HIDUPKATOLIK.COM – “Bertobatlah! Lakukan pertobatan ekologis!”, demikian seruan dari Paus Fransiskus pada 2015 lewat dokumen Ensiklik Laudato Si’, mi’ Signore. Aduh, pertobatan apakah ini?
Laudato Si’, mi’ Signore – “Terpujilah Engkau Tuhanku!” merupakan dokumen ensiklik dari Paus Fransikus yang menyerukan perlunya kesadaran akan tali persaudaraan antara manusia dan ciptaan lainnya. Di dalam dokumen tersebut, Paus Fransiskus memberi gambaran bahwa situasi saudari Bumi yang juga adalah ibu kita, sekarang sedang menjerit karena kerusakan akibat ulah manusia (Hendani, 2018, hal.9). Banyak hal yang dibahas di dalam dokumen tersebut, namun kali ini, tulisan ini mau berfokus kepada salah satu keprihatinnya yang tertuang dalam dokumen tersebut yaitu tentang pangan.
Pangan? Ya, pangan. Jadi, tulisan ini mau menunjukkan bahwa pertobatan ekologis dapat dimulai dari hal yang yang menyangkut ekologi hidup sehari-hari. Kita berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan, tetapi jika lingkungan berantakan, kacau, atau kelihatan tercemar dan bising, maka sulit bagi kira untuk hidup secara utuh dan bahagia (LS 147). Kehidupan yang bermartabat di wilayah pemukiman padat penduduk, di perkotaan misalnya, dapat dibangun lewat membina hubungan bertetangga yang ramah, menciptakan komunitas, dan mengikutsertakan setiap orang (LS 148). Kualitas hidup di kota-kota terkait erat dengan transportasi yang sering menjadi banyak penderitaan bagi rakyat (LS 153).
Apa kaitannya dengan pangan? Begini. Paus Fransiskus mengutip keprihatinan Paus Paulus VI pada 1971 mengenai tak terkendalinya eksploitasi manusia atas alam, terutama dalam hal penyediaan bahan pangan. Penggunaan teknologi berlebihan, termasuk pengalihfungsian hutan untuk tanaman pangan yang bernilai ekonomis sangat merusak alam. Hal tersebut menyebabkan bencana ekologis. Belum lagi distribusi dan teknologi pengemasan yang sangat berkembang menuntut penggunaan transportasi berlebihan yang mengonsumsi BBM penghasil emisi pencemaran udara.
Pasar-pasar tradisional penyedia bahan pangan sehari-hari banyak digantikan oleh supermarket. Pasokan bahan pangan ke supermarket didominasi pengusaha bermodal kuat yang menyediakan teknologi pengemasan, pendinginan, dan distribusinya. Semuanya memerlukan energi yang berasal dari sumber energi yang tak terbarukan dan menghasilkan emisi pencemaran udara.
Supermarket memerlukan infrastruktur seperti pendingin ruangan baik agar pengunjung merasa nyaman berbelanja dan untuk pengawetan bahan pangan. Pencahayaan juga memerlukan energi listrik. Padahal listrik di negara kita masih berbasis batubara. Pun teknologi pengemasan dan pengawetan bahan pangan seringkali mengandung zat-zat kimia. Lalu, bagaimana kita dapat melakukan pertobatan ekologis dalam hal ini?
Untuk itu, pertobatan ekologis dapat dilakukan dengan mengubah kebiasaan dan membiarkan seluruh buah dari pertemuan dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan dengan dunia di sekitar. Nah, berarti pertama-tama kita perlu sering-sering berefleksi dan meminta bimbingan Yesus Kristus untuk mengubah kebiasaan dan mulai membangun hubungan dengan dunia di sekitar. Jadi, kita dapat mulai mengurangi kebiasaan berbelanja untuk mendapatkan bahan pangan sehari-hari. Pergi ke supermarket perlu transportasi yang menghabiskan energi BBM dan mengurangi bergaul dengan tetangga. Menurut LS 49, pendekatan ekologis yang sejati selalu berupa pendekatan sosial. Pendekatan ekologis yang sejati perlu kontak fisik dan perjumpaan dengan sesama di seputar kita.
Mengubah kebiasaan berbelanja dan mulai berjalan kaki sekitar lima menit ke tempat para tetangga berbelanja di ujung jalan, membuka perspektif baru. Beberapa bakul sayur berkumpul di sana, dan ada juga yang menggelarnya di atas tikar di pinggir jalan. Perjumpaan dengan para bakul sayur dan ibu-ibu yang berbelanja di sana membawa pengetahuan dan cara pandang baru.

Berbelanja sayur mayur dan kebutuhan lainnya dari tempat belanja yang baru diantar para petani sayur mayur menjamin pasokan sayuran segar. Aneka sayur mayur yang eksotis dan buah-buah segar lokal yang berlimpah. Bahan pangan tersebut dipasok tanpa meninggalkan jejak karbon yang panjang. Berbelanja tanpa penerangan listrik, karena adanya sinar matahari. Berbelanja tanpa perlu mesin pendingin, karena adanya semilir angin pagi alami. Berbelanja di bakul sayur dapat memotong jejak rantai karbon. Perjumpaan dengan para ibu yang ramai berceloteh, saling menyapa, menanyakan kabar ternyata berbuah aksi nyata, yaitu membangun komunitas Bank Sampah tingkat RW yang sekarang sedang berproses dengan berbagai aktivitas pelatihan ekologis.
LS 220 menyatakan bahwa pertobatan semacam ini menyiratkan berbagai hal. Pertama, menyiratkan rasa syukur karena memahami dunia sebagai hadiah yang diterima dari kasih Bapa. Kedua, menyiratkan kesadaran bahwa kita tak terputus dari mahluk lainnya dan tergabung dalam persekutuan universal yang indah. Ketiga, mendorong untuk mengembangkan semangat dan kreativitas sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan (Roma 12:1). Lalu, yang terakhir dan terpenting, lewat pertobatan ekologis ini, kita tidak menganggap kelebihan kita sebagai alasan untuk memegahkan diri atau mendominasi secara tidak bertanggungjawab, tetapi sebagai kemampuan berbeda untuk bertanggungjawab kepada lingkungan hidup, yaitu sesama dan alam ciptaan Tuhan. Tanggungjawab yang lahir dari iman.
Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati Hari Energi Bersih 25 Januari.
Margaretha Margawati dari Gerakan Laudato Si’ Indonesia