HIDUPKATOLIK.COM – KABAR mengejutkan tentang bencana alam Lewotobi di awal bulan menghentakku. Gambaran tentang gunung berapi dan desa-desa di lereng dan lembahnya membawa ingatanku pada dusun sunyi di tahun 80-an tempatku sana. Kenangan masa kecil itu seperti memburai begitu saja serupa kepingan-kepingan tak beraturan yang tidak butuh waktu lama untuk merangkainya kembali menjadi sebuah desir kenang masa lalu.
Jalan menuju rumah Mbah Putri boro-boro makadam. Desa itu masih jauh dari sentuhan teknologi pengaspalan jalan. Sesekali saja ada taksi Holden hitam dari Muntilan menuju desa-desa di sebelah timur. Hanya jarak tertentu saja karena sedan taksi itu tentu tidak mampu lebih dari 7 km akibat jalan yang penuh batu mencuat di sepanjang jalan.
Senja merayap. Semprang yang beterbangan di antara dedaunan murbei telah digantikan oleh thungkeret beruwir-uwir bersahut-sahutan antara pohon nangka dan kemiri. Uwir-uwirnya seperti lantunan tembang sang dalang dalam pergelaran wayang kontemporer para seniman Lima Gunung: Minangka pambukaning carita. Iki seni asale saka ndesa. Jaramaya linuhurna, linuhurna asma paduka. Karsa paduka kalampahana.
Malam selalu menakutkan bagi kanak-kanak sepertiku, tetapi Mbah Putri seolah tahu. Ia mendekatiku. Langkahnya srebet…srebet… tertahan oleh nyampingnya. Harum leraknya menguar dari tiap srebetan kainnya. Tanpa kata, ia mendekapku hangat. Musim kemarau ini memang lebih dingin dari biasanya.
“Langite tipis,” kata Mbah Putri, seolah tahu apa yang kurasakan.
“Maka lihatlah langit. Abyor lintange,” lanjutnya.
Ribuan bintang berkelip. Tetapi ada juga bintang yang dekat, bintang itu terbang ke sana ke mari.
“Itu kunang-kunang,” kata Mbah Putri.
Perempuan dengan gurat-gurat usia di wajahnya itu menunjukkan kepadaku tentang lintang waluku. Ia menjelaskan gabungan bentuk persegi penyok dan jajargenjang, tetapi mataku justru terpaku dan mengikuti terbang kunang-kunang. Mbah Putri menangkapkan satu, menangkupkan di dalam tangan. Dari sela jari-jari keriputnya, pendar si kunang-kunang begitu indahnya.
“Mbah, mengapa namaku Ndari?” tanyaku.
“Lintang abyor di atas itu cahayanya terang. Itulah ndaru. Ndari juga ndaru. Namamu Ndari karena kamu perempuan.
Mata sebening cinta itu menatapku. Mataku menyelam pada kata-katanya.
“Berarti kunang-kunang juga punya ndaru. Ia berpendar menerangi,” kataku.
Malam berikutnya, juga malam-malam dengan langit tipis bersih, Mbah Putri selalu mengajakku di halaman depan, duduk di lincak. Kami melihat bintang dan berburu kunang-kunang.
“Ayo, Ndhuk, kita mengunang!” ajaknya.
Ia merangkulku di lincak dan bersenandung lirih: Kunang-kunang, hendak ke mana? Kelap-kelip indah sekali, Gemerlap, bersinar, seperti bintang di malam hari, Kunang-kunang, terbang ke sini, Ke tempatku singgah dahulu, Kemari, kemari, Hinggaplah di telapak tanganku.
Ajakan dan senandungnya selalu membuat mataku bersinar. Tanganku diraihnya, dilekatkan di dadanya. Tanganku menjadi hangat. Mata kami terpejam perlahan. Dengan segera pendengaranku menjadi lebih tajam dari sebelumnya. Siur angin malam yang dingin menggoyangkan pucuk-pucuk cengkeh. Beberapa daun keringnya yang menumpuk di jugangan tertiup mengirimkan harumnya. Paduan siur angin dan harum daun cengkeh serupa asmarandana yang mendayu disuarakan sinden. Kepedihan yang masih melekat terasa jadi ringan.
“Kunang-kunang akan datang menemanimu. Membuatmu tersenyum dan tetap hangat oleh pendar di perutnya. Mungkin saja salah satunya itu ibumu,” kata Mbah Putri.
Aku terkesiap. Pantas saja, aku selalu senang dengan ajakan Mbah Putri untuk mengunang. Agaknya, kerinduan pada ibulah yang membuatku selalu bersemangat menantikan kunang-kunang hinggap di tanganku.
Wajah ibu? Sungguh aku tidak bisa mengingatnya. Foto yang ada di bingkai logam kuning itu telah kusam dan mengaburkan wajah ibu. Kata Mbah Putri, ibu cantik. Anak perempuan satu-satunya itu meninggal saat melahirkan aku. Kunduran, kata tetangga. Meninggalnya ibu menjadikan bapak tidak ingin apa-apa. Ia berdiam sepanjang hari dan tahun hingga tetangga-tetangga menyebutnya gila. Lalu bapak lenyap dari rumah, entah hilang ke mana.
Malam berikutnya, ibu hadir kembali di tanganku. Ia berkedip-kedip, berpendar-pendar. Aku sangat bahagia. Untuk sementara rinduku terkikis oleh cahayanya. Bintang-bintang tersenyum seiring dengan desir angin yang kian dingin kian malam. Pendar-pendar di musim kemarau kesekian memudar saat Mbah Putri terbang menuju Sang Maha Cinta. Untunglah aku tidak menjadi gila seperti bapak karena Mbah Putri sempat berpesan agar aku terus punya ndaru, tetap menjadi Ndari.
Dalam langit mendung kutinggalkan rumah Mbah Putri. Tak sanggup aku bertahan di rumah yang telah membesarkanku tetapi justru di tempat itu pula orang-orang yang kucintai pergi meninggalkanku. Aku merantau, berharap sekolah dan pekerjaan membuatku sibuk hingga perih bisa kuabaikan.
Memanggil kunang-kunang tentu saja tetap kulakukan di setiap kemarau. Hanya di kotaku, kunang-kunang tidak selalu ada. Mungkin debu kota dan riuh jalanannya membisingkan ibu yang telah berada di keheningannya. Maka perjalanan ke rumah Mbah Putri selalu saja kurindukan lagi. Ingin kembali hanyut dalam perjumpaan saling merindukan, aku dan ibu. Berat bagiku mendambakan suasana yang tak kunjung kujumpa itu. Tanpa kusadari kadang-kadang pipiku telah basah oleh air mata rindu. Sering kuimpikan ibu hadir dalam telapak tanganku. Mbah Putri lebih cepat mengundangnya karena mereka berdua telah serumah sekarang.
Tahun ke-10 setelah kepergian Mbah Putri aku menapaki lagi jalan dusun itu. Masih sama seperti dulu, tetapi ada beberapa rumah baru tumbuh di dekat jalan berbatu. Kendaraan umum tetap saja tidak bisa sampai di ujung bendul dusun.
Ranselku yang menggembung disambut oleh Mbah Karyo Putri yang membantuku menjaga rumah Mbah Putri. Dia ini tetangga sebelah kiri rumah, berjarak kebun beberapa depa. Ia membantu sejak Mbah Karyo Kakung meninggal. Sapu lidinya terlempar begitu saja ketika melihatku.
“Oalah Den, dospundi kabare?” serunya tergopoh-gopoh.
Kakinya yang O tampak agak terseok melangkah. Badannya terayun ke kiri ke kanan seiring langkah kakinya. Jarit motif parang yang telah pudar warnanya dan tampak tipis semrowong itu berbunyi seiring dengan langkahnya yang tergesa.
“Pun, Mbah. Takgawane dhewe mawon,” kataku menolak ketika orang tua itu memaksaku menyerahkan ranselnya.
Ia bergegas masuk rumah. Harum mawar kebon sampai di hidungku. Rupanya kebiasaan Mbah Putri dulu diteruskan oleh Mbah Karyo. Tiga tangkai mawar merah kebon selalu dipetik untuk dimasukkan dalam gelas kaca pendek dan dipersembahkan di hadapan Bunda Maria. Suatu kali ketika Mbah Putri kurang enak badan, aku yang diminta memetik mawar dan menaruhnya di gelas berisi air. Dengan gelas kaca itu aku mencedok air blumbang di kanan rumah. Kolam ikan itu bening airnya jadi daripada harus ke sumur di belakang rumah, kupakai air blumbang itu. Mbah Putri memarahiku. Bukan tentang air saja, kata Mbah Putri, tetapi menghargai bunda Tuhan harus menjadi yang utama.
Rusmini dan Watik datang. Teman-teman masa kecilku ini sudah menggendong batita di lekuk pinggangnya. Segera saja rumah terasa hangat oleh kehadiran mereka. Tentu tidak lama karena tugas-tugas rumah tangganya menanti.
Malam kembali datang. Mbah Karyo telah pulang ke rumahnya senja tadi. Senyap menyergap. Jangkrik mengerik bersahut-sahutan terdengar di kejauhan. Lincak di teras rumah terasa dingin. Mbah Putri datang dalam bayang di sebelahku. Tangan rentanya memeluk pundakku. Telapak tangannya pucat, dingin, dan sedikit kaku. Senandung memanggil kunang-kunang samar-samar terdengar. Telingaku mengikuti iramanya. Seperti selendang ciffon Mbah Putri, senandung itu masuk, menyelinap lembut, dan menganyam di hatiku, menutup debar rindu pada ibu yang tak pernah kujumpai.
Dari sela-sela pohon cengkeh, serombongan kunang-kunang menari. Dalam jarak yang rapat mereka tampak seperti lampu penerangan jalan bertenaga surya. Hatiku terkesiap. Pasti ada ibu dan Mbah Putri di antaranya. Seperti bocah menantikan ibunya yang pulang dengan tas penuh belanjaan dan siap mengaduk isinya, aku menantikan kunang-kunang itu mendekat. Aku berusaha tetap tenang agar kunang-kunang itu tidak terpencar.
Beberapa kunang-kunang menari di depanku. Satu hinggap di tanganku. Kukatupkan kedua telapak tanganku. Ia berpendar. Cahayanya menerobos dari sela-sela jemariku. Ini ibu entah Mbah Putri aku tak peduli. Mungkin saja kunang-kunang ini adalah mereka berdua. Hatiku menghangat. Darahku makin penuh dengan mimpi baru, mimpi untuk melanjutkan hidup.
Batam, November 2024
Untuk Mbah Putri dan Ibu

Oleh Lidwina Ika