Pastor Jack, saya kadang suka bingung ketika umat yang duduk di bangku belakang saya ngobrol terus-menerus selama Perayaan Ekaristi berlangsung. Saya terganggu, konsentrasi dan keheningan saya buyar. Mau menegur kok takut ada kesalahpahaman. Sebenarnya apa makna keheningan atau “saat-saat hening” dalam liturgi, terutama pada Perayaan Ekaristi?
Katharina, Jakarta
KEHENINGAN atau “saat-saat hening” merupakan unsur penting dalam Perayaan Ekaristi, juga dalam perayaan liturgis lainnya. Hanya, masalahnya, manusia modern terutama mereka yang hidup di kota, seperti Jakarta, ditandai dengan hiruk-pikuk, kesibukan, dan keributan. Itulah salah satu alasan latar belakang umat terus menerus ngobrol selama Perayaan Ekaristi seperti yang disaksikan Katharina. Kita perlu mengasihi orang seperti mereka ini karena mereka tidak tahu, dan kurang paham untuk apa mereka merayakan Perayaan Ekaristi. Dalam keheningan padang gurun, Allah mewahyukan diri-Nya kepada Nabi Musa (Kel. 3). Dalam kesunyian malam, Allah berbicara kepada Samuel (1 Sam. 3:1-18). Yesus pun pada saat-saat menentukan dalam hidup dan karya-Nya, memanfaatkan situasi hening perbukitan untuk berdoa kepada Bapa-Nya.
Konstitusi Liturgi menegaskan: “Untuk meningkatkan partisipasi aktif, umat hendaknya didorong untuk mengambil bagian melalui aklamasi, tanggapan, mazmur, antifon, dan lagu serta melalui tindakan, gerak tubuh, dan sikap tubuh. Dan pada saat yang tepat, semua orang hendaknya berdiam diri dengan khidmat” (Sacrosanctum Concilium, No. 30). Dalam Perayaan Ekaristi, diadakan beberapa kali saat hening. Saat hening “merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat, umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk Doa Pembuka, umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili, umat merenungkan sebentar amanat yang telah didengar. Sesudah komuni, umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati. Bahkan sebelum Perayaan Ekaristi dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat” (PUMR, No. 45, lihat juga: PUMR, No. 56, 66, 88, 128, 130)).
Keheningan yang lebih mendasar adalah “buka telinga dan hati” mengarahkan seluruh budi, hati kepada Allah. Kardinal Robert Sarah mengatakan: “Liturgi, pertama dan terutama, adalah tentang Allah dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita.” Maka pada prinsipnya keheningan ekaristis bertujuan untuk mengarahkan budi dan hati kita kepada Allah agar Allah menjadi subyek, dan pusat liturgi. Maka itu, betapa menyedihkan, bila ada umat terus menerus berbicara melewatkan begitu saja “saat-saat hening” pada Perayaan Ekaristi. Sayang, “saat hening” yang maknanya berbeda-beda sesuai dengan ritus dan ritual Ekaristi itu dilewatkan begitu saja.
Perlu diingat bahwa saat hening bukanlah sikap pasif tapi merupakan sikap aktif. Misalnya, ketika kita mendengarkan Sabda Tuhan, kita meresapkan dan masuk lebih dalam kehadirat Tuhan yang bersabda kepada kita. Ketika imam mengajak umat untuk menyatakan tobat, kita hening sejenak, setelah itu seluruh umat menyatakan tobat dengan rumusan pengakuan umum (PUMR 51). Saat hening di sini bertujuan seperti yang dialami Petrus: “Tuhan, pergilah dari padaku sebab aku ini tidak layak” (Luk. 5:8). Pada Ritus Pembuka dalam Ibadat Jumat Agung, saat hening dalam bentuk tiarap setibanya di depan altar, imam dan petugas lainnya bersembah sujud dengan tiarap dan berdoa dalam keheningan bersama dengan seluruh umat. Ungkapan iman ini menyatakan rasa hormat dari manusia berdosa di hadapan misteri kasih Allah yang tak terselami.
Seksi Liturgi, para katekis paroki, dan terutama para rohaniwan bertugas membina kaum beriman agar “dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin … sesuai taraf perkembangan religius mereka. Dengan demikian mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi misteri-misteri Allah yang setia” ( SC, 12; bdk. SC, 13-19).
Pengasuh: Pastor Jacobus Tarigan – Alumnus Universitas Gregoriana, Roma, dan Dosen Liturgika STF Driyarkara, Jakarta
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi 6, Tahun Ke-79, Minggu, 9 Februari 2025