HIDUPKATOLIK.COM – REMAJA Generasi Z masuk seminari karena dua faktor utama yaitu tarikan teladan pastor dari satu sisi dan dorongan keluarga dari sisi lain.
Simpulan di atas bukan berdasar hasil survei terstruktur. Itu penulis simpulkan dari hasil analisis isi 129 esai refleksi panggilan yang ditulis para siswa kelas I (Grammatica) dan kelas II (Syntaxis) SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar. Mereka adalah remaja Generasi Z (Gen Z).
Para seminaris itu diminta menulis esai untuk penilaian kemampuan tulis, sebelum mengikuti penguatan literasi digital tanggal 31 Mei – 2 Juni 2024. Kegiatan itu difasilitasi tim kecil Paguyuban Gembala Utama (PGU). Penulis ada di dalam tim itu.

Penulis telah membaca dan menganalisis informasi kualitatif dalam esai-esai tersebut. Untuk keperluan analisis, penulis juga telah mengkuantifikasi empat informasi kunci yaitu sumber inspirasi panggilan, sumber informasi seminari, faktor kesukaran di seminari, dan faktor penahan di seminari.
Tujuannya untuk menjawab pertanyaan generik “mengapa Gen Z menjadi seminaris”. Atau, lebih spesifik, mengapa para remaja laki Gen Z tertarik masuk ke dan bertahan di seminari, sekolah calon pastor Katolik.
Pastorku Idolaku
Siapa sosok utama yang telah menginspirasi Gen Z masuk seminari? Pastor paroki! Sejumlah 60 persen (dari total 129) seminaris menyebut sosok tersebut – entah dia pastor kepala dan pastor rekan.
Pastorku idolaku. Kurang lebih begitulah sanjungan para Gen Z kepada pastornya, dulu semasa mereka umumnya masih usia Sekolah Dasar.
Dalam pandangan kanak-kanaknya, pastor bagi mereka adalah sosok idaman. Sosok yang berwibawa, gagah, pintar, ramah, perhatian, serba-bisa, penolong, serta dihormati dan dicintai umatnya.
Pastor dijadikan teladan. “Kelak aku mau jadi pastor.” Anak-anak itu memutuskan pilihan masa depannya pada usia sangat dini. Kelak mereka menyebutnya panggilan.
Lantas bagaimana peran keluarga? Sebanyak 50 persen seminaris Gen Z menyebut peran keluarga lebih sebagai pendukung panggilan.
Para orang tua tampil menjadi pendukung utama. Sekalipun pada awalnya mereka meragukan keseriusan pilihan anaknya. Tak hanya dengan kata persetujuan, orang tua mendukung dengan cara mendekatkan anaknya kepada pastor.

Sedapat mungkin orang tua menjembatani komunikasi intensif antara anaknya dengan pastor. Anak diajak bertemu dan berbincang dengan pastor pada berbagai kesempatan. Misalnya seusai Misa dan saat kunjungan pastoral. Bila tinggal dekat pastoran, tak jarang orang tua mengajak anaknya mengunjungi pastor.
Selain dua faktor di atas, kegiatan misdinar (15 persen) dan kegiatan minggu panggilan (6 persen) juga berdampak positif. Menariknya, kedua hal tersebut ternyata bukan sumber inspirasi panggilan. Keduanya dialami Gen Z lebih sebagai penguat saja, sebab keputusan panggilan telah diambil sebelumnya.
Secara khusus kunjungan bersama pastor ke stasi-stasi dikenang para seminaris Gen Z sebagai pengalaman yang menguatkan panggilan. Momen-momen sambutan ramah umat, jamuan makan enak, dan perkenalan sebagai calon seminaris semakin meneguhkan cita-cita mereka menjadi pastor.
Bukan dari Internet
Sumber informasi tentang seminari bagi para seminaris Generasi Z itu ternyata bukan internet. Ini cukup mengejutkan mengingat mereka dikenal sebagai warga digital sejak lahir. Tapi, faktanya, hanya 6 persen dari mereka yang mencari informasi seminari di internet.
Sumber informasi seminari yang paling banyak disebut adalah anggota keluarga khususnya orang tua (21 persen), pastor (20 persen), dan para guru sekolah (16 persen). Sumber-sumber itu umumnya hanya memberi gambaran tentang apa itu seminari.
Para ayah yang sempat bersekolah di seminari adalah perkecualian. Kepada anaknya mereka bercerita tentang kehidupan di seminari. Kendati mereka cenderung mengisahkan peristiwa-peristiwa bahagia saja.
Ada dua kemungkinan mengapa para seminaris Generasi Z itu tak mengandalkan internet sebagai sumber informasi seminari. Pertama, mereka lebih mengandalkan sumber primer terpercaya yaitu orang tua, pastor, dan guru. Kedua, website resmi dan medsos seminari kurang dikenal atau bahkan kurang menarik dan kurang informatif.
Tak Seindah yang Dibayangkan
Semula para seminaris Gen Z itu membayangkan seminari sebagai tempat belajar yang indah, damai, dan menyenangkan. Mereka pikir para pastor yang pintar dan baik hati pastilah dihasilkan dari sekolah semacam itu.
Tapi kenyataan tak seindah bayangan. Begitu mulai masuk asrama seminari, mereka langsung dihadapkan pada kesukaran dalam proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai seminari. Pada kasus SMCS nilai-nilai yang dimaksud adalah sanctitas, scientia, societa, dan sanitas – saleh, cendekia, bela rasa, dan sehat.

Dalam konteks sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai itu, para seminaris mencatat dua kesukaran yang menjadi sumber derita utama. Mereka menyebutnya derita “penjara kudus” – julukan untuk gedung SMCS.
Pertama, derita karena penerapan disiplin kehidupan seminari yang super ketat (19 persen). Tadinya mereka terbiasa hidup bebas, tiba-tiba terkungkung di seminari dengan rutinitas harian yang diatur ketat. Mulai dari tidur, ibadah, belajar, makan, olahraga, penggunaan gadget, dan rekreasi diatur secara ketat. Pelanggaran disiplin diganjar hukuman setimpal, mulai dari sekadar teguran sampai dikeluarkan dari seminari.
Kedua, derita karena kekerasan verbal dan fisik dari senior (12 persen). Kekerasan oleh senior ini sudah menjadi semacam “tradisi seminari”. Dari satu sisi dia berfungsi sebagai ujian kekuatan mental, ketabahan, dan kerendahan hati junior. Tapi dari sisi lain terasa sebagai penghinaan martabat.
Derita seminaris tersebut dialami terutama semasa kelas Grammatica. Mayoritas seminaris kuat melewatinya hingga naik ke kelas Syntaxis. Tapi ada beberapa orang yang tak kuat mental lalu keluar dari seminari.
Mengapa Bertahan?
Dengan segala disiplin hidup yang ketat dan risakan senior, mengapa sebagian besar seminaris Gen Z bisa bertahan? Mengapa tidak keluar saja dari “zona derita” atau tempat yabg mereka sebut “penjara kudus”?
Ternyata ada sedikitnya tiga faktor penahan yang pengaruhnya lebih kuat. Sekurangnya bisa menetralisir pengaruh negatif penegakan disiplin dan risakan senior.
Pertama, kegiatan olahraga dan kesenian antara lain seni suara, musik, dan drama (17 persen). Bagi para seminaris kegiatan olahraga dan seni bukan semata untuk pengembangan bakat dan kebugaran tubuh. Kegiatan itu juga menjadi katarsis, wahana pelepasan emosi-emosi negatif mereka untuk memulihkan kesehatan rohani.
Kedua, kegiatan pembinaan rohani (17 persen). Sebenarnya kegiatan pembinaan rohani ini adalah bagian dari rutinitas proses internalisasi nilai kesalehan dan belarasa. Awalnya dirasakan menyiksa. Tapi secara perlahan menjadi kebiasaan dan kemudian kebutuhan. Ekaristi pagi, doa malaikat, doa senja, dan doa malam bersama dirasakan sebagai penguatan rohaniah. Begitu pula dengan meditasi dan rekoleksi atau retret. Para seminaris mengalami semua itu sebagai cara menghidupi panggilan mereka.
Ketiga, solidaritas antarteman sekelas (14 persen). Saat jenuh dengan disiplin, atau saat dirisak senior, teman-teman sekelas datang menguatkan. Hal itu menebalkan solidaritas dan kekompakan antar-seminaris. Serta menguatkan tekad mereka bertahan di seminari.
Beberapa Saran
Berdasar fakta-fakta di atas, beberapa hal bisa disarankan untuk peningkatan panggilan dan kinerja seminari ke depan.
Pertama, pastor-pastor paroki adalah idola yang menginspirasi anak-anak usia sekolah dasar sehingga tertarik dan memutuskan menjadi pastor. Karena itu para pastor paroki sebaiknya berperan sebagai ujung tombak panggilan. Misi khususnya merangkul anak-anak lewat komunikasi primer.
Kedua, peran orang tua ternyata lebih sebagai pendukung keputusan anak menjadi pastor. Karena itu para orang tua Katolik sebaiknya aktif memperkenalkan seminari kepada anak lakinya, sebagai bentuk fasilitasi anak dalam pengambilan keputusan.
Ketiga, isi dan tampilan website dan media sosial seminari perlu dirancang lebih menarik, disesuaikan dengan selera dan kebutuhan anak SD dan SMP, atau Gen Z dan Alpha, akan informasi tentang seminari sebagai sekolah lanjutan yang cocok mereka.

Keempat, muatan kekerasan verbal dan fisik pada tradisi senioritas di seminari sudah semestinya dihapuskan. Untuk maksud penguatan mental seminaris, bisa diterapkan kegiatan bina mental terstruktur – boleh melibatkan tentara.
Kelima, kegiatan olahraga dan seni serta pembinaan rohani ternyata menjadi faktor penahan seminaris untuk tetap setia pada panggilannya. Karena itu dua kegiatan itu selayaknya dijadikan nilai unggul seminari dibanding sekolah umum. Kegiatan-kegiatan itu tak hanya berfungsi sebagai pengikat tapi juga pemikat panggilan Gen Z.
M.T. Felix Sitorus, Sosiolog, alumni SMP-SMCS Pematang Siantar tahun 1974-1976.
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.06, Tahun Ke-79, Minggu, 9 Februari 2025