web page hit counter
Senin, 24 Maret 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sr. Theresa Avila Nhi: Rambut dan Rumput

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Suster Theresa Avila Nhi bergegas berlari menuju Komunitas Postulat-Novisiat Kongregasi Suster-Suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus (CB) di Yogyakarta tak lama setelah ia dan empat rekannya melihat hamparan rumput di kebun. Seketika satu hal terbersit di benaknya. Ia ingin membuat salad sayur untuk para biarawati di komunitas. “Suster, Suster … kami melihat rambut,” teriaknya. Para biarawati pun bingung. Mereka bertanya, ada apa gerangan. Tanpa pikir panjang, ia mengajak mereka pergi ke kebun untuk melihat hamparan rumput tersebut. Mereka lantas tertawa. “Itu bukan rambut tapi rumput,” ujarnya, menirukan jawaban mereka.

Suster Nhi, sapaan akrabnya, berasal dari Negeri Naga Biru, Vietnam. Begitu pula keempat rekannya. Ia berasal dari bagian selatan, sementara dua rekannya berasal dari bagian utara dan dua lainnya berasal dari bagian tengah. Mereka tiba di komunitas tersebut pada pertengahan tahun 2023 lalu saat masih postulan untuk belajar Bahasa Indonesia selama sekitar tiga bulan. 

Baginya, belajar Bahasa Indonesia tak terlalu sulit. Strukturnya hampir sama dengan Bahasa Vietnam. Hal ini membuatnya cepat memahami, meski kadang ia masih salah dalam mengucapkan kata-kata tertentu yang pelafalannya hampir sama. Misalnya, rambut dan rumput, kelapa dan kepala. “Saya cepat belajar. Tidak tahu, ini masalah atau tidak. Setelah menangkap maksudnya, saya langsung ngomong. Kadang masih salah, tapi teman-teman sudah mengerti karena kami tinggal bersama. Kadang salah pengucapan malah menimbulkan gelak tawa,” imbuhnya.

Layaknya orang Vietnam pada umumnya, ia juga mengalami kesulitan dalam mengucapkan sebuah kata yang berawalan dengan huruf “p” dan “b” dan mengandung huruf “r” di bagian tengah kata tersebut. Misalnya, kata “pergi.” Ia harus berhati-hati dalam mengucapkannya. “Kalau ngomong cepat, huruf ‘r’ bisa hilang, tidak terucap. Begitu pun kata ‘belajar,’” ungkapnya,

Pernah suatu ketika ia bersama para biarawati mendaraskan Doa Salam Maria. Saat itu ia masih mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata “terpujilah.” Namun ia pantang menyerah. Ia terus belajar sampai ia mampu mengucapkannya dengan benar.

Tak hanya bahasa, ia juga mengalami culture shock, atau suatu perasaan di mana seseorang merasa terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Suster Nhi, yang kini novis dan tengah menjalani masa orientasi di sekolah yang dikelola Kongregasi CB di Surabaya, Jawa Timur, pernah berhadapan dengan situasi di mana ia tak bisa memilih. Ketika ia mengunjungi sebuah keluarga, ia disuguhi satu gelas teh manis. “Di Vietnam ada satu tradisi minum teh dengan gelas kecil. Kalau tamu tidak minum, tuan rumah merasa sedih. Saya sendiri kalau minum teh tidak bisa tidur. Jadi saya bingung. Saya tidak bisa menolak, tapi kalau minum saya takut tidak bisa tidur,” kenangnya, sambil tersenyum. 

Meski demikian, ia menemukan satu keindahan. Menurutnya, Indonesia adalah negeri kaya budaya. Ketika ia datang bersama keempat rekannya, ia mendengar ada banyak bahasa. “Indonesia di mata saya luar biasa. Walaupun mayoritas Muslim, tapi masyarakat bekerja sama. Di komunitas kami ada karyawan Muslim. Mereka mencintai kami. Ketika kami menjadi novis, keluarga kami tidak ada yang datang. Karyawan Muslim datang. Mereka mencintai dan mendukung kami,” ujarnya.

Katharina Reny Lestari dari Surabaya 

Sumber:  Majalah HIDUP, Edisi No. 6, Tahun ke-79, Minggu, 9 Februari 2024  

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles