Pastor, apakah imam dan biarawati yang menjalankan selibasi lebih suci di hadapan Tuhan jika dibandingkan dengan umat awam, baik yang sudah menikah maupun yang tidak menikah? Bagaimana kesucian hidup seseorang itu diukur?
Christophorus, Jakarta
UMAT Katolik sering memandang bahwa para uskup, imam, diakon, biarawan, dan biarawati adalah orang yang suci karena Sakramen Tahbisan atau Pengikraran Kaul. Pandangan ini tidaklah keliru. Mereka benar dalam hal bahwa para klerus (uskup, imam, dan diakon) dan kaum “berjubah” itu dikuduskan oleh Tuhan. Namun, pemikiran yang demikian juga membuat orang memiliki pemahaman bahwa kaum awam itu kurang kesuciannya. Apakah benar pemahaman semacam ini?
Dalam Ajaran Gereja, setiap orang yang percaya pada Kristus adalah murid-murid Yesus. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Allah dan menyatakan diri mengikuti Dia melalui Sakramen Pembaptisan. Dan iman Katolik mengakui bahwa pembaptisan tidak sekadar memberikan meterai pada orang yang percaya menjadi murid Yesus tetapi juga dibersihkan dari dosa asalnya. Demikian pula Sakramen Perkawinan bagi mereka yang menikah. Sakramen Perkawinan menguduskan ikatan perkawinan suami-istri sehingga perkawinan itu adalah kudus.
Pengudusan ini semakin jelas dalam Injil dari pernyataan Tuhan Yesus sendiri bahwa semua murid Kristus dipanggil untuk menjadi “kudus.” Inilah prinsip yang tidak bisa diganggu gugat karena Yesus menegaskan bahwa orang Kristen harus sempurna seperti Bapa yang adalah sempurna (Bdk. Mat. 5:48). Sehingga kekudusan itu bukan soal “status” atau “jabatan,” kekudusan juga bukan terkait apakah orang tersebut menikah atau tidak menikah. Kekudusan itu lebih berhubungan pada panggilan kemuridan dan kesetiaan mereka untuk “mengikut Sang Guru.”
Berdasarkan pemahaman tersebut pula, Gereja sangat memahami terkait panggilan hidup orang Kristen, baik selibat maupun tidak, merupakan panggilan yang kudus. Artinya, mereka yang selibat dan mereka yang tidak selibat atau menikah bukan berarti tidak kudus. Mereka menjalankan kekudusan dengan cara masing-masing sesuai dengan pilihan hidup yang mereka kehendaki. Dan hal yang paling penting adalah pilihan hidup selibat tidak berarti menolak kehidupan pernikahan. Hidup selibat adalah suatu panggilan khusus karena Kerajaan Allah sebagaimana Yesus katakan dalam Injil Matius: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga” (Mat. 19:12).
Kemudian, jika keduanya adalah kudus maka apakah selibat dan tidak selibat itu sama? Dilihat dari status “kekudusan,” keduanya adalah panggilan dan perutusan dari Yesus kepada mereka yang percaya. Tetapi keduanya memiliki perbedaan pada ciri khas terhadap yang selibat dan mereka yang tidak selibat. Para selibater tentu tidak dapat menikah bukan karena “mandul” atau pun tidak bisa menikah melainkan ada tujuan simbolik sekaligus penegasan tentang apa yang akan terjadi pada manusia kelak terjadi di akhir zaman. Artinya, mereka yang selibat adalah bentuk hidup atau keadaan hidup kelak manusia di akhir zaman sebagaimana kata Yesus sendiri: “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga” (Mat. 22:30). Sebaliknya hidup perkawinan adalah bentuk kehidupan di dunia ini dan menjadi contoh bagaimana panggilan kesetiaan itu dihayati supaya kelak orang juga menerima ganjaran untuk Kerajaan Allah.
Oleh karena itu, kesucian atau kekudusan itu tidak diukur dari model pilihan status hidup di dunia. Kekudusan dan kesucian hidup seseorang dinyatakan dari bagaimana orang Kristiani dapat menghayati panggilannya dan menjalankannya dengan kesetiaan: “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. (Luk. 16:10).
Pengasuh: Pastor Yohanes Benny Suwito – Dosen di Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya dan Universitas Widya Mandala Surabaya
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi 7, Tahun Ke-79, Minggu, 16 Februari 2025