web page hit counter
Kamis, 2 Januari 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Merajut Panggilan Tuhan: Kisah Inspiratif dari Paguyuban Orang Tua Terpanggil

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Sehari sesudah Natal, Kamis, 26 Desember 2024, Komunitas Paguter (Paguyuban Orang Tua Terpanggil) Paroki St. Maria Immakulata Kalideres, Jakarta, mengadakan pertemuan di aula Harapan.

Kegiatan berlangsung dalam suasana hangat dan dihadiri oleh Pastor Paroki Kalideres, Romo Antonius Rajabana, OMI, bersama para frater dan bruder OMI, seorang frater dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), dua frater tamu dari Keuskupan Ketapang dan Keuskupan Agung Pontianak, serta para suster ADM (Amalkasih Darah Mulia). Acara dimeriahkan oleh anggota Paguter beserta tamu undangan yang hadir.

Acara diawali dengan sesi perkenalan dari para frater, bruder, dan suster yang hadir. Dalam kesempatan ini, Sr. Elisabeth, ADM berbagi kisah tentang tugas perutusannya di Komunitas ADM Cengkareng sebagai penanggung jawab Sekolah Serafim (TK, SD, dan SMP). Sr. Elisabeth juga menyebutkan komunitasnya terdiri dari enam anggota aktif yang melayani di berbagai bidang.

Sementara itu, Sr. Norbertin, ADM memperkenalkan dirinya sebagai suster asal Sumba, NTT. Dalam kesehariannya ia melayani di jenjang PG dan PAUD, sekaligus menjalani studi lanjut. Kedua suster menyampaikan rasa syukurnya karena bisa berkumpul bersama dalam suasana Natal penuh kekeluargaan.

Para Suster ADM dan Romo Bono (duduk)

Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Pr dari (Keuskupan Ketapang) dan Fr. Jakarias Sukardi, Pr (Keuskupan Agung Pontianak) berbagi pengalaman mengenai studi yang sedang ditempuh di STFT Widya Sasana Malang, dan sedang menjalankan tugas asistensi pastoral di Paroki Kalideres. Kedua frater merupakan rekan satu rumah studi di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII, Malang. Selain berkisah tentang studinya, Fr. Fransesco dan Fr. Jaka juga berkisah tentang perjalanan panggilannya.

Pertemuan ini juga dihadiri frater dan bruder dari Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI) Mereka memperkenalkan diri dan berbagi pengalaman tentang panggilan hidup religiusnya.

Fr. Fibo, OMI  yang duduk di Tingkat II Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW), berasal dari Cilacap. Ia mulai mengenal OMI sejak masa Seminari Menengah. Ia mengikrarkan kaul pertama pada tahun 2023. Ia mengutarakan nama “Fibo” adalah akronim dari “Final Bola,” julukan yang diterimanya karena kegemaran orang tuanya terhadap sepak bola.

Sedangkan Br. Vero, OMI dari Paroki Sepauk, Kalimantan Barat, sedang menempuh pendidikan kateketik di Yogyakarta. Dirinya memilih jalur sebagai bruder untuk mendukung karya-karya OMI. Baginya peran bruder dalam kongregasi ini serupa dengan peran para suster yang melayani berbagai bidang. Saat ini Kongregasi OMI memiliki 15 anggota yang sedang dalam tahap formasi.

Dalam sesi perkenalan, mereka mengungkapkan bahwa kegiatan ini juga bertujuan mempersiapkan promosi panggilan Kongregasi OMI yang akan digelar pada Februari 2025 mendatang.

Bentuk Kerjasama 

“Natal artinya kita tidak sendirian. Tuhan menyertai kita, Immanuel. Persoalan hidup mungkin belum berubah, tetapi yang berubah adalah kita. Kita tidak lagi menghadapi masalah seorang diri karena Tuhan menyertai dan bekerja bersama kita,” ujar Pastor Antonius Rajabana, OMI.

Ia menegaskan perayaan Natal mengajak kita menyadari bahwa telah diselamatkan Allah. Dalam menghadapi tantangan hidup, kita pun dipanggil untuk membawa damai dan menjadi bagian dari solusi di masyarakat.

Menurutnya, panggilan hidup sebagai imam maupun biarawan-biarawati adalah bentuk kerjasama dengan Kristus yang menyelamatkan.

