HIDUPKATOLIK.COM – Dalam dunia dewasa ini, persaingan yang tidak sehat sering kali menjadi faktor yang menghilangkan nilai persahabatan, merusak persaudaraan, dan melemahkan rasa kekeluargaan. Hal ini pada akhirnya dapat menghancurkan masa depan dunia. Hal ini secara tidak langsung berkontribusi dalam menciptakan ketimpangan sosial.
Selain itu, dunia juga memiliki kelompok-kelompok seperti kaum miskin, kaum terpinggirkan, dan berbagai kategori lainnya. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Sang Pencipta. Namun, oleh karena perkembangan zaman dan modernisasi, manusia menciptakan pengkotakan dan perbedaan melalui persaingan yang tidak pernah berujung dalam meraih tujuan hidupnya.
Keberhasilan sering dianggap sebagai tujuan akhir dari kehidupan. Kesadaran manusia akan keberhasilan atau kesuksesan yang dicapai belum mengarah pada pemuliaan Sang pencipta. Sehingga, keberhasilan, kehebatan, dan kesuksesan dianggap sebagai hasil dari usaha dan perjuangan individu semata. Persoalan ini perlu dipulihkan, agar semua keberhasilan dirasakan sebagai anugerah dan peran Sang Pencipta dalam kehidupan manusia.
Manusia adalah mahluk sosial, namun manusia juga membutuhkan relasi dengan Sang Pencipta dalam kehidupannya. Supaya mata hatinya yang telah tertutup oleh kesombongan akibat pengaruh dunia tempat terjadi aneka persaingan buruk menyadari hidup ini adalah anugerah. Hal ini penting untuk direnungkan dalam peristiwa kehidupan yang dijalani. Sang Pencipta menadikan dunia ini baik adanya, artinya bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh-Nya memiliki tujuan untuk memuliakan nama-Nya. Namun, seiring perkembangan zaman, manusia menguasai dunia dengan cara yang tidak sehat. Hal ini ditandai dengan berbagai peristiwa seperti pembunuhan, eksploitasi, diskriminasi, pemerkosaan, dan peperangan.
Oleh karena itu, untuk membantu kita menghayati bahwa hidup adalah anugerah, kita dapat melihat dari pandangan para Teolog, misalnya Thomas Aquinas (1225–1274 M). Ia melalui karyanya Summa Theologica mengakui penyelenggaraan ilahi sebagai wujud pemeliharaan Sang Pencipta terhadap ciptaan-Nya melalui hukum-hukum alam dan anugerah ilahi.
Dengan demikian, setiap tindakan manusia seharusnya dijalankan dalam kebebasan dan kehendak yang sejalan dengan tujuan Ilahi, bukan sekadar untuk bersaing. Contohnya, bersyukur dalam setiap situasi.
Senada dengan pandangan itu, Agustinus dari Hippo (354–430 M) dalam karyanya De Civitate Dei (Kota Allah) juga menegaskan bahwa seluruh perjalanan hidup manusia, termasuk penderitaan dan kejahatan, berada di bawah pemeliharaa Sang Pencipta dan memiliki makna dalam rencana ilahi.
Oleh karena itu, setiap tindakan manusia seharusnya diarahkan untuk memenuhi rencana dan tujuan Ilahi, bukan sekadar untuk memenuhi ambisi pribadi dalam persaingan duniawi. Contohnya, saling membantu satu dengan yang lain.
Berdasarkan pandangan ini, dengan berbagai jenis panggilan hidup manusia, diajak untuk selalu melihat anugerah Sang Pencipta dalam setiap aspek kehidupan. Panggilan hidup manusia bukan untuk mengejar kesuksesan, kehebatan, keberhasialn melainkan hidup manusia kemuliaan bagi Allah melalui kehidupannya. Apabila hidup kita memperoleh keberhasilan bukanlah untuk dipamerkan namun sarana untuk bersyukur atas kebaikan-Nya.
Melalui tulisan ini, para Suster FSE yang akan merayakan 100 tahun di Indonesia melihat perkembangan dunia modern sebagai ladang untuk menabur kasih Allah bukan sebagai tempat persaingan siapa yang paling hebat. Mereka terus menaggapi dunia dengan kacamata iman supaya segala persoalan sosial, dapat menjadi sarana mewujudkan kasih Allah ditengan dunia saat ini.
Semoga melalui pemahaman ini, kita semua semakin menyadari bahwa segala pencapaian dan usaha kita di dunia bukan semata-mata hasil dari kekuatan sendiri, melainkan bagian dari anugerah Sang Pencipta. Dunia bukanlah tempat untuk bersaing demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, melainkan ruang untuk mewujudkan rencana dan tujuan Sang Ilahi.
Sr. M. Elisa Silaban, FSE
Mahasiswi STF Driyarkara Semester IV