HIDUPKATOLIK.COM – Malam jelang malam Natal, penulis menemukan Lovely Man terselip di antara judul-judul film di layanan video streaming. Film ini menghadirkan kisah menyentuh tentang kehidupan keras, manusia yang terpinggirkan, yang ditabrakan dengan kelembutan cinta. Meski bukanlah film religi tetapi sangat terasa religiositasnya, ketaatan pada kebaikan. Meski tokoh wanitanya berhijab, namun film ini terasa cocok dengan tema Natal, karena sarat dengan ketulusan hati.
Kesan awal yang menancap adalah keindahan fotografinya. Tempat mangkal banci dengan tingkah polahnya untuk menarik perhatian lelaki yang lewat, sangat cocok untuk penyuka fotografi human interest. Ditambah lagi rumah susun waktu malam, dengan lorong yang kumuh, underpass yang sepi pada dini hari ditimpa lampu jalanan yang kekuningan, yang dilangkahi oleh anak perempuan memakai hijab bersama ayahnya yang memakai rok mini dan bersepatu hak tinggi, pasti membuat ngiler penyuka street photography.
Di lokasi film seperti itulah hadir kasih dan keikhlasan, di pinggir jalan raya yang penuh luka, dosa dan stigma. Persis seperti karikatur karya @thomdean_cartoonist di instagram. Kartun itu menggambarkan Sang Bayi tidur di pinggir jalan dikerumuni para warga pinggiran yang terpinggirkan. Warga terpinggirkan seperti Ipuy (Donny Damara), sang ayah yang bekerja menjadi waria.
Film Lovely Man bercerita tentang perjalanan Cahaya (Raihaanun), seorang anak pesantren berusia 19 tahun yang ingin menemui ayahnya. Ia hanya merasakan kehangatan seorang ayah sampai usia 4 tahun, setelah itu ayahnya minggat.
Perjuangan hidup sang ayah tergambar sejak film ini dibuka. Ipuy dengan muka penuh luka menenteng sepatu hak tinggi dan wig rambut panjang wanita, tertatih-tatih menaiki tangga rumah susun tempat tinggalnya. Ia habis dipukuli dan diperkosa preman, karena soal duit. Belum lagi Ipuy dalam kesehariannya, mesti menghadapi stigma sosial sebagai waria. Pertemuan anak dengan ayahnya ini menimbulkan konflik emosional.
Wanita religius dari desa ini menemukan ayahnya sedang bekerja, berebut lelaki iseng di jalanan kota. Meskipun begitu, Cahaya berkata: “Apa pun yang terjadi, Ayah tetap Ayah saya.” Sampai sang ayah kebingungan dan bertanya: “Kenapa kamu mau repot-repot mencari orang seperti saya?”
Dialog itu mengingatkan pada ajaran tentang cinta yang tanpa syarat, tanpa penghakiman. Cinta yang tetap hadir di antara banyak dosa, cinta yang tetap merangkul, seperti Natal yang terus hadir. “Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki salah seorang dari yang kecil ini hilang.” (Matius 18:14)
Tentu pada awalnya Cahaya shock dengan kehidupan ayahnya. Namun ketika mereka mulai berbicara, pemahaman satu sama lain perlahan muncul. Ipuy menjelaskan: “Kamu pikir hidup saya mudah? Saya cuma bisa bertahan dengan cara ini.” Dan Cahaya menjawab: “Saya tidak paham, tapi saya di sini untuk Ayah.”
Ah, apakah penulis berlebihan jika menyandingkan sikap ini dengan Yohanes 8:7: “Siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Dan “perempuan” itu, dalam konteks ini, adalah Ipuy.
Cahaya belum sempat makan sejak tiba di Jakarta dengan kereta api, ia berjalan kaki ke sana kemari sampai malam hari, mencari alamat sang ayah. Ipuy pun mengajak anaknya ke warung makan. Di sana kedua insan ini berdialog, lalu di bawah jembatan, lalu sambil duduk di trotoar tepi jalan. Tergambar secara halus perubahan kesadaran sang ayah. “Mungkin saya harus mencoba untuk menjadi lebih baik, setidaknya buat kamu.”
Kerinduan Cahaya kepada ayahnya, tidak menuntut apa-apa, ia hanya ingin hadir bersama sang ayah, meski hanya semalam. Energi cinta adalah energi yang membawa perubahan, bukan karena disuruh tetapi muncul dari dalam diri. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17).
Percakapan malam dini hari sekitar jam tiga pagi, ketika jalanan jadi sepi, kontras dengan malam Natal yang serba wangi, berlampu kerlap kerlip dan bertopi santa. Seperti imajinasi Thom Dean, seandainya Yesus lahir pada hari ini di kota ini, yang tak lagi menyandang kata “ibu,” mungkin bayi suci itu akan lahir di emper jalanan yang jauh dari kesucian.
Nasib insani tiada yang tahu, tetapi lagi-lagi Natal tetaplah dilahirkan, menantang akal budi untuk mencari hubungannya, seperti Cahaya mencari ayahnya, yang sangat berbeda dari bayangannya tentang seorang ayah. Hidup memang bukanlah yang ada di dalam pikiran, tetapi apa yang ada di depan mata. Seperti cinta yang tidak mengada-ada, cinta memberikan apa yang dimiliki, seperti yang diberikan oleh Ipuy kepada anaknya, di akhir cerita.
Dengan durasi yang singkat dan narasi yang sederhana, Teddy Soeriaatmadja, sebagai penulis dan sutradara, berhasil membuat Lovely Man menyampaikan pesan mendalam tentang cinta, penerimaan, dan harapan di tengah realitas hidup yang keras. Sepertinya, untuk itulah Natal selalu hadir melembutkan sang hidup. Selamat Natal.
Henry C. Widjaja, (Kontributor, 25 Desember 2024)