HIDUPKATOLIK.COM – BANYAK PENELITIAN menunjukkan, Yesus lahir antara bulan Maret dan November tahun 6 Seb.Mas., saat rumput dan semak di Timur dan Selatan Betlehem, yang digelari sebagai ‘kota Daud’ (Yun. polis Dabid), masih hijau (lih. R. E. Brown, S.S. 1977. The Birth of the Messiah, hlm. 188. 205. 403. 647-555). Polis hanyalah gelar untuk menunjuk lambang kebesaran dinasti Daud. Betlehem sendiri, yang terletak 9 km Selatan Yerusalem, berada ‘dekat’ dengan Derech Haavot atau ‘Jalur Bapa Bangsa’ sepanjang 235 km, mulai dari Hazor dan Megiddo di Israel Utara, ke Shechem, Siloh, Bethel, Yerusalem, Hebron, dan Beersheba di Selatan. Meski bereputasi mulia, namun, zaman Yesus, Betlehem hanyalah sebuah desa berpenghuni antara 2.000-3.000 jiwa, dengan rumah penduduknya yang terpencar-pencar karena topografi desanya naik turun. Di sekitar hunian mereka juga banyak gua-gua alam, yang biasanya dipakai untuk kandang ternak. Beberapa rumah juga dibangun di dekat atau di atas gua-gua tersebut.
Kebanyakan penduduk bekerja di bidang pertanian. Meski banyak bebatuan, tanahnya subur. Hasil gandum dan jelainya terkenal (lih. Rut. 1:22; 2:1-3), sehingga desa itu dinamai Beit-Lahm, artinya ‘Rumah Roti’. Seperti kebanyakan penduduk desa zaman itu, ada beberapa yang memiliki ternak, domba, kambing, atau keledai. Biasanya, binatang-binatang itu ditempatkan di salah satu ruang rumah mereka, atau di gua-gua di sebelah atau di bawah rumah mereka.
Banyaknya chora (Yun.), atau ‘padang wilayah pinggiran’ (lih. Luk. 2:8), yang antara bulan Maret sampai November berrumput dan bersemak hijau, