HIDUPKATOLIK.COM – PADA kover Majalah HIDUP Edisi No, 7/2025, Redaksi menulis judul, “Memahami Tubuh dan Seksualias dengan Cara Baru.” Salah satu argumentasi yang dapat kami sajikan bahwa bahwa sudah saatnya kita, — mengandaikan Pembaca adalah pemeluk agama Katolik – lebih terbuka atau mengambil atau melakukan pendekatan baru yang sifatnya lebih terbuka dan holistik tentang seksualitas.
Kalau kita mau berkata apa adanya, pembicaraan mengenai seks dan seksualitas kerapakali masih dipandang tabu, kotor dan sarat dengan dosa. Entah pembicaraan ini di lingkungan keluarga, dunia pendidikan, lingkungan masyarakat. Tak luput dari ketabuan ini juga di lingkungan kaum selibat (lingkungan tarekat atau biara). Misalnya saja, ketika seorang anak, dalam perkembangannya, mengajukan pertanyaan kepada orang tuanya tentang segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas, kebanyakan orang tua pun guru, gamang. Karena tidak menemukan jawawan yang terbuka dan cukup terang benderang, tak heran jika – apalagi di era digital ini – anak-anak lalu mencari jawaban di dunia digital. Mereka mendapatkan jawaban yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Begitu juga dengan kalangan (calon) selibat. Tatkala seorang calon (seminaris atau frater) secara terbuka mengemukakan atau membuka diri untuk membicarakan masalah seks dan seksualitas kepada pendampingnya, kerap juga kurang mendapat tanggapan yang memuaskan atau malah sebaliknya mendapat “penghakiman”.
Dalam sebuah seminar di Paroki Blok B, Jakarta Selatan, pekan lalu, seorang teolog moral, Pastor Benny Phang, O.Carm dengan cukup terbuka mengatakan, pembicaraan mengenai seks dan seksualitas dalam kaitannya dengan tubuh manusia perlu dilakukan secara terbuka. Tujuannya adalah supaya kita – umat – lebih memahami bahwa seksualitas adalah bagian dari keindahan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Tentu saja seks, bagi pasangan suami istri yang sudah diberkati (sakramen), adalah suatu rahmat yang perlu dilihat dalam rangka misteri Allah itu sendiri.
Menurutnya, keterbukaan pembicaraan tentang hal yang sama juga perlu dilakukan di kalangan para imam dan calon imam, kaum religius. Agar mereka memahami diri mereka (tubuhnya sendiri) dalam kaitannya dengan panggilannya menuju kekudusan. Selibat sebagai sebuah pengorbanan harus disatukan dengan pengorbanan yang dilakukan Kristus untuk menebus manusia dari dosanya. Atau, seorang imam yang melayani umat perlu memiliki pengetahuan dan pendekatan pastoral yang memadai tatkala ada umat yang meminta nasihat atau mengalami suatu kasus tertentu. Tidak serta merta, misalnya, langsung menutup pintu bagi seorang umat yang mengaku sebagai seorang homo. Padahal, dengan tulus yang bersangkutan ingin memberikan pelayanan entah sebagai prodiakon atau tugas pelayanan lain di paroki.
Kita perlu melihat bagaimana Paus Fransiskus merangkul setiap orang yang datang kepadanya, termasuk saudara-saudari kita yang dikelompokkan ke dalam LGBT dan turunannya. Dengan rendah hati Paus mengatakan dirinya tidak layak untuk menghakimi mereka. Memang perlu sikap kehatian-hatian serta bersikap bijak tatkala dihadapkan dengan problematika yang cukup pelik. Tidak melihat hitam atau putih, apalagi bila berkaitan dengan moralitas.
Sumber, Majalah HIDUP Edisi No. 07 Tahun Ke-2025, Minggu, 16 Frebruari 2025