HIDUPKATOLIK.COM – RUMAH RetreT Girisonta dikelola oleh Jesuits. Tempat ini telah menjadi oase kedamaian bagi banyak peserta retret pribadi dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.
Penulis menjalani retret pribadi dengan tujuan untuk kembali menelaah hati sesuai anjuran Ensiklik Delixit Nos yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus.
Ensiklik ini menggarisbawahi betapa Allah mengasihi kita dan bagaimana kita seharusnya membalas kasih itu dengan mencintai sesama dan merawat ciptaan Tuhan.
Girisonta memberikan Pastor Agustinus Priyono Marwan, SJ sebagai pembimbing retret saya, dan di dalam pertemuan awal, Romo Priyo, sapaannya, mengingatkan saya untuk Rest, Relax, Reflect, dan Read, serta pentingnya menjadikan momen-momen ini sebagai “liburan” bersama Tuhan dengan tujuan memperkuat kembali relasi kita dengan-Nya.
Menggali Citra Diri
Di hari ini pertama saya diajak untuk melakukan refleksi mendalam tentang bagaimana Allah menciptakan Alam Semesta, dan kesempatan untuk perjumpaan pribadi dengan Tuhan, sebuah pengalaman yang membangkitkan dan mengembangkan diri sesuai kehendak kasih-Nya.
Meditasi yang diberikan kepada saya mencakup tiga aspek utama: (1) Penciptaan Langit dan Bumi (Kejadian 1:1-2:6); (2) Kemuliaan Tuhan dalam Pekerjaan Tangan-Nya (Mazmur 19:2-7); dan Kebesaran Tuhan dalam Segala Ciptaan-Nya (Mazmur 104).
Batu Manresa
Siang hari, saya menghabiskan waktu di Batu Manresa di halaman belakang Girisonta. Batu ini terinspirasi oleh pengalaman St. Ignatius Loyola, yang semasa hidupnya mengalami penampakan dan transformasi rohani di gua Manresa, Spanyol. Di tempat itu, ia merasakan kedekatan yang mendalam dengan Tuhan, yang kemudian menjadi landasan bagi Latihan Rohani Ignatian.

Di depan Batu Manresa saya mendapati kedamaian mendalam dan gerakan Roh-Nya yang begitu kuat hingga membuat saya menangis tersedu. Ini adalah tangisan syukur, menyadari betapa baiknya belas kasih Allah selama hidup saya. Menghabiskan waktu di tempat ini memberikan ruang bagi jiwa untuk beristirahat, menyerap keheningan serta mendengarkan bisikan kasih tanpa batas dari Sang Pencipta.
Di hari ini saya mendapatkan kenyataan bahwa retret ini menegaskan kembali pentingnya memiliki kesadaran akan asal dan tujuan hidup. Dengan cara ini, manusia tidak menjadi “orang hilang” di dunia ini.
“Jurnal Pengalaman Hidup”
Pada hari ini, saya diingatkan akan Allah yang terus-menerus menciptakan manusia (termasuk saya) sebagai citra-Nya yang indah dan penuh daya; penuh kasih, serta dipercayakan tanggung jawab atas ciptaan lainnya.
Bacaan doa dari Kejadian 2:7-25 dan Mazmur 8:1-10 menghantarkan saya untuk merenungkan betapa mulianya manusia sekalipun dalam kerentanannya. Kemudian, dengan bahan meditasi dari Mazmur 139:1-24, Yesaya 43:1-7, dan Yeremia 18:1-6, saya diajak untuk menyelami betapa intim dan personalnya perhatian Allah terhadap setiap individu.
Wawanhati yang saya lakukan dengan Tuhan dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan, “Apa gambaran/citra Allah yang saya temukan dan saya sadari dalam diriku?” dan “Kapan terakhir saya merasa atau menyadari ‘diciptakan kembali’ oleh Allah?”. Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong saya untuk menyadari belas kasih Allah yang tak berkesudahan dalam hidup saya. Saya diarahkan untuk memahami momen saat saya merasa diperbarui oleh kasih Allah dan bagaimana saya bisa ikut serta dalam karya-Nya sebagai bentuk kerjasama dengan Tuhan.
Dalam wawancara harian saya dengan Romo Priyo, saya diberikan tugas membuat “jurnal pengalaman hidup”, yang mana ini benar-benar menjadi medium refleksi efektif untuk menggali lebih dalam pentingnya peran saya sebagai citra Allah. Memori-memori tentang kasih dan bimbingan-Nya mengalir di halaman buku catatan saya, menghadirkan perasaan damai dan syukur yang melimpah.
Mencari Jawaban
Pada hari ketiga, saya berusaha mencari jawaban dari beberapa pertanyaan eksistensial yang sering menggema dalam pikiran saya, seperti:
“Siapakah saya sebenarnya?”,
“Apakah yang saya cari?”
“Arah apa yang ingin saya berikan pada hidup saya?”
“Mengapa dan untuk tujuan apa saya ada di dunia ini?”
“Bagaimana saya ingin mengenang hidup saya setelah berakhir?”
Pertanyaan terakhir itu mengajak saya untuk mempertimbangkan “warisan” apa yang ingin saya tinggalkan dan bagaimana saya ingin dikenang oleh orang-orang sekitar. Bersyukur pada hari itu, saya diberikan kesempatan untuk hadir pada Misa Requiem Romo Agustinus Mangunhardjana SJ, di mana homili hari itu mengajak saya untuk wawanhati dengan Tuhan mengenai rahmat yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan ini, tidak dapat mengandalkan kekuatan diri semata tetapi lebih mengandalkan belas kasih Allah.
Sesuatu yang Berbeda
Retret di Girisonta menawarkan sesuatu yang berbeda dari yang lain, terutama dalam hal sakramen rekonsiliasi. Biasanya, dalam retret-retret yang saya ikuti sebelumnya, rekonsiliasi menjadi salah satu kegiatan utama dan dilakukan di awal. Namun, Romo Priyo, pembimbing retret, memberikan pendekatan yang unik dengan memberikan kebebasan penuh untuk memilih waktu penerimaan sakramen ini.
Saya menemukan bahwa kebebasan untuk memilih waktu menerima sakramen rekonsiliasi benar-benar mendorong refleksi yang lebih dalam. Di setiap sore, meskipun saya diberi kesempatan untuk menerima Sakramen Ekaristi, penerimaan rekonsiliasi menunggu kesiapan hati yang lebih mendalam. Ini memberikan ruang untuk introspeksi dan memacu saya untuk benar-benar mengikuti proses metanoia – transformasi diri yang sebenarnya.
Selama retret, bahan meditasi yang diberikan juga sangat mendukung proses transformasi ini. Bacaan dari Yesaya 55:1-13 memberikan panggilan untuk datang dan menerima kasih karunia Tuhan tanpa syarat. Sedangkan Mazmur 16:5, 8-11 dan Mazmur 85:1-4 & 10-12 menekankan kebahagiaan dan pengampunan yang ditemukan dalam kedekatan dengan Tuhan. Setiap bacaan, dalam rasionya masing-masing, membawa saya lebih dekat pada pemahaman akan betapa besar pengampunan Tuhan.

Di akhir retret, setelah melalui proses meditasi dan refleksi, saya memberanikan diri untuk menerima sakramen rekonsiliasi. Metanoia – perubahan pikiran, arah, dan hati – adalah inti dari pengalaman spiritual saya selama ini.
Pengalaman retret di Girisonta tidak hanya memperkuat iman saya, tapi juga menghadirkan kedamaian yang selama ini saya cari. Dengan pembimbingan yang penuh pengertian dan bahan meditasi yang mendalam, Girisonta memberikan ruang bagi jiwa saya untuk bertumbuh.
Cornel Juniarto, umat Paroki SanMare, Keuskupan Agung Jakarta