HIDUPKATOLIK.COM – Ahli hukum Gereja, Stefan Mückl menegaskan bahwa tidak ada perubahan terkait larangan bagi pria homoseksual untuk ditahbiskan menjadi imam.
Ia menyatakan terkejut dengan persepsi bahwa Konferensi Waligereja Italia telah memutuskan untuk tidak lagi secara prinsipil mengecualikan kaum homoseksual dari jabatan imamat. Hal ini disampaikannya kepada portal internet Katolik Jerman, “domradio.de,” pada hari Senin (13/1/2025) di Köln.
Pekan lalu, Konferensi Waligereja Italia menerbitkan pedoman baru mengenai pendidikan calon imam. Pedoman ini mulai berlaku pada 9 Januari 2025 dan akan diterapkan selama tiga tahun sebagai masa percobaan.
Pedoman tersebut menggantikan versi tahun 2006 dan, menurut pernyataan resmi, telah disetujui oleh Vatikan. Selain membahas orientasi seksual, pedoman ini juga mencakup pencegahan pelecehan seksual, kerja sama dengan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dalam proses pendidikan, serta isu-isu lain seperti cara menangani mereka yang meninggalkan seminari karena berbagai alasan dan penggunaan media sosial.
Aktivis: Dokumen Tidak Memadai
Mückl menjelaskan bahwa dalam pedoman baru Konferensi Waligereja Italia tentang pendidikan calon imam, pertama-tama ditegaskan kembali bahwa pria dengan “kecenderungan homoseksual yang mendalam” tidak boleh ditahbiskan. Hal ini telah ditegaskan oleh Vatikan pada tahun 2005 dan 2016.
Namun, menurut Mückl, kalimat berikutnya dalam pedoman ini agak ambigu. Kalimat tersebut menetapkan bahwa penilaian terhadap kecenderungan homoseksual tidak boleh hanya berfokus pada aspek tersebut saja, melainkan harus dipahami dalam konteks keseluruhan kepribadian seseorang. “Tentu saja mungkin, jika seseorang ingin memahaminya demikian, untuk menafsirkan kalimat itu sebagai pelonggaran aturan,” ujar Mückl. Namun, ia menegaskan bahwa hal itu tidak harus dimaknai demikian.
Menurut laporan “domradio.de,” inisiatif Jerman bernama “OutInChurch” mengritik dokumen tersebut sebagai tidak memadai. “Pada akhirnya, semuanya tetap seperti semula, dan yang berlaku adalah apa yang dikatakan Katekismus tentang homoseksualitas,” ujar Rainer Teuber, juru bicara inisiatif tersebut.
OutInKirche (OutInChurch), Kelompok LGBT dalam Gereja Katolik Jerman
OutInKirche adalah sebuah inisiatif dari komunitas Kristen di Jerman, khususnya di Gereja Katolik, yang didirikan untuk memperjuangkan hak-hak dan inklusi individu LGBTQ+ di dalam Gereja. Gerakan ini secara resmi muncul pada Januari 2022 dengan deklarasi yang kuat yang disebut Manifesto OutInKirche.
OutInKirche diluncurkan dalam konteks ketegangan lama antara ajaran tradisional Gereja Katolik dan isu-isu hak LGBTQ+. Selama bertahun-tahun, Gereja Katolik memiliki posisi konservatif terkait hubungan sesama jenis, pernikahan, dan ekspresi identitas gender. Hal ini menciptakan diskriminasi struktural terhadap orang-orang LGBTQ+ yang menjadi bagian dari Gereja, baik sebagai jemaat, karyawan, maupun pemimpin rohani.
Pada Januari 2022, lebih dari 120 orang yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ+ dan memiliki hubungan dengan Gereja Katolik—termasuk pastor, teolog, dan karyawan gereja—secara terbuka mendeklarasikan orientasi seksual atau identitas gender mereka. Mereka juga menyerukan reformasi besar-besaran dalam struktur Gereja.
Tujuan utama gerakan ini adalah menciptakan Gereja Katolik yang lebih inklusif, toleran, dan bebas dari diskriminasi terhadap individu LGBTQ+. Beberapa tujuan spesifiknya meliputi:
- Menghapus diskriminasi dalam hukum dan kebijakan Gereja Katolik terhadap orang-orang LGBTQ+, termasuk ancaman pemecatan terhadap karyawan gereja karena orientasi seksual atau identitas gender mereka.
- Mengakui hubungan sesama jenis sebagai bentuk cinta yang sah dan diberkati oleh Tuhan.
- Menyuarakan transparansi dan reformasi struktural, termasuk perubahan teologis terkait pandangan Gereja terhadap seksualitas dan gender.
- Menciptakan ruang aman bagi individu LGBTQ+ untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut akan penghakiman atau konsekuensi sosial di dalam lingkungan Gereja.
Manifesto ini memuat poin-poin tuntutan utama gerakan. Pertama, menyerukan penghapusan aturan yang menyebutkan orientasi seksual atau identitas gender tertentu sebagai dosa. Kedua, meminta reformasi dalam ajaran Gereja terkait seksualitas untuk mencerminkan nilai-nilai kesetaraan dan kasih universal. Ketiga, menolak pemecatan individu LGBTQ+ dari posisi mereka di Gereja hanya karena orientasi seksual atau identitas gender mereka. Keempat, menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam kebijakan internal Gereja.
Gerakan ini mendapat dukungan luas, baik dari kalangan umat Katolik progresif, media, maupun aktivis hak asasi manusia. Banyak kelompok masyarakat di Jerman, termasuk organisasi LGBTQ+ dan beberapa pemimpin Gereja, menyatakan dukungan mereka terhadap manifesto ini.
Namun, tidak semua pihak di dalam Gereja Katolik mendukung gerakan ini. Beberapa tokoh konservatif dan hierarki Gereja menolak tuntutan tersebut, dengan alasan bahwa posisi Gereja terkait moralitas seksual sudah ditentukan oleh doktrin teologis yang mendalam.
Gerakan OutInKirche menjadi bagian dari dinamika reformasi Gereja Katolik di Jerman, yang sedang berlangsung melalui inisiatif yang disebut Synodaler Weg (Jalan Sinode). Synodaler Weg adalah proses konsultasi besar-besaran antara para uskup, teolog, dan umat untuk membahas isu-isu kontroversial seperti peran perempuan dalam Gereja, celibacy, dan pandangan Gereja terhadap homoseksualitas.
OutInKirche juga berkontribusi pada meningkatnya kesadaran tentang hak-hak LGBTQ+ di komunitas agama lain, sehingga menciptakan tekanan agar reformasi serupa terjadi di tingkat internasional.
OutInKirche tidak hanya berdampak di Jerman, tetapi juga menjadi inspirasi bagi komunitas LGBTQ+ di negara-negara lain yang menghadapi diskriminasi serupa dalam Gereja. Gerakan ini mendorong diskusi global tentang hubungan antara agama, seksualitas, dan hak asasi manusia.
OutInKirche adalah cerminan dari perjuangan untuk membawa perubahan positif dalam struktur Gereja Katolik, khususnya dalam mengatasi diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ+. Meskipun tantangannya besar, gerakan ini menunjukkan bahwa ada komitmen untuk memperjuangkan nilai inklusivitas dan kasih universal dalam iman Kristen.
Bene Xavier (Kontributor) dari Vienna, Austria