web page hit counter
Minggu, 5 Januari 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Wajah Baru Tampilan “Luar” dan “Dalam” KWI

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN 2024 tak pelak lagi menjadi tahun yang “superistimewa” bagi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), baik secara fisik maupun nonfisik. Secara kasat mata, gedung KWI di Jalan Cut Mutiah, Jakarta Pusat tampak “menjulang” di antara gedung-gedung tinggi di kawasan Menteng ini. Walau tak semenjulang gedung-gedung lainnya. Gedung ini cukup representatif dan multifungsi. Terdiri dari 13 lantai bernentuk huruf L mengikuti fasad tanah tempat gedung lama berdiri. Di gedung ini, kini semua komisi, departemen dan lembaga KWI beraktivitas/berkantor kecuali LBI. Para uskup dari 38 keuskupan pun dapat tinggal. Sebelumnya, para uskup, jika ke Jakarta, tinggal di Wisma Kemiri, yang tidak terlalu jauh dari gedung baru ini. Terdapat pula satu aula yang diberi nama Henry Soetio Hall, tempat para uskup melakukan sidang lengkap. Hall ini dapat juga difungsikan untuk pelbagai kegiatan. Ada juga ruangan-ruangan rapat lain dalam ukuran yang lebih kecil dan sedang.

Satu pemandangan yang cukup mencolong di gedung ini terdapat di lantai dasar. Begitu memasuki gedung dari pintu utama, pengunjung langsung bisa melihat baliho besar  yang dipatentkan di tembok belakang resepsionis. Baliho yang menjadi ikon kunjungan Paus Fransiskus pada tanggal 6-9 September 2024. Tak hanya itu. Berdiri pula patung Paus Fransiksus di sisi kanan resepsionis. Di sisi kiri pintu utama, terdapat ruang yang terbuat dari kaca. Di sana dipajang alba dan pelengkapan Misa yang dipakai Paus Fransiskus ketika memimpin Misa Agung di Gelora Bung Karno pada hari Kamis, 5/9/2024. Misa yang dihadiri lebih dari 80 ribu lebih umat Katolik dari seluruh Indonesia.

Gedung baru KWI

 

Kalau bergerak ke arah kanan terdapat “lobi” dengan sofa untuk menerima tetamu. Di sini, pada tembok besar terpampang prasasti peresmian gedung ini. Tidak seperti prasasti pada umunya yang mencantumkan nama Ketua/Sekretris Jenderal KWI. Justru pada prasasti ini terpampang nama-nama lengkap seluruh uskup di Indonesia: yang aktif, pensiun (emeritus), administrator diosesan. Terkait dengan hal ini, Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto, OSC mengatakan, agar pada perayaan seratus tahun ke depan, umat (generasi berikutnya) tahu pada pada saat perayaan 100 tahun KWI, para uskup Indonesia pada saat itu adalah sebagaimana nama-nam yang tercantum dalam prasasti ini. Pada, peresmian gedung KWI pada bulan Mei 2024, pemberkatan prasasti ini dipimpin langsung oleh Kardinal Emeritus Julius Darmaatmaja, SJ dihadiri Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo.

Sukacita KWI semakin membuncah pada tahun 2024 ini. Untuk pertama kalinya, Paus yang berkunjung ke Indonesia menyempakan diri datang ke kantor KWI. Dua Paus sebelumnya, Paus Paulus VI (1970) dan Paus Yohanes Paulus II (1989) tidak diagendakan hadir di kantor KWI. Maka, kedatangan Paus ke kantor KWI yang baru ini pada hari Kamis, 5/9/2024, disambut hangat oleh KWI. Kendati tak semuanya, karena pertemuan dengan para Uskup telah digelar sebelumnya di Katedral Jakarta, para uskup tampak antusian menyambut kedantang Paus di gedung ini. Hal itu terjadi, sebagaimana diagendakan, Paus mengadakan pertemuan dengan para disabilitas, orang miskin, dan sakit di Henry Soetio Hall. Pada kesempatan itu, Paus menandatangani prasasti didamping Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto, OSC dan para uskup lain, termasuk Kardinal Ignatius Suharyo dan Kardinal Julius.

Baca Juga:  Seruan Moral Gereja dan Peran Umat Pasca Pemilu
Kardinal Ignatius Suharyo (tengah) didampingi Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (kiri) memimpin doa peletakan batu pertama gedung KWI Jl. Cut Meutia, Kamis, 14 November 2019.

Tahun ini, KWI menggelar dua kali sidang. Pertama pada bulan Mei (Sidang Tahunan Bagian I) dan Bulan November (Sidang Tahunan Bagian II). Kedua sidang ini saling berkaitan. Pad Sidang Bagian I, agenda Para Uskup diisi dengan Hari Studi. Para Uskup mendalami topik-topik yang telah ditentukan. Dihadirkan narasumber seperti Pastor F.X. Armada Riyanto, CM. Ia mengupas sejarah KWI dari segi padangan teologis besama Pastor Piet Go, O Carm dan Rikard Bagun yang berbicara tentang KWI dan komunisi. Dalam refleksi ini, Kardinal Suharyo juga turut memberikan pandangannya. Pada kesempatan ini, Para Uskup Emeritus juga turut memberikan pengalaman mereka. Mereka adalah Mgr. Aloisius Sudarso, SCJ (Uskup Emeritus Palembang), Mgr. Petrus Boddeng Timang (Uskup Emeritus Banjarmasin), Mgr. Yos Suwatan (Ukup Emeritus Mando) melalui zoom, Mgr. Petrus Turang (Uskup Emeritus Kupang). Untuk memperdalam refleksi, masing-masing Regio diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Makassar-Amboina-Manado, Papua, dan Nusa Tenggara). Para Uskup juga mendengar masukan dari tokoh-tokoh agama Prostestan, Islam, Hindu, Buddha, Aliran Kepercayaan, Kaum Perempuan dan lain-lain.

Sekretaris Jenderal KWI, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM dalam refleksinya menyambut 100 tahun KWI mengatakan, di usia ke-100, KWI menghadapi tantangan baru berkaitan dengan era digital. Oleh karena itu, pihaknya melibatkan komsos-komsos keuskupan di seluruh Indonesia. “Orang muda diberi tugas untuk berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan media sosial yang ada. KWI mendorong dan mendukung para pastor yang menjadi youtuber untuk mengajarkan iman Katolik. Selain itu, bidang pewartaan KWI berusaha terlibat dalam pewartaan melalui media sosial,” kata Ukup Bogor ini.

Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM

 

Di bagian lain relfeksinya, Uskup Pakalis mengakui masih banyak tantangan yang dihadapi KWI saat ini dan ke depan, terutama bagaimana melibatkan kaum muda. “Gereja nasional dan universal terus-menerus memberi dukungan dan semangat melalui peringatan hari orang muda seduni dan nasional. Selain itu membangun kerja sama, antargerasi perlu terus dikembangkan. Kita semua, baik orang muda maupun orang tua berada di perahu yang sama, yakni Gereja Katolik dalam bimbingan Paus kita,” tambahnya.

Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC melihat bahwa selama 100 tahun perjalanannya, KWI telah menunjukkan jatidirinya. Ia menyebutkan tiga makna perayaan 100 tahun ini. Kalau mau diringkas, pertama, apresiasi. Ini berkaitan dengan syukur atas penyertaan Tuhan dalam penggembalaan Gereja Indonesia yang dijalankan dalam semangat sinodal dan kolegial para uskup Indonesia. Sehingga ada derap langkah, sehati sejiwa dalam menggembalakan Gereja Indonesia dengan tetap menghargai keunikan keuskupan dan otoritas uskup masing-masing. Maka, apresiasi juga kepada para uskup yang mau berada dalam kebersamaan dibawah dan bersama Paus.

Baca Juga:  Menyambut “Penerus St. Petrus” di Indonesia

Kedua, refleksi dan evaluasi. Refleksi ini berkaitan dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan kita dan langkah kita ini sungguh menunjukkan kredibilitas kita sebagai gembala umat yang dipercaya Tuhan menggembalakan umat. Sejauh mana kita tetap searah dan seiring dengan kehendak Allah dan Gereja Universal.

Evaluasinya berupa mengumpulkan dokumen-dokumen yang diterbitkan selama seratus tahun, mempelajari dan menggali dokumen, pesan, surat gembala, tulisan yang pernah dikeluarkan KWI sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Dalam evaluasi itu  terlihat apa yang masih harus ditingkatkan dalam kerja sama dan kebersamaan para uskup, serta perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, ekspektasi. Semoga KWI tetap menjadi institusi yang memberi harapan. Kalau kita lihat dari dokumen-dokumen, KWI selalu berusaha menempatkan diri di tengah situasi apapun sebagai komunitas yang memberikan pengharapan. Juga mengajak umat untuk selalu berkembang ke arah lebih baik untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Artinya membawa transformasi di bidang material, ekonomi makin meningkat di tengah umat dan masyarakat, Gereja, keuskupan, sosial yang makin rukun, makin bisa bekerja sama, berdampingan dengan siapa pun, secara kultural makin berbaur dengan budaya masing-masing, secara spiritual makin takwa kepada Tuhan.  Itu tiga apresiasi yang berkaitan dengan antisipasi yang harus kita lakukan ke depan.

Dari MAWI Menjadi KWI

Menurut Kanon 449 §1KHK, pembentukan Konferensi Waligereja harus mengikuti Hukum Gereja Universal, oleh karena itu  hanya kuasa tertinggi Gereja Katolik  yang  berwenang mendirikan, menghapus, dan/atau mengubahnya, setelah mendengarkan pendapat Para Uskup yang bersangkutan. Apakah demikian yang terjadi dengan KWI?

Berawal dari keinginan pemerintah Kolonial Belanda  supaya ada orang yang bertanggung jawab atas urusan misi/zending. Raad van Kerkvoogden (Dewan Pengawas Gereja) menanggapi keinginan tersebut dengan menyelenggarakan sidang pada tanggal 15-16 Mei 1924.

Hadir dalam sidang perdana tersebut Para Vikaris yang ada di wilayah Hindia-Belanda. Mereka berkumpul di Jakarta (sekarang Katedral jaakrta). Pertemuan itu kemudian dikenal dengan  Sidang I Raad van Kerkvoogden (Majelis Pimpinan Gereja/Majelis Waligereja).

Dalam sidang yang masih diliputi suasana sukacita karena penahbisan Mgr. Van Velsen menjadi Vikaris Apostolik Jakarta (tanggal 13 Mei 1924), diputuskan untuk membentuk suatu badan tetap yang akan mengurus kepentingan Para Waligereja terutama yang berhubungan dengan instansi-instansi Pemerintah. Tuan W. Burer diangkat sebagai Utusan Misi yang ada dibawah Mgr. van Velsen.

Pada tanggal 31 Agustus – 6 September 1925 Para Vikaris berkumpul di Jakarta untuk Sidang yang II. Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk sebuah lembaga yang akan bertanggung jawab terhadap karya misi Gereja yaitu Komisi Misi Pusat (Central Missie Committee).  Persoalan intern yang dihadapi oleh Gereja semakin banyak dan beragam. Baik bila diingat bahwa pada saat itu Para Vikaris didominasi orang-orang Eropa, demikian juga para imamnya. Umat Katolik pun kebanyakan berkebangsaan Asing.

Sesuai keputusan Sidang II (1925) pada tanggal 4-11 Juni 1929 di Muntilan, para Waligereja mengadakan sidang. Para Waligereja memandang perlu untuk melengkapi diri dengan berbagai organ pendukung karya. Maka pada tahun 1931 didirikan Stichting Centraal Missie Bureau (CMB) atau Yayasan Biro Misi Pusat yang kegiatannya antara lain: Urusan Umum, Pendidikan dan Pengajaran, Keuangan. Masing-masing bidang  dikepalai oleh seorang imam.

Baca Juga:  Keuskupan Baru di Ujung Barat Flores: Hadir untuk Melayani Umat dengan Lebih Dekat dan Penuh Kasih

Pengurus Yayasan ini adalah Para Waligereja dan memilik Pengurus Harian yg terdiri dari direktur dan kepala-kepala bagian. Pada tahun 1932 Yayasan CMB disahkan dengan menambahkan bahwa para kepala bagian juga masuk sebagai pengurus Yayasan CMB

Pada Sidang IV Para Waligereja, 19-27 September 1934 di Girisonta, dikukuhkanlah lembaga-lembaga atau organ-organ tersebut dan mendapatkan kuasa penuh dari Para Waligereja. Persoalan yang dihadapi Para Waligereja semakin kompleks. Persoalan pendidikan, keormasan Katolik, buku-buku pengajaran, dan sebagainya. Semua itu menuntut hati dan pikiran yang semakin terbuka. Di sana-sini muncul keinginan untuk memperkuat barisan tenaga-tenaga pastoral pribumi.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut semakin jelas dalam Sidang V tahun 1939 di Girisonta. Para Waligereja akhirnya sepakat untuk lebih mematangkan dan melengkapi tata-organisasinya. Entah apa yang menjadi penyebabnya, setelah Sidang tahun 1939 ini Para Waligereja lama tidak bersidang. Baru pada tahun 1954 para Waligereja berkumpul untuk membicarakan persiapan Sidang.

Setelah berbagai persiapan sidang/konferensi dirasa cukup dan rancangan  Anggaran  Dasar yang disusun disetujui oleh Internunsius di Jakarta, maka pada tanggal 25 Okt – 02 Nov 1955 Sidang para Waligereja Indonesia digelar di Bruderan, Surabaya. Sidang memutuskan bahwa  untuk selanjutnya Majelis Para Waligereja Indonesia  ini  dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), sebagai  terjemahan dari Raad van Kerkvooden. Sidang-sidang selanjutnya akan menggunakan nama MAWI. Sidang ini membentuk DEWAP (Dewan Pengawas Pastoral) yang memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan membantu Kantor Waligereja Indonesia, Panitia Waligereja (PWI) yang tugasnya melaksanakan hasil keputusan MAWI.

MAWI juga membentuk DEWAP Harian. Panitia Liturgi ditambahkan pada Panitia MAWI sedangkan PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama dihapus.  Tugas-tugasnya diserahkan kepada Bagian Pendidikan di Kantor Waligereja Indonesia. Untuk membantu Kantor Waligereja, MAWI membentuk empat kelompok: umum, kelompok yuridis, kultural dan sosial.

Pada tanggal 3 Januari 1961, setelah mendengarkan Para Kardinal dari Kongregasi Propaganda Fide serta Mgr. C. Alibrandi, Internuntius Takhta Suci untuk Indonesia, Paus Yohanes XXIII mendirikan Hierarki Gereja Katolik di Indonesia, dengan Konstitusi Apostolik “Quod Christus Adorandus”, meliputi enam Provinsi Gerejawi (Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak dan Makassar) dengan 19 keuskupan (AAS LIII, Romae 1961 p.244/248).

Dalam sidangnya tahun 1970, MAWI mengambil beberapa keputusan yang berlaku hingga saat ini: MAWI bersidang setiap tahun dan dua jenis sidang: Simplex (setiap tahun) dan Sinodal (setiap 3 tahun).

Dalam sidang tahun 1986, MAWI menyetujui  Konsep Tata Dasar MAWI  menjadi Statuta KWI dengan beberapa penyempurnaannya. Statuta tersebut disahkan dalam sidang tahun 1987. Nama KWI secara resmi dipergunakan untuk menggantikan MAWI.

F. Hasiholan Siagian

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles