HIDUPKATOLIK.COM – Rekonsiliasi dengan dunia yang kita huni perlu dilakukan. Demikian menurut Laudate Deum (2023), sebagai Seruan Apostolik Paus Fransiskus kepada Semua Orang yang Berkehendak Baik tentang Krisis Iklim.
Paus Fransiskus menyerukannya, karena dunia sedang mengalami krisis iklim global dan kerusakan global yang terjadi perlu kebajikan dan keputusan besar politik secara nasional serta internasional. Namun menurutnya, politik internasional lemah. Jadi, Paus mengundang semua orang untuk mengambil jalan rekonsiliasi tersebut.
Upaya individual? Waduh apa bisa? Diakui oleh beliau bahwa solusi mengatasi krisis iklim global yang efektif secara kuantitatif tidak datang dari upaya individual, tetapi, hal sekecil apa pun dapat membantu menghindari kenaikan suhu global dan mengurangi penderitaan banyak orang (Laudate Deum, 69-70).
Meskipun dampak dari upaya individual tidak serta merta menyelesaikan masalah krisis iklim secara kuantitatif (contohnya upaya mengurangi sampah dan mengonsumsi dengan bijak), tetapi percayalah, katanya, dengan mengubah kebiasaan pribadi, lalu kebiasaan keluarga, maka lama-lama akan menjadi kebiasaan masyarakat yang dapat mewujudkan proses transformasi.
Perubahan besar dalam gaya hidup yang tidak bertanggungjawab dapat berdampak secara jangka panjang. Biarlah keputusan-keputusan politik berjalan, katanya lagi, dan seiring dengan itu, kita pun dapat berada di jalan kepedulian satu sama lain (Laudate Deum, 72).
Upaya apa yang bisa dilakukan? Kita bisa melakukan sesuatu lewat olah raga. Olahraga? Ya, Paus menyebut paradigma teknokratis yang semakin dominan membuat manusia terlalu memuja peradaban teknologis dan membentuk budaya baru (LS, 106-110). Hal yang sama sudah dikemukakan oleh Albert Borgmann dalam bukunya Technology and the Characker of Contemporary Life (TCCL, 1984) mengenai paradigma peranti (devices paradigm).
Menurut Paus dan Borgmann, teknologi tidak netral, dan bukan lagi menjadi sekedar sarana untuk mencapai tujuan seperti yang kita yakini selama ini, tetapi menjadi tujuan itu sendiri. Produk-produk teknologi, yang kita pilih dan gunakan, ternyata bukan sekedar peralatan, melainkan pilihan tentang jenis kehidupan sosial yang dikembangkan (LS.107). Peralatan olahraga termasuk produk teknologi
Dalam refleksi penulis, produk-produk tersebut termasuk peralatan olahraga yang membentuk budaya baru seperti gaya hidup “nge-gym” contohnya. Berolahraga di pusat kebugaran modern memang mengasyikkan, karena banyak peralatan teknologis yang membantu kita menjaga kebugaran. Namun sekaligus menguras kantong karena tarif keanggotaannya, busananya, dan belum lagi suplemen-suplemen yang perlu diminum, yang bukan lagi untuk kebugaran tetapi untuk mencapai cita-cita mendapatkan bentuk tubuh ideal.
Lihatlah, perbincangan di dunia “Gym,” baik langsung mau pun yang lewat media sosial, yang umumnya bukan lagi menyangkut kebugaran tubuh semata tetapi lebih mengenai beragam produk teknologi untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal- termasuk intervensi teknologis seperti operasi plastik dan sebagainya.
Nah, jelas kan tujuan teknologi? Ya jelas, karena sebenarnya tujuannya adalah melipatgandakan penggunaan atau konsumsi akan produk-produk teknologi itu sendiri. Tujuan tersebut dikemas dengan topeng “sarana mencapai kebugaran dan bentuk tubuh ideal”. Padahal, apa kriteria tubuh ideal?
Borgman, dalam bukunya yang lain, yaitu Holding on to Reality: The Nature Information at the Turn of the Milllenium (Holding, 1999), mengatakan bahwa untuk melawan paradigma teknologi, manusia perlu sering-sering kembali ke alam dan mencoba terhubung dengan alam serta mendengarkan bisikannya. Carilah inspirasi dari pesan alam secara langsung lewat informasi alami ketika bersentuhan dengannya.
Hal yang sama diserukan oleh Paus mengenai perlunya melawan budaya teknologis lewat membangun budaya ekologis (LS, 111-114). Untuk itu perlu cara pandang yang berbeda, cara berpikir, serta gaya hidup dan spiritualitas yang berdaya-tahan dalam melawan paradigma teknokratis.
Terinspirasi oleh Borgman dan Paus, penulis mencoba menjalani olah raga jalan kaki di pagi hari di alam seputar lingkungan tempat tinggal. Kebetulan dalam jangkauan 10 menit terdapat danau Situ Gintung, dan jalan mengitarinya, jika cepat, membutuhkan waktu sekitar 60 menit. Ternyata berjalan kaki pagi di alam merupakan kegiatan yang menyenangkan. Jalan kaki dapat dilakukan sendirian.
Awalnya, berjalan kaki sendirian dirasa efektif, efisien, dapat berjalan cepat, dapat mendengarkan musik kegemaran lewat HP yang terhubung lewat earphone. Dengan berjalan kaki sendirian, penulis serasa berada di dunia dimana hanya terdapat “diriku dan alam”- serta Allah.
Beberapa lama kemudian, alam menciptakan situasi terjadinya perjumpaan dengan orang-orang yang juga melakukan olahraga jalan pagi. Lalu, mulai terjadi interaksi sederhana, yaitu saling angguk, saling senyum, dan saling sapa. Perjumpaan yang paling intens dirasakan ketika bertemu dengan sesama lansia yang ternyata masih sanggup berjalan mengitari danau Situ Gintung. Harni namanya.

Bersama Harni, aktivitas olahraga jalan kaki menjadi agak lama, karena ia tidak secepat penulis ketika berjalan. Namun, kami dapat berbincang dan saling mendengarkan. Istilah teknologi efisien dan efektif mulai dilupakan, karena berjalan lebih lambat dari biasanya bersama Harni mungkin tidak efektif, tetapi jauh lebih bermakna. Handphone dan earphone menghilang dari genggaman tangan dan telinga, berganti dengan genggaman tangan manusia ketika kami menyeberang, atau ketika melewati jembatan kecil, atau ketika kaki terantuk sesuatu, dan suara riang terdengar di telinga ketika kami saling berbagi kisah. Keindahan alam seputar danau Situ Gintung semakin terasa karena kami pun saling berbagi “rasa”: “Aduh, segarnya angin pagi ini, lihat air danaunya memukau, wah sinar matahari pagi ini nyaman, dst”.
Tidak ada hari kami lalui ketika berjalan pagi tanpa memuji nama-Nya lewat cara kami masing-masing, karena kami berbeda agama. Bersama Ibu Harni pula, kami mulsi mengenal pribadi-pribadi yang berolahraga di seputaran itu. Menyebut nama pribadi yang kami kenal yang semakin lama semakin banyak, ketika saling menyapa riang, membuat kami dianugerahi persaan bahagia.
Tidak berapa lama kemudian, alam yang telah memfasilitasi perjumpaan tersebut menguak kisah kehidupan Harni saat ini. Tak terlihat dari bahasa tubuh maupun paras wajahnya kehidupan sulit yang dijalaninya, bahwa dirinya sangat miskin. Ternyata, ia tinggal bersama anak perempuan, menantu, dan dua cucunya. Keluarga tersebut mengontrak ruang kecil sederhana (bukan rumah) dan hidup dengan mengandalkan pendapatan anak perempuan Ibu Harni yang berpenghasilan UMR Kabupaten Bogor. Menantunya tidak bekerja karena PHK dan kedua cucunya adalah remaja SMP. Apa yang dapat saya lakukan?
Alam pun menyediakan jawabannya. Jalan kepedulian satu sama lain menciptakan kreativitas tersendiri. Kami melihat banyaknya “harta karun” yang disediakan alam liar di seputaran danau Situ Gintung. Saya penyuka bunga liar dan kami sering membujuk tanaman liar di sana untuk membolehkan kami memetik bunga-bunganya yang cantik yang akan ditaruh di vas penghias meja di rumah. Seringkali juga mendapatkan bayam atau kangkung liar yang dapat dijadikan sayur untuk dikonsumsi keluarga Harni.

Sampai, suatu saat, kami mendapatkan penglihatan yang menakutkan (tremendum) sekaligus memesona (fascinatum) oleh banyaknya botol-botol dan gelas-gelas plastik yang ditinggalkan orang di sana. Harta karun! Alam seakan meminta kami untuk membersihkannya dari cekikan sampah-sampah plastik dan sebagai imbalannya, ia menyediakan harta karun bagi Ibu Harni. Kami melawan ketakutan dan memilih jalan yang memesona. Kami pun menjawab suara alam dan mulai menjadi pemulung botol, gelas, dan plastik-plastik yang dapat disetor ke Bank Sampah Kembang Sepatu di RW tempat kami tinggal, sambil olahraga jalan pagi.
Ternyata, Allah yang memanggil kita kepada suatu komitmen yang murah hati dan rela memberikan segalanya memberi kita kekuatan dan juga terang yang kita butuhkan untuk bergerak maju. Kasih-Nya terus menerus mendorong kita untuk menemukan jalan-jalan baru (LS, 246). Upaya kecil melawan budaya teknologis lewat olahraga jalan pagi di alam membawa kami perlahan-lahan menuju budaya ekologis. Terpujilah Engkau, Tuhanku.
Margaretha Margawati, Anggota Gerakan Laudato Si’ Indonesia