HIDUPKATOLIK.COM – PRESIDEN Prabowo Soebianto melakukan pengetatan anggaran. Pengetatan itu terlihat dalam berbagai hal mulai dari pengurangan fasilitas kantor, pengetatan perjalanan dinas hingga pengubahan cara bekerja bagi ASN.
Secara luas juga sudah diketahui alasan mengapa pemerintah melakukan pengetatan. Kebutuhan untuk merealisir janji politik Makan Bergizi Gratis, membangun Food Estate untuk menjamin kemandirian pangan, membutuhkan dana besar sekali. Menyelesaikan pembangunan IKN serta kewajiban membayar hutang yang jatuh tempo tahun ini, juga menyedot anggaran secara luar biasa.
Yang lalu terasa ironis, terdapat staf kontrak, bahkan karyawan tetap, kini mulai dirumahkan. Demikian juga ASN yang harus membeli sendiri bahan bakar bagi kendaraan dinasnya, yang tidak jelas gajinya setelah bulan Oktober 2025 atau yang harus mengongkosi sendiri kebutuhan fotokopi hingga pengiriman dokumen-dokumen kantor.
Apakah situasi dilematis itu hanya terjadi di lingkungan birokrasi saja? Jelas tidak. Sudah mulai ada pihak swasta yang teriak. Pengusaha hotel dan restoran, yang biasa didatangi para ASN untuk rapat, kini mulai kekurangan reservasi. Demikian juga perusahaan penerbangan yang tidak lagi menerbangkan para pejabat. Belum lagi pengusaha kuliner di seputar perkantoran berbagai instansi maupun vendor kebutuhan perkantoran yang “rindu order” alias transaksinya berkurang.
Yang lebih ironis lagi, kementerian/lembaga yang memiliki fungsi layanan publik terpaksa mengurangi kinerjanya. Sekadar menyebut contoh, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) mengurangi jumlah pemohon yang dikabulkan untuk dilindungi. Komnas HAM juga mengurangi aktivitas pelindungan HAM dan sebagainya. Saat Presiden Prabowo menyebut tentang perbaikan kesejahteraan, maka pengurangan jumlah dan mutu layanan publik jelas bukan berita bagus.
Sampai di sini, telah jelas betapa dinamika dalam sektor negara itu memiliki dampak meluas. Walau jumlah APBN sebenarnya tidak signifikan dibanding jumlah uang beredar atau pun jumlah devisa, namun dana APBN amat vital karena menggerakkan birokrasi selaku representasi negara. Sebagaimana disadari, terdapat kegiatan administrasi yang hanya boleh dilakukan negara, seperti penerbitan paspor, KTP, SKCK dan sebagainya.
Nah, ketika negara mengurangi kiprahnya, akan jelas terlihat ruang kosong yang sulit dicari penggantinya. Jika proses mundurnya negara dari wilayah publik itu berlangsung gradatif, maka jamak jika swasta kemudian ganti mengisi. Di sektor perhubungan darat dan laut, misalnya, Pemerintah pernah menguasai melalui perusahaan bus PPD atau Pelni, namun kini banyak swasta yang telah memiliki segmen pasar besar.
Masalahnya, ketika proses mundurnya negara begitu mendadak, dapat dipastikan swasta tidak akan mau. Kalaupun mau, maka kemampuan ekonomi swasta tentu akan amat terbatas jika dikerahkan dalam waktu singkat untuk mengurus hal-hal yang biasa dikerjakan para birokrat.
Di sinilah organisasi kemasyarakatan bisa memberi kontribusi. Kalau swasta berbentuk perusahaan dan variasinya tidak mau masuk berkiprah karena kekhawatiran akan profitabilitas, tidak demikian dengan organisasi kemasyarakatan seperti organisasi sosial dan organisasi keagamaan. Entitas ini bisa melakukan suatu pemberian jasa yang bersifat publik tanpa pusing dengan imbalan atau keuntungan. Berbicara soal kesehatan dan pendidikan, peran organisasi keagamaan di masyarakat, untuk menyebut contoh, sudah melegenda sejak lama.
Jika organisasi sosial diperkecil menjadi organisasi keagamaan, apakah terdapat kemampuan bagi organisasi seperti Nadhlatul Ulama atau Muhammadyah untuk ambil bagian? Demikian juga berbagai organisasi keagamaan Katolik seperti Caritas, Perdhaki atau kelompok usaha milik ordo religius seperti Carolus Borromeus. Beberapa kelompok usaha yang terafiliasi dengan Katolik atau beberapa perguruan tinggi Katolik, mungkin bisa membantu. Demikian pula halnya dengan beberapa keuskupan besar maupun organisasi di bawah keuskupan yang memiliki jaaringan di daerah masing-masing.
Memang, diduga bahwa besaran dana, visi kerja ataupun postur organisasi dari berbagai organisasi keagamaan Katolik tidak cukup besar dan kompleks untuk secara signifikan mengisi kekosongan saat negara sedang mengurangi peran. Mengingat hanya berpretensi melayani kebutuhan Umat Katolik Indonesia yang berjumlah 7% dari total penduduk Indonesia, maka wajar kalau terdapat keterbatasan bagi banyak organisasi Katolik apabila di-upscale untuk berkiprah bagi seluruh masyarakat.
Pada titik inilah cara berpikir think globally act locally menjadi relevan untuk semua organisasi Katolik, khususnya yang memiliki dana, aset dan akses untuk melakukan layanan publik. Betapapun terbatas, maka kemampuan melakukan pelayanan publik yang baik, walau hanya bagi umat Katolik sekalipun, tentu mengurangi beban negara. Setidak-tidaknya, negara tidak usah pusing memikirkan orang Katolik yang relatif sudah bisa mengurus diri sendiri.
Pada titik inilah cara berpikir think globally act locally menjadi relevan.
Adrianus Meliala, Guru Besar UI
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 08, Tahun Ke-79, Minggu, 23 Februari 2025