HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 2 Februari 2025, Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah, Mal. 3:1-4; Mzm. 24:7.8.9.10; Luk. 2:22-40 (Luk. 2:22-32).
PADA umumnya, para orang tua berkeinginan agar kelak anak mereka menjadi orang yang baik, orang yang berhasil, orang yang bisa hidup mandiri dan bahagia dari hasil pekerjaannya sendiri. Mereka pasti kecewa, bahkan putus asa jika anak mereka tidak berhasil atau gagal menggapai cita-cita, karena orang tua selalu berpikir hal yang terbaik bagi anaknya. Maria dan Yosef sebagai manusia juga memikirkan hal yang terbaik untuk putra mereka, Yesus. Hal yang terbaik menurut mereka ialah membawa Yesus untuk dipersembahkan kepada Allah.
Taat pada Taurat
Dalam Injil hari ini kita mendengar tentang Maria, Yesus, dan Yosef yang setia mematuhi upacara keagamaan Yahudi, sebab sebagai orang Yahudi mereka harus tunduk pada hukum Taurat. Hal pertama yang dipatuhi adalah upacara penebusan anak sulung. Sesuai dengan Hukum Taurat yang termuat dalam kitab Keluaran (Kel. 13:2) Yesus sendiri sebagai anak sulung adalah milik Allah dan bukan milik orang tuanya.
Oleh karena itu, Yesus harus dikuduskan bagi Allah, dan sekaligus ditebus oleh orang tua-Nya dengan persembahan tertentu. Oleh karena keluarga Maria dan Yosef adalah keluarga miskin, maka mereka hanya mempersembahkan dua ekor burung merpati untuk upacara di Kenisah.
Hal kedua adalah upacara penyucian sesudah kelahiran. Ketika Yesus genap berumur empat puluh hari itu, Maria harus menjalani upacara penyucian atau pembersihan diri setelah melahirkan. Mengapa dibuat upacara ini? Sebab menurut hukum Yahudi yang termuat dalam kitab Imamat (Im.12:9) setiap wanita yang melahirkan dianggap najis. Wanita tersebut dapat melakukan pekerjaan sehari-hari, tetapi tidak boleh masuk ke dalam Kenisah atau mengambil bagian dalam upacara keagamaan.
Dalam hal ini supaya wanita itu bisa menjadi suci kembali, harus dibuat upacara pembersihan, yaitu dipersembahkanlah kurban kepada Allah. Itulah upacara yang harus dijalani oleh Maria setelah melahirkan Yesus, bersamaan dengan upacara penebusan Yesus sebagai anak sulung.
Menarik bahwa Maria dan Yosef setia melaksanakan upacara keagamaan Yahudi, yaitu membawa Yesus untuk dipersembahkan kepada Allah. Itulah hal yang terbaik menurut mereka. Yesus yang kecil harus dekat dan akrab dengan Allah, Bapa-Nya. Dia harus bertumbuh sebagai anak Allah yang terkasih. Yesus harus menjadi seorang yang beragama, dan buah dari perbuatan Maria dan Yosef ialah Yesus itu bertambah besar dan menjadi kuat, Ia penuh hikmat, dan cinta kasih Allah beserta-Nya.
Mewariskan Nilai Iman
Pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah mempunyai arti penting untuk keluarga Katolik dewasa ini. Memang para orang tua katolik bercita-cita agar anak-anak mereka harus menjadi baik, pintar, dan sukses dalam hidupnya. Cita-cita seperti ini sangat benar.
Tapi tidak boleh dilupakan untuk menanamkan iman dalam diri anak, mendekatkan mereka kepada Tuhan. Apalah artinya kelak kalau seorang anak berhasil di semua bidang, tetapi gagal hidup sebagai orang beriman. Pandangannya tentang dosa menjadi kabur, sehingga melakukan banyak kejahatan dan dosa.
Dalam konteks ini, para orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mewariskan nilai-nilai iman kepada anak-anak. Salah satu cara adalah dengan membiasakan hal-hal yang baik bagi anak-anak, misalnya doa bersama dalam keluarga sebelum dan sesudah makan, doa malam sebelum tidur, doa rosario, membaca Kitab Suci secara tetap, membawa anak-anak berdoa dan beribadat di gereja dan sebagainya.
Semoga pewarisan nilai-nilai iman ini tidak luntur oleh pengaruh modernisasi dan tidak tergilas pula oleh kemajuan ilmu dan teknologi di mana manusia cenderung melupakan Allah, tidak peduli akan kehidupan iman dan tradisi keagamaan.
Teladan Simeon dan Hana
Dalam hal ini kita temukan dua tokoh dalam Injil hari ini yaitu Simeon dan Hana, orang-orang yang tetap setia berpegang teguh pada tradisi luhur agama Yahudi, yaitu mereka mengabdikan seluruh hidupnya kepada Allah dalam doa yang tak kunjung henti. Ternyata dengan cara itu mereka boleh bertemu dengan Yesus, boleh melihat keselamatan yang datang dari Tuhan.
Simeon sendiri bersyukur atas anugerah istimewa ini, sehingga mengumandangkan sebuah kidung, “Sekarang Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan Firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi pernyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk. 2:29-32).
Tentu kita senang bahwa banyak orang tua melatih anaknya berdoa, membawa mereka ke gereja setiap hari minggu bahkan setiap hari, mengajar mereka untuk berlaku sopan waktu berdoa, menghargai dan menghormati upacara dalam Gereja Katolik untuk memuji dan memuliakan Allah dan sebagainya. Namun, sangat disayangkan juga bahwa ada banyak orang tua yang kurang peduli dengan hidup keagamaan putra putri mereka.
Maka dari itu, pantaslah kita terus mengharapkan agar para orang tua katolik dilimpahi rahmat dan berkat dari Tuhan, sehingga mereka mampu mewariskan nilai-nilai iman katolik kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka bukan hanya berhasil menjadi anak yang baik, pintar, dan sukses di segala bidang jasmani, melainkan juga menjadi anak Tuhan, yang tekun berdoa dan beriman.
“Apalah artinya kelak kalau seorang anak berhasil di semua bidang, tetapi gagal hidup sebagai orang beriman.”
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 05, Tahun Ke-79, Minggu, 2 Desember 2025