HIDUPKATOLIK.COM – Sejarah Kekristenan adalah perjalanan iman yang penuh dinamika, refleksi, dan pencarian kebenaran. Sejak awal, para pengikut Yesus Kristus belum mengenal istilah “Katolik” atau “Protestan”, mereka hanyalah murid-murid yang mengikuti Jalan Tuhan. Di kota Antiokhia pada abad pertama, mereka mulai dikenal sebagai “Kristen” (Kisah Para Rasul 11:26). Seiring berkembangnya Gereja, muncul istilah “Katolik” untuk menandakan sifat universal dan kesatuan iman yang diwariskan dari para Rasul. Tulisan Santo Ignatius dari Antiokhia sekitar tahun 107 M merupakan bukti awal pemakaian istilah tersebut.
Gereja Katolik meyakini bahwa ajarannya bersumber langsung dari Yesus Kristus dan diteruskan melalui para Rasul, terutama melalui Rasul Petrus, yang dipercayai sebagai batu karang pendirian Gereja. Tiga pilar utama: Tradisi Suci, Kitab Suci, dan Magisterium, tetap menopang ajaran serta otoritas Gereja Katolik hingga hari ini.
Namun, perjalanan Kekristenan juga menyimpan babak kelam. Perang Salib, Inkuisisi, penyalahgunaan indulgensi, dan politik praktis sempat mencoreng wajah Gereja. Puncaknya, Reformasi Protestan pada abad ke-16 memecah umat Kristen ke dalam berbagai denominasi dengan ribuan interpretasi ajaran yang berbeda. Walaupun gerakan Reformasi bermaksud melakukan pembaharuan, ironisnya perpecahan justru semakin mendalam.
Pembaharuan gereja seharusnya bertujuan untuk mengembalikan kesatuan dan memperbaiki ajaran dengan kembali ke nilai-nilai iman yang otentik sejak zaman para rasul. Namun, peristiwa pada masa Reformasi Protestan justru menghasilkan perpecahan yang mendalam dan fragmentasi ke dalam ribuan denominasi, dengan perubahan doktrin dan struktur yang sangat radikal sehingga mengikis kesinambungan sejarah Kekristenan. Akibatnya, gerakan tersebut lebih tepat disebut sebagai Revolusi Gereja, karena bukannya membawa pembaharuan yang harmonis, melainkan merusak dan menghancurkan kesatuan yang telah terbangun selama dua milenium.
Gereja Katolik kemudian melakukan refleksi mendalam atas kesalahan masa lalu. Pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II dengan rendah hati meminta maaf atas tindakan-tindakan keliru, seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penyalahgunaan indulgensi. Komitmen untuk menangani skandal pelecehan seksual secara transparan dan bertanggung jawab menunjukkan bahwa Gereja adalah tubuh yang hidup, senantiasa berbenah tanpa meninggalkan dogma dan tradisi yang telah diwariskan selama dua milenium.
Di sisi lain, dinamika liturgi dalam dunia Kristen semakin kompleks. Belakangan ini, polemik mengenai perayaan Rabu Abu dan Minggu Palma yang kian diadopsi oleh sebagian Gereja Kristen Protestan telah mencuri perhatian di media sosial, terutama di TikTok. Kritik muncul terhadap adopsi elemen liturgis dan simbol-simbol tradisional Katolik dalam konteks yang berbeda, sehingga menimbulkan perdebatan sengit tentang keaslian dan esensi iman Reformasi. Ironisnya, fenomena ini mencerminkan kerinduan akan warisan liturgis yang sebenarnya memiliki akar yang sama, yakni tradisi para rasul, khususnya melalui ajaran Rasul Petrus.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, terdapat pula kesalahpahaman mengenai identitas Gereja Katolik. Sering kali istilah “Kristen Protestan” digunakan secara umum untuk menyebut semua umat Kristen, sehingga Gereja Katolik kerap disalahpahami atau dianggap bagian dari Protestan. Tantangan serupa juga muncul dalam pembangunan rumah ibadah, meskipun di internal Gereja Katolik terdapat proses panjang untuk menetapkan status paroki, di masyarakat umum setiap bangunan tempat ibadah kerap disebut “Gereja Kristen” tanpa membedakan denominasi. Padahal, bagi umat Katolik, gereja merupakan pusat spiritual dan pastoral dengan struktur kepemimpinan yang jelas dan berakar pada Tradisi Apostolik. Dan untuk membangunnya saja dalam internal Hierarki Gereja Katolik, itu sangat tidak mudah.
Di dunia modern, ancaman utama bagi Kekristenan bukan hanya perbedaan internal, melainkan sekularisme, relativisme moral, dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai rohani. Jika perpecahan terus terjadi, perdebatan internal, seperti polemik liturgi Rabu Abu dan Minggu Palma akan semakin mengaburkan pesan kasih dan keselamatan yang diwartakan Yesus. Oleh karena itu, upaya rekonsiliasi dan dialog antar-denominasi harus diperkuat untuk menyatukan kepada ajaran Rasul Petrus.
Karena secara mendasar, sejarah iman Kristen mengajarkan bahwa esensi ajaran Kristus selalu berakar pada tradisi para Rasul. Kepemimpinan dan ajaran Rasul Petrus telah membentuk fondasi Gereja yang autentik dan tak tergoyahkan. Untuk mengatasi perpecahan dan menjawab tantangan zaman, marilah kita merenungkan kembali seruan Kristus untuk bersatu. Dengan demikian, melalui refleksi mendalam terhadap sejarah dan dinamika liturgi, termasuk polemik yang terjadi belakangan ini, kita dipanggil untuk kembali ke ajaran Rasul Petrus, yakni Gereja Katolik, sebagai satu tubuh iman yang utuh dan menyatu.
Alexander Philiph Sitinjak (ASN di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai Auditor, aktif di Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Presidium Pusat ISKA, Ketua Bidang Lintas Iman Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia, Dewan Pertimbangan PMKRI Cabang Bogor dan pernah menjadi Wakil Sekretaris Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik Pengurus Pusat Pemuda Katolik 2018-2021)