“Ketika imam mempersembahkan misa, ia bertindak in persona Christi—sebagai perwakilan Kristus. Jika tidak ada seseorang yang terpanggil, bagaimana pelayanan bisa berlangsung? Kita semua, baik yang terpanggil maupun yang mendukung, memiliki peran dalam karya keselamatan Tuhan,” jelasnya.

Dalam pertemuan tersebut, ia juga berbagi cerita tentang tantangan yang sering dihadapi dalam mendukung panggilan hidup religius, terutama dari pihak keluarga. “Banyak orang tua mendukung secara lisan tetapi berharap anak orang lain yang terpanggil. Namun, panggilan itu tetap milik Tuhan, dan dengan kesetiaan, hati orang tua pun bisa berubah,” katanya.

Ia memberikan contoh kisah seorang calon imam yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Sang ayah, yang belum memeluk iman Katolik, awalnya menolak keinginan anaknya untuk masuk seminari. Namun, melalui doa dan ketekunan, anak tersebut akhirnya mendapatkan izin dan sekarang sedang menempuh jalan panggilan dalam Kongregasi OMI.

Ia juga mengisahkan perjalanan Fr. Thomas yang sebelumnya menempuh pendidikan di bidang Kimia. “Awalnya ibunya tidak mengizinkan. Saya katakan, ‘Ya sudah, lanjutkan kuliah.’ Setelah lulus, Fr. Thomas menyatakan keinginannya kembali untuk masuk seminari. Kini ia sudah lulus dan akan dikirim ke Roma untuk studi lanjut tahun depan.”

Calon Imam Praja KAJ

Fr. Jesen, Pr., putra paroki Kalideres, berbagi kisah panggilannya sebagai calon imam KAJ. Putra Bapak Feri ini kini tengah menyusun skripsi.

Awal panggilannya tidak muncul melalui bisikan Ilahi sejak kecil. Namun pengalaman-pengalaman kecil yang sederhana tetapi penuh misteri justru menyentuh hatinya. Semasa kecil dirinua sering diajak doa rosario oleh ibunya. Hingga di suatu ketika umat llingkunganya memanggilnya dengan sapaan ‘Romo Jesen.’

Di kemudian hari, ia menjadi misdinar, sehingga memungkinkan dirinya lebih sering bertemu pastor. Di bangku sekolah, dirinya merasa beruntung karena memiliki guru agama yang sangat mendukung panggilannya. Dukungan ini membuat panggilannya kian bertumbuh. Sejak SMP, ia lalu memutuskan untuk mengikuti jalan hidup istimewa ini.

Baca Juga:  Memaknai Kunjungan Paus Fransiskus: Ada Pesan dan Kesan di Balik Setiap Perjumpaan

Keputusannya membawa dirinya menempuh studi di Seminari Wacana Bhakti. Namun, perjalanannya di seminari tidak selalu mulus.

“Saat di seminari, saya bertemu banyak pribadi yang beragam. Ada yang bandel, ada candaan khas laki-laki. Itu sempat menggoyahkan saya. Tapi justru di situ ada rahmat. Saya mulai paham apa yang saya cari. Awalnya, saya hanya ingin menjadi orang yang tampil di tempat umum, tetapi Tuhan memurnikan panggilan saya. Saya diminta mencari lebih dalam,” ungkapnya tersenyum.

Ia juga menyinggung soal ketaatan yang menjadi syarat utama panggilan imam. “Apapun jalannya—entah Praja, OMI, atau lainnya—menjadi imam berarti harus taat. Kalau ditugaskan menjadi dosen, anggota kuria, atau bahkan ke tempat misi berat, kita tidak tahu. Tapi saya percaya pada Providentia Dei, penyelenggaraan Tuhan. Tuhan akan memberi jalan melalui orang-orang dan pengalaman yang kita temui.

Terkait dukungan orang tua, ia mengakui bahwa peran ibunya sangat besar dalam mengarahkan pilihannya. “Awalnya, saya tidak tahu apa itu Seminari Wacana Bhakti, apalagi OMI.”

Dia kemudian bertanya kepada ibunya, “Ma, saya mau jadi Romo. Katanya jadi Romo itu keren.’

Ibunya lalu memberi dua pilihan, Mertoyudan dan Wacana Bhakti. Atas saran ibunya, ia akhirnya masuk Wacana Bhakti.

