HIDUPKATOLIK.COM – Ada pribadi-pribadi dalam hidup yang kehadirannya meninggalkan jejak bukan karena mereka bicara keras, tetapi karena kata-kata mereka menembus hati dan mengarahkan akal sehat. Salah satunya adalah Mgr. Petrus Turang, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang. Saya menyebutnya sebagai sosok yang cerdas dan kritis—dua kata yang, jika disebutkan bersamanya, bukanlah hiperbola, tetapi kenyataan yang tak terbantahkan.
Ketegasan yang Membentuk, Kata yang Mendidik
Saya masih mengingat dengan baik bagaimana beliau berbicara di hadapan umat: tidak bertele-tele, tidak berusaha menyenangkan siapa pun, tapi juga tidak menyakiti siapa pun. Ia tahu kapan harus diam, kapan harus bicara, dan ketika ia berbicara, orang diam bukan karena takut, tetapi karena hormat. Khotbah-khotbahnya adalah pelajaran iman yang dikemas dalam bahasa rakyat namun memuat hikmat Gereja.

Ketegasan dalam dirinya bukan sekadar karakter, melainkan bentuk keberanian moral. Ia tidak menyembunyikan apa yang diyakininya benar, tidak pula menjual prinsip demi kenyamanan atau kompromi. Di dunia yang kerap menabur kata manis untuk menutupi kebenaran, ia justru hadir sebagai penjernih: mengatakan “ya” jika memang ya, dan “tidak” jika memang tidak.
Guru Katekese dan Inovator Pastoral
Sebagai seorang pengkhotbah dan pendidik, Mgr. Petrus memiliki satu kekuatan besar: kemampuan menjelaskan yang rumit menjadi terang. Ia menghidupkan semangat kateketik dalam setiap sambutan dan homilinya. Yang menarik, tidak ada yang “basi” dari pidato-pidatonya. Selalu ada sudut pandang baru, pendekatan yang menyegarkan, dan ajakan untuk melihat iman sebagai kekuatan hidup yang konkret. Ia menyadarkan kita bahwa bekerja untuk Gereja harus dengan cara yang efektif dan efisien—dengan visi yang jelas dan strategi yang terukur.
Menulis untuk Menjaga Warisan Iman
Tak banyak yang tahu bahwa di balik figur tegasnya, Mgr. Petrus adalah penulis yang rajin. Ia mencatat, merenung, dan menuangkan gagasan dalam bentuk tertulis—tidak untuk pencitraan, tetapi demi mendokumentasikan warisan pemikiran iman yang bernas. Dan kefasihannya dalam berbahasa Inggris adalah anugerah yang ia manfaatkan sepenuhnya untuk menerjemahkan dokumen-dokumen penting Gereja, membuka akses pemahaman yang lebih luas bagi umat lokal.

Disiplin, Disiplin, dan Lagi Disiplin
Banyak orang merasa “takut-takut segan” di hadapan beliau, dan saya mengerti mengapa. Ia bukan pemarah, tetapi kehadirannya membawa aura kedisiplinan yang kuat. Ia tidak pernah main-main dengan waktu, tidak suka pekerjaan asal-asalan, dan selalu menuntut ketelitian. Tapi di balik ketegasan itu, tersembunyi hati yang mencintai Gereja dan umatnya dengan sungguh.
Relasi dan Kemandirian
Mgr. Petrus tidak hanya dikenal di Kupang. Jaringan relasinya melintasi batas-batas geografis dan keuskupan. Ia menghormati setiap orang yang tulus, dan ia tahu bagaimana menjaga hubungan baik. Namun, satu hal yang tak pernah berubah: kemandiriannya. Ia tidak bisa didikte oleh siapa pun. Ia berjalan dengan kompas nilai-nilai yang diyakininya, dan karena itu, langkah-langkahnya selalu kokoh meski kadang sepi.
Ucapan Syukur dan Penghormatan
Kini, ketika ia telah berpulang ke Rumah Bapa, saya tidak hanya mengenangnya sebagai Uskup. Saya mengenangnya sebagai seorang guru yang telah mengajari kami—tanpa banyak basa-basi—apa artinya menjadi pelayan Gereja yang berpikir tajam, bertindak jujur, dan berjalan lurus. Ia telah menyelesaikan tugasnya. Ia telah menjaga kemurnian imannya, dan ia telah memperjuangkan kebenaran hingga akhir.

Terima kasih, Mgr. Petrus. Kami bersyukur pernah mendengarmu, mengenalmu, dan belajar darimu. Jejakmu tertanam dalam sejarah Keuskupan Agung Kupang, dan gema suaramu akan terus hidup dalam setiap hati yang pernah disentuh oleh ketegasan dan kearifanmu.
Requiescat in pace, Mgr. Petrus Turang.
Kami akan merindukan ketegasan yang mendidik dan senyummu yang penuh harapan.
Pastor Yudel Neno – Imam Keuskupan Atambua