HIDUPKATOLIK.COM – Beredar saat ini beberapa video yang menyebutkan kejadian bencana kebakaran besar di Amerika sebagai wujud hukuman dari Allah. Bagaimana seharusnya kita, sebagai umat Kristiani, memahami dan menyikapi hal ini?
Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa Allah adalah Maha Kasih. Dia yang menciptakan langit dan bumi, dan mengasihi setiap ciptaan-Nya tanpa memandang bulu. Dalam Matius 5:45, Yesus mengajarkan bahwa Allah “menyuruh matahari-Nya terbit untuk orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan untuk orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan dan penderitaan dapat menimpa siapa saja, tanpa terkecuali. Bencana di mana pun terjadi, baik itu kebakaran, gempa bumi, atau banjir, adalah bagian dari realitas dunia yang telah jatuh dalam dosa. Namun, menyebutkan bahwa bencana adalah hukuman Allah membutuhkan kehati-hatian yang sangat besar.
Jangan Menghakimi
Dalam menghadapi penderitaan dan bencana, kita dipanggil untuk menjauhi sikap menghakimi. Kisah “Orang Samaria yang Baik Hati” dalam Lukas 10:25-37 memberikan teladan bagaimana kita seharusnya bersikap. Orang Samaria ini, tanpa memandang latar belakang korban yang dirampok, dengan penuh kasih menolong orang yang membutuhkan. Inilah panggilan kita sebagai anak-anak Allah. Ketika bencana melanda, kita tidak diajak untuk menjadi hakim yang menentukan apakah itu hukuman atau bukan. Sebaliknya, kita dipanggil untuk menjadi ‘Orang Samaria’ yang merangkul, menolong, dan mendoakan mereka yang menderita.
Kasih Allah Melampaui Hukuman
Allah adalah Maha Besar, dan kasih-Nya melampaui apa pun yang dapat kita pahami sebagai manusia. Mengatakan bahwa bencana adalah hukuman Allah cenderung membatasi pemahaman kita tentang kasih dan keadilan-Nya. Dalam Yohanes 3:17, dikatakan, “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.” Ini menunjukkan bahwa misi utama Allah adalah menyelamatkan, bukan menghukum.
Penderitaan yang dialami manusia tidak selalu merupakan akibat langsung dari dosa-dosa mereka. Kisah Ayub adalah contoh klasik tentang seorang yang benar di hadapan Allah, namun mengalami penderitaan yang luar biasa. Allah mengizinkan penderitaan itu terjadi bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai bagian dari rencana yang lebih besar yang melampaui pemahaman manusia.
Menjadi Saluran Kasih
Dalam menghadapi penderitaan, kita juga dipanggil untuk menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus di kayu salib. Dalam Kolose 1:24, Paulus menulis, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan apa yang masih kurang dalam penderitaan Kristus, aku lengkapkan dalam dagingku untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Ini adalah panggilan untuk menjadi bagian dari misteri penebusan, di mana penderitaan kita dapat menjadi sarana kasih dan pengudusan.
Kita berdoa agar Allah memberikan kita hati yang penuh belas kasih, pengertian yang bijaksana, dan jiwa yang selalu tertambat kepada-Nya, seperti Ayub yang tetap setia meski dalam penderitaan yang berat. Dalam semua itu, kita tetap percaya bahwa Allah adalah kasih, dan dalam kasih-Nya, kita menemukan penghiburan dan pengharapan.
Kiranya Allahku tidak menghukum karena Ia adalah kasih. Amin.
Vivian Andyka, Nootdorp – Belanda.