HIDUPKATOLIK.COM – Hidup sebagai orang Katolik muda di era modern bukanlah perkara mudah. Di tengah derasnya arus informasi, media sosial yang mendominasi, hingga tontonan dan gaya hidup yang sering berlawanan dengan ajaran Gereja, godaan untuk mengesampingkan nilai-nilai moral terasa semakin besar. Namun, justru di tengah tantangan ini, generasi muda Katolik—sering disebut Gen Z—menunjukkan semangat mencari jalan yang otentik dan selaras dengan iman mereka.
Anak muda Katolik saat ini mulai menyadari bahwa dunia menawarkan banyak kompromi dan hal-hal yang dangkal. Mereka tidak puas dengan liturgi yang setengah hati atau Misa yang terasa kurang khidmat. Sebaliknya, mereka haus akan pengalaman rohani yang lebih mendalam, sakral, dan jujur mencerminkan iman Katolik. Beberapa di antaranya mulai tertarik dengan Misa Tridentine yang menggunakan bahasa Latin, sementara yang lain tetap setia pada Misa Novus Ordo, tetapi berharap pelaksanaannya dijalankan dengan penuh hormat.
Tantangan lainnya datang dari kepemimpinan Gereja. Tidak sedikit anak muda merasa suara para pemimpin Gereja kurang lantang menyuarakan isu-isu moral yang mendesak. Ketakutan untuk dianggap tidak toleran kerap membuat pesan-pesan dari Gereja terkesan terlalu netral. Padahal, generasi muda membutuhkan ketegasan dan kejujuran yang menggerakkan hati mereka. Homili yang otentik, meskipun keras, jauh lebih menyentuh dibandingkan narasi yang berusaha menyenangkan semua pihak.
Generasi muda juga mulai menjauh dari perdebatan lama seputar Konsili Vatikan II. Alih-alih, mereka lebih fokus pada pertanyaan: “Bagaimana liturgi dapat membawa kami lebih dekat kepada Tuhan?” Mereka ingin Misa menjadi pengalaman yang kudus dan penuh makna, bukan sekadar ritual rutin atau acara sosial.
Komunitas menjadi elemen penting dalam menjaga dan memupuk iman generasi muda, baik di kampus Katolik maupun kampus sekuler. Di kampus-kampus, kehadiran Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti UKM Rohani Katolik atau yang biasa disebut Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) telah menjadi wadah utama bagi mahasiswa untuk mengembangkan spiritualitas mereka. Selain itu, terdapat organisasi mahasiswa seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), yang tidak hanya aktif di lingkungan kampus tetapi juga diakui secara nasional sebagai bagian dari organisasi masyarakat. PMKRI memiliki jaringan kader yang luas dan telah memberikan kontribusi besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Komunitas-komunitas ini menawarkan lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk menumbuhkan iman mereka sambil menempuh pendidikan formal. Dalam komunitas tersebut, mahasiswa tidak hanya berkumpul untuk beribadah tetapi juga berdiskusi, berbagi pengalaman, dan memperdalam pengetahuan teologis mereka. Kegiatan seperti Misa kampus, doa bersama, pendalaman Kitab Suci, dan diskusi teologi menjadi ruang-ruang berharga untuk memupuk iman yang lebih mendalam.
Namun, keberhasilan dalam menjaga dan mengembangkan iman tidak hanya ditentukan oleh keberadaan komunitas semata. Peran komunitas hanyalah sebagai fasilitator, menyediakan peluang dan ruang yang mendukung. Sisanya, keberhasilan tergantung pada keseriusan dan komitmen masing-masing individu. Mahasiswa harus memiliki keinginan kuat untuk terus mendekatkan diri kepada Tuhan, meskipun di tengah kesibukan akademik dan berbagai tantangan kehidupan kampus.
Bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan di kampus-kampus sekuler, tantangan menjaga iman mungkin terasa lebih besar karena lingkungan yang kurang mendukung secara rohani. Meski demikian, ini bukanlah alasan untuk mengabaikan pertumbuhan spiritualitas. Mahasiswa dapat aktif mencari komunitas rohani di luar kampus, seperti bergabung dengan kelompok kategorial di paroki, mengikuti komunitas doa, atau terlibat dalam kegiatan pelayanan Gereja. Kehadiran komunitas rohani di luar kampus dapat menjadi penyegar sekaligus pendukung di tengah kehidupan yang mungkin terasa sekuler dan individualistis.
Urusan relasi dan moral juga menjadi tantangan bagi generasi muda Katolik. Dalam hubungan asmara, banyak yang mengeluhkan sulitnya menemukan pasangan yang seiman dan serius. Sering kali, standar yang terlalu idealis justru menjadi hambatan. Padahal, yang terpenting adalah komitmen dalam iman dan visi keluarga yang sejalan. Di sisi lain, godaan pergaulan bebas dan akses mudah terhadap pornografi menjadi ancaman serius. Pornografi tidak hanya merusak martabat tubuh manusia, tetapi juga menciptakan pandangan yang salah tentang relasi. Pendampingan dari imam, pembina kampus, atau kelompok rohani menjadi penting untuk membantu anak muda menghadapi tantangan ini.
Generasi muda Katolik saat ini dihadapkan pada tugas besar: menjadi garam dan terang di tengah budaya yang serba permisif. Mereka membutuhkan liturgi yang indah, pemimpin Gereja yang berani, bimbingan menghadapi godaan dunia modern, serta komunitas yang saling mendukung. Namun, ada banyak tanda harapan. Gerakan devosi, retret kaum muda, diskusi intelektual, hingga Misa kampus yang penuh semangat menunjukkan bahwa generasi ini serius menggali kekayaan iman Katolik.
Dalam pertemuan bersama anak-anak muda lintas agama di Singapura pada Jumat, 13 September 2024, Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang menggugah: “Maju, jangan lagi mundur, dan beranilah mengambil risiko. Saya berdoa untuk Anda dan berdoalah juga untuk saya.” Pesan ini memberikan dorongan kepada generasi muda Katolik untuk tetap berani dalam menghadapi tantangan zaman, menghidupi iman mereka, dan tidak takut mengambil langkah untuk menjadi saksi Kristus di dunia modern.
Pesan Paus Fransiskus juga menjadi pengingat akan peran penting generasi muda Katolik sebagai agen kerukunan dan pembawa damai. Dalam masyarakat yang penuh dengan perpecahan dan ketegangan, mereka dipanggil untuk menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok, suku, dan agama. Dengan menjalankan prinsip kasih dan solidaritas, generasi muda Katolik dapat membantu menciptakan budaya dialog yang konstruktif dan saling menghormati.
Peran sebagai agen kedamaian ini juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Melalui tindakan sederhana seperti membantu sesama tanpa memandang latar belakang, menjaga hubungan harmonis di lingkungan, hingga terlibat aktif dalam kegiatan sosial di Gereja, mereka dapat mewujudkan ajaran Kristus tentang cinta kasih kepada sesama. Semangat ini juga sejalan dengan ajakan Paus untuk berani mengambil risiko, termasuk risiko untuk berdiri di garis depan dalam menciptakan perdamaian.
Dengan mengiringi perjuangan ini dengan doa, sakramen, dan kehidupan rohani yang teratur, generasi muda Katolik dapat menghadapi era modern tanpa harus menyerah pada kompromi atau mediokritas. Gereja Katolik, dengan tradisi dan kekayaan rohaninya, menawarkan bekal yang tak habis-habis. Generasi muda hanya perlu membuka diri untuk menemukan, menggali, dan menjalani arah yang telah ditunjukkan oleh iman mereka.
Jika keseriusan ini terus dirawat, bukan tidak mungkin generasi muda Katolik akan menjadi ujung tombak Gereja dalam menghadirkan nilai-nilai Kristiani yang otentik di tengah budaya zaman sekarang. Dengan menjadi saksi iman yang hidup, pembawa damai, dan agen kerukunan, mereka memberikan harapan baru bagi masa depan Gereja dan dunia.
Alexander Philiph Sitinjak (ASN di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/aktif di Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik/ Ketua Bidang Lintas Iman Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia/ Dewan Pertimbangan PMKRI Cabang Bogor/ mantan Sekretaris Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik Pengurus Pusat Pemuda Katolik 2018-2021)