HIDUPKATOLIK.COM – DI awal 2025 ini Gereja Katolik Indonesia mendapatkan tambahan seorang gembala yang baru, yakni Bapa Uskup Agustinus Tri Budi Utomo. Ia ditahbiskan menjadi uskup pada 22 Januari 2025.
Dalam wawancara yang dimuat Majalah HIDUP No 3 Tahun 2025, Uskup Didik – demikian sapaan uskup baru tersebut, menyampaikan pilihan panggilannya. Alih-alih dipanggil “Monsinyur”, ia memilih untuk dipanggil dengan sebutan “Bapa Uskup” atau “Romo Uskup”. Menurutnya, sebutan itu lebih egaliter. Apakah itu?
Egaliter vs Feodal
Istilah egaliter banyak dikenal dalam kaitan dengan model kepemimpinan. Model kepemimpinan egaliter ini menekankan adanya kesetaraan antara seorang pemimpin dengan anggota yang dipimpinnya. Model ini dipandang dapat memperpendek jurang pemisah antara pimpinan dan anggota di bawahnya.
Bisa dikatakan model egaliter ini adalah kepemimpinan yang merakyat. Seorang pemimpin tidak menjadikan otoritas yang dimilikinya sebagai penghalang untuk berbaur dengan anggotanya. Meskipun punya kewenangan berbeda, namun itu bukan alasan untuk memisahkan diri dengan anggota lainnya.
Berkebalikannya adalah model feodal. Model ini memberi tekanan pada otoritas atau kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin. Jarak pemisah antara atasan dan bawahan semakin terpaut jauh. Bahkan bisa terjadi seorang pemimpin adalah sosok yang untouchable – yang tidak tersentuh oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Kepemimpinan Gereja Katolik
Berbicara tentang model kepemimpinan dalam Gereja Katolik, kiranya model egaliter inilah yang perlu terus dihidupi. Gereja Katolik memang punya struktur hirarki. Namun struktur hirarki ini jangan sampai menjadikan para pimpinan berjarak dari umat Allah lainnya.
Ciri kepemimpinan dalam Gereja Katolik selalu dicirikan oleh penggembalaan dan pelayanan. Maka bukan semata-mata kekuasaan, apalagi jabatan yang harus dikejar-kejar. Karena itu menjadi pemimpin berarti menjadi gembala dan pelayan.
Semakin tinggi tingkatan hirarkinya, semakin seseorang harus lebih melayani. Inilah mengapa Paus disebut Servus Servorum Dei – hamba dari hamba-hamba Allah.
Gembala yang egaliter
Keinginan Bapa Uskup Didik untuk tidak dipanggil “Monsinyur” tampaknya menjadi pilihan model kegembalaannya. Bapa Uskup Ignatius Kardinal Suharyo juga dalam beberapa kesempatan menyebutkan hal yang sama. Bahkan dalam homilinya saat pentahbisan Uskup Didik, Bapa Kardinal juga menggarisbawahinya.
Memang, sebutan “Monsinyur” (Bahasa Latin: Monsignor) sudah lazim disematkan untuk para uskup di kalangan umat Katolik di Indonesia. Bahkan sampai saat ini pun juga tidak ada yang mempermasalahkannya.
“Monsinyur” merupakan sebuah gelar kehormatan yang diberikan Roma, bukan karena jenjang tahbisannya. Artinya “tuanku”. Nuansa feodal sangat terasa dari sebutan ini.
Sementara “Uskup” berarti penilik jemaat. Maka inilah tugas utama seorang uskup, yang sekaligus menunjukkan pelayanannya. Seorang uskup melayani umat Allah melalui kunjungan-kunjungannya untuk memberikan peneguhan.
Dengan memilih sebutan “Bapa Uskup” alih-alih “Monsinyur” tersirat keinginan agar model kegembalaan yang lebih egaliter. Setidaknya melalui pilihan panggilan diri, hal yang mungkin selama ini tidak pernah menjadi persoalan, para bapa uskup tersebut mau menempatkan diri setara dengan umat Allah yang lain.
Maka pilihan Bapa Uskup Didik maupun Bapa Kardinal untuk menghadirkan model kepemimpinan egaliter merupakan langkah yang pantas diapresiasi. Kehadiran seorang gembala yang mau merangkul umat tanpa jarak akan semakin memberi makna mendalam akan nilai pelayanan yang sejati.
Gereja sebagai komunitas umat Allah akan semakin kokoh bila para pemimpinnya tetap menghayati semangat hamba, sebagaimana diteladankan Kristus sendiri. Maka semoga langkah para uskup kita ini menjadi inspirasi bagi semua orang untuk menciptakan hubungan yang lebih setara, saling mendukung, dan penuh kasih dalam komunitas iman kita.
Mongsignor (Latin), Monsinyur artinya “tuanku”. Nuansa feodal sangat terasa dari sebutan ini.
Stepanus Sigit Pranoto, SCJ Pengajar di Fakultas Humaniora dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Musi Charitas Palembang
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 06, Tahun Ke-79, Minggu, 9 Februari 2025