“Tiga bulan pertama, masa karantina. Tidak boleh ada kunjungan dari luar. Realitas yang saya hadapi saat itu berat. Berat badan saya turun dari 80 kg menjadi 60 kg. Mama sampai berkata, ‘Kalau kamu nggak kuat di seminari, mending keluar aja, daripada Mama nangis.’ Tapi saya bertahan, dan akhirnya bisa menyesuaikan diri. Berat badan saya pun kembali naik hingga 72 kg,” kenangnya tertawa.

Baginya, menjadi imam berarti berpindah dari bagian persoalan ke bagian solusi, bekerja bersama Kristus yang menyelamatkan.

Mencari Pengalaman Baru

 Br. Fero, OMI tidak merasa terpanggil secara khusus untuk menempuh jalan hidup religius. Keputusan untuk melangkah justru berawal dari keinginan mencari pengalaman baru.

“Waktu itu, Romo Eko masih bertugas di Paroki di tahun 2018. Paman saya yang sangat aktif di gereja menawarkan kepada saya untuk mencoba,” unungkapnya.

Ketika mendapatkan formulir untuk masuk seminari, ia memutuskan mencoba demi memperoleh pengalaman baru. Meski begitu, ia menyadari ada banyak persyaratan sulit yang harus dipenuhinya. Setelah melalui wawancara dengan Romo Eko, yang saat itu menjabat provinsial OMI, ia akhirnya diterima. Mulanya ia belum memiliki gambaran yang jelas apakah ingin menjadi romo atau bruder.

Dari sisi keluarga, dukungan hadir dari sang ayah, sementara ibunya yang beragama Islam masih belum mendukungnya. “Soal ibu, serahkan pada Bapak,” ujarnya mengenang.

Perjalanan pertama dimulainya di Seminari Menengah Cilacap. Di sana, ia mengenal lebih dalam karya-karya OMI. Pada titik inilah gambaran tentang panggilannya mulai jelas. Ia sering kali diutus untuk membantu berbagai kegiatan studi, termasuk mengamati sosok Romo Carolus yang terkenal dengan dedikasinya.

Di masa Postulat, ia kembali merenungkan keputusannya. “Dengan motivasi dasar yang ada, saya memutuskan untuk melanjutkan dan menyerahkannya kepada Tuhan,”. Selama setahun ia mengalami banyak hal, di antaranya melalui program live-in di Komunitas Trinitas. Dirinya semakin mengenal para Romo OMI, dan akhirnya memutuskan melamar  ke Novisiat.

Di tahap ini ia menjalani latihan rohani, mati raga, serta berbagai pengalaman menarik. Salah satu pengalaman yang paling berkesan baginya adalah peziarahan dari Posarang sejauh 227 kilometer, yang berlangsung selama satu minggu bersama sembilan orang lainnya.

Sesudahnya, ia memberanikan diri mengucapkan kaul pertama. Setelah itu, ia mendapatkan perutusan untuk melanjutkan pendidikan agama Katolik di Sanata Dharma, Yogyakarta.

Langkahnya kian kokoh menapaki panggilan sebagai Bruder, demi melayani Tuhan dan sesama melalui karya-karya OMI.

Perjalanan Panggilan 

Suster Nobertin, ADM, kini berada di tahun keenam sebagai yunior.

“Kenapa saya mau jadi suster ADM? Awalnya saya tidak punya bayangan sama sekali,” ungkapnya. Ia menceritakan bahwa dirinya sempat mengenal beberapa tarekat lain seperti Suster sCMJ dan Pasionis, namun pada akhirnya justru bergabung dengan ADM.

Pengalaman ini ternyata selaras dengan orang tuanya yang lebih dahulu mengenal ADM. “Ketertarikan saya menjadi suster sebenarnya bermula saat saya duduk di kelas 4 SD,” kenangnya. Ia terinspirasi oleh jubah putih para suster yang anggun dan penuh kebajikan.

Namun semangat itu mulai memudar saat memasuki masa SMP dan SMA. Hingga di tahun 2014, seorang suster berkenalan dengan orang tuanya. Peristiwa itu menjadi awal cerita yang menarik sekaligus penuh tantangan. “Waktu itu saya tidak ada di tempat.” jelasnya. Bahkan hal tersebut sempat membuat salah satu kerabatnya salah paham.

Baca Juga:  Natal dan PolitiK

Ia kemudian ditelepon dan dijemput oleh pamannya. “Saya seperti disidang,” ungkapnya. Sebagai remaja yang baru lulus sekolah, dirinya sempat bingung. Namun, di lubuk hatinya, ia merasa senang akhirnya bisa bertemu dengan seorang suster.

Meski kedua orang tua belum mendukung panggilannya, ia tetap gigih memperjuangkan panggilannya.

“Saya menanyakan syarat-syarat kepada suster Pasionis. Ternyata, salah satu syaratnya adalah rekomendasi dari orang tua, paroki, dan ijazah,” ujarnya. Berhubung orang tuanya tetap tidak mengizinkan, dengan tekad besar, ia membuat surat rekomendasi sendiri. Pada akhirnya ia bergabung dengan kongregasi ADM.

Setelah mengucapkan kaul di tahun 2018, ia belum berani pulang ke rumah orang tuanya. Hanya kakaknya yang saat itu mendukung keputusannya. “Ketika saya pulang, ternyata Papa lari ke belakang dan menangis diam-diam, dan Mama yang sedang menyapu di depan rumah menyusul Papa ke belakang,” kisahnya penuh haru.

Berawal dari jubah, ia sadar bahwa panggilannya adalah pilihan yang tepat. Perjalanan ini membuatnya memperbaharui diri dan mendoakan kedua orang tuanya.

Dengan  menjadi suster, hidup ia merasa lebih tertata. “Kalau dinikmati dengan baik, semuanya terasa mudah. Bawa dalam doa, pasti akan mendapatkan kekuatan.”

Ia juga berbagi pengalaman pacaran sebelum terpanggil. Menurutnya, memahami cinta manusia menjadi jalan untuk mengenal cinta Tuhan.

“Ketika memutuskan menjadi suster ADM, saya jujur pada pacar saya” kenangnya. Respons sang kekasih pun penuh pengertian dan merelakannya menempuh jalan panggilan yang mulia ini.

Kini ia tengah bersiap untuk kaul kekal, dengan keyakinan penuh bahwa panggilan ini adalah jalan hidup yang telah Tuhan siapkan untuknya.

Firasat Sejak sebelum Menikah

 Ibu Ie Cu dan Bapak Hwie Lie, orang tua dari Romo Wilson, Pr, berbagi cerita tentang perjalanan mereka merelakan anaknya menjadi seorang imam. Sebagai keluarga keturunan Tionghoa, mereka menyadari bahwa tradisi biasanya menempatkan anak pertama sebagai penerus keluarga. Namun, mereka dengan tulus mendukung panggilan sang anak.

Hwie Lie mengungkapkan, “Saya punya lima saudara, dan saya adalah anak keempat. Dua cici saya perempuan, kakak laki-laki saya tidak menikah, dan akhirnya anak saya yang menjadi Romo. Pada akhirnya, adik saya memiliki anak laki-laki, jadi penerus keluarga tetap ada.”

Sementara itu Ie Cu menambahkan, “Sebenarnya, bukan hanya anak yang dipanggil, tetapi orang tua juga dipanggil.” Ia menceritakan bahwa sebelum menikah, ia sudah memiliki firasat tentang panggilan ini.

“Saya suka Misa sore di Katedral, dan suatu hari muncul di hati saya, ‘Nanti kamu punya anak, jadi Romo,’ padahal waktu itu saya belum pacaran,” kenangnya.

Ketika akhirnya dia menikah dengan Hwie Lie, firasat itu tetap dibawanya dalam doa. “Saya bilang ke Hwie Lie, kalau kita punya anak laki-laki, bolehkah dia jadi Romo? Kami bahkan berziarah ke Sendangsono dan berdoa, ‘Kalau memang anak kami laki-laki, bolehkah dia diserahkan sebagai imam?’ Saya tidak pernah memaksa, tetapi saya selalu mendoakan,” ungkapnya.

Doa tersebut ternyata dijawab oleh Tuhan melalui keputusan anak mereka. “Setiap kali Ekaristi dan piala diangkat, saya selalu berdoa, ‘Kalau Tuhan mau pakai, panggil.’ Saya tidak pernah berkata apa-apa kepada anak saya tentang masuk seminari. Tapi suatu hari, dia sendiri bilang, ‘Mama, saya mau masuk seminari.’”

Keputusan itu diterima dengan penuh dukungan oleh kedua orang tuanya, tetapi mereka juga menekankan pentingnya usaha dari pihak sang anak.

“Kalau mau masuk seminari, silakan urus sendiri formulirnya, minta dari kepala sekolah,” ujar Ibu Ie Cu. Bahkan, ia berpesan agar anaknya memperhatikan nilai akademiknya. “Wacana Bhakti tidak bisa masuk kalau nilai rata-rata kurang dari 7,” tambahnya.

Perjalanan Romo Wilson menuju panggilannya penuh kemandirian. “Kami umat di Paroki Katedral, tetapi karena pekerjaan, kami pindah ke Cengkareng. Wilson biasa tugas Misa pagi, melakukan kegiatan gereja secara mandiri. Bahkan saat mencoba ke Mertoyudan, dia melakukannya sendiri,” kenang Ie Cu bangga.

Ie Cu mengaku bahwa dirinya sempat merasa kurang yakin apakah anaknya benar-benar akan menjadi imam. “Sampai saat Tahbisan, saya masih tidak percaya kalau dia akan jadi Romo. Tapi kalau Tuhan mau pakai, ya dia jadi. Kalau memang bukan panggilannya, dia tidak akan jadi,”

Ie Cu menekankan pentingnya melepaskan kekhawatiran. “Banyak orang merelakan anaknya menjadi Romo, tetapi terlalu khawatir. Sebaiknya biarkan saja. Kegiatan gereja jangan ditunggui terus-menerus, jangan terlalu takut. Carilah kehendak Tuhan. Panggilan bukanlah ambisi, tetapi benar-benar menyerahkan hidup kepada Tuhan.”

Dukungan dan Doa Tulus Orang Tua

Bapak Feri, ayah dari Fr. Jesen berbagi kisah tentang perjalanan panggilan putranya. Sebab perjalanan ini bukan tanpa pergolakan batin, terutama bagi dirinya sebagai orang tua.

“Awalnya saya kaget, karena sudah berjalan tujuh tahun baru pulang dan bertanya tentang keputusannya,” ujarnya mengingat momen berkesan itu.

Baca Juga:  Natal dan PolitiK

Sebagai anak bungsu dalam keluarganya, keputusan Fr. Jesen sempat memunculkan pertanyaan dalam diri bapaknya.

“Ada pertentangan ketika berada di persimpangan antara jadi atau tidak,” akunya. Ia juga mengenang bagaimana keluarganya mulai memeluk iman Katolik, dimulai dari almarhum kakaknya yang keempat, karena calon istrinya juga beragama Katolik.

Ia bercerita bahwa perjalanan hidupnya penuh pengalaman iman. Ia menikah dengan seorang istri yang kakaknya adalah seorang imam di Papua. Namun, saat Fr. Jesen masuk seminari menengah, muncul keraguan.

“Saya sempat merasa sedih, terutama saat berada di Kapel Kodam “Trinitas” Kalideres. Saya melihat ada lima anak di sana, dan dari parasnya, saya pikir anak-anak itu lebih mungkin menjadi imam daripada anak saya. Tapi akhirnya mereka keluar juga. Saya bertanya-tanya, nanti anak saya tahun berapa keluarnya?”

Seiring perjalanan waktu, ia kemudian menyerahkan segalanya kepada Tuhan. “Saya sadar, ada almarhum Mamanya yang selalu mendoakan. Itu menjadi kekuatan bagi saya untuk mendukung Jesen dalam perjalanannya,” ungkapnya.

Fr. Jesen, menambahkan, “Dalam perjalanan ini, pertanyaan-pertanyaan biasanya muncul di tengah proses,”. Dirinya lebih sering berbagi kepada almarhum ibunya, yang banyak memberinya pemahaman tentang arti menjadi seorang imam.

“Mama mengajarkan bahwa imam bukanlah seseorang yang harus selalu dikenal atau terlihat hebat oleh orang lain.” Ia juga terinspirasi oleh pengalamannya melihat teman-teman di seminari menengah.

Momen paling berkesan bagi Fr. Jesen adalah ketika berada di persimpangan dan bertanya kepada orang tuanya, “Apakah Papa dan Mama keberatan atau tidak?” Di saat itulah ia merasa panggilannya semakin dimurnikan, dan akhirnya ia kian yakin untuk melanjutkan perjalanan imamatnya.

Apa yang dituturkan Bapak Feri dan Fr. Jesen menjadi cerminan bagaimana dukungan orang tua dan doa yang tulus dapat menjadi landasan kokoh bagi perjalanan panggilan seseorang.

Sejak Dini

 Ibu Caroline menceritakan perjalanan panggilan anaknya yang unik dan penuh makna. Reinhart, yang merupakan anak kedua dalam keluarganya, sudah menunjukkan keinginan menjadi imam sejak usia sangat dini. “Dari TK, dia sudah mengatakan ingin jadi romo.”

“Setiap bulan Oktober, selalu ada kegiatan di sekolah di mana anak-anak ditanya mau jadi apa. Dia selalu menjawab ingin jadi romo. Saat saya menjemputnya, Miss-nya bertanya, ‘Mau jadi apa?’ dan ketika Reinhart menjawab, Miss itu bingung, ‘romo itu apa?’ karena dia berasal dari komunitas Buddhis,” kenangnya tersenyum.

Bagi Caroline, keinginan anaknya terasa luar biasa karena berbeda dengan kakaknya yang sering berubah cita-citanya.

Ia juga menceritakan bagaimana peran doa dan aktivitas gerejawi membantu membentuk karakter Reinhart.

“Semenjak saya berhenti bekerja, saya mulai aktif di koor dan lingkungan, dan selalu mengajak anak-anak. Itu juga pesan orang tua saya sebelum meninggal. Mama dulu selalu bilang, ‘Kamu harus ikut doa lingkungan,’ dan itu yang terekam dalam ingatan saya, lalu saya terapkan ke anak-anak,” papar Caroline.

Ketika menghadapi tatantangan, dirinya tak ragu untuk meminta nasihat dari pembimbing rohaninya. “Kalau ada problem, saya selalu cerita ke romo pembimbing saya, yang dulu adalah seorang frater Xaverian yang mengajar di sekolah negeri saya. Ia  selalu mengingatkan, ‘Olin, kamu ingat janji pernikahanmu. Kamu harus mendidik anak-anakmu sebagai Katolik. Nanti, saat SD, kamu harus menyekolahkan mereka di sekolah Katolik,’” katanya.

Reinhart sendiri menunjukkan minat yang besar terhadap sosok imam. “Setiap kali melihat romo, dia selalu ingin duduk di sebelah Romo Bono,” ungkapnya.

Meski begitu, Caroline dan suaminya menyadari bahwa keputusan akhir ada di tangan si anak. “Yang bisa saya dan suami lakukan adalah mendoakan. Mau jadi romo atau tidak, doa itu adalah penguat.”

Ia juga mengapresiasi pendidikan yang diberikan para biarawan dan biarawati, yang membantu Reinhart menjadi sosok mandiri.

Terduga 

BapakFrans, ayah Yuliana, seorang calon Suster ADM, berbagi cerita mengenai perjalanan panggilan putrinya yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Yuliana adalah anak ketiga sekaligus bungsu dalam keluarganya. Di daerah tempat tinggalnya, sangat jarang ada imam atau suster yang masuk kampung.

Frans mengenang sebuah pengalaman saat ia masih muda. “Ketika saya masih bujang, ada suster yang datang ke kampung. Wah, suster itu cantik sekali, anggun,” ujarnya.

Namun, ketika Yuliana lahir dan tumbuh dewasa, ia tidak pernah menyangka bahwa putrinya akan tertarik mengikuti jalan hidup bakti yang demikian.

Sebuah titik balik terjadi saat ada kunjungan keluarga ke kampung mereka. Dalam kunjungan itu, seorang diakon bernama Pras bertanya langsung kepada Yuliana. “Yuliana, mau tidak menjadi suster?” Dengan antusias Yuliana menjawab ya.

Namun, tidak semua anggota keluarga mendukung keputusan tersebut. “Mamanya tidak setuju,” ungkap Frans. Meski begitu, ia memilih untuk menyerahkan semua kepada kehendak Tuhan. “Ya sudah, kita serahkan pada Tuhan,” tuturnya penuh keyakinan.

Laporan: Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Pr

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles