpi tentang apa yang akan datang.

Pastor Chris Surinono, OCD, Tinggal dan Bekerja di Roma, Italia

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 13. Tahun Ke-79, Minggu, 30 Maret 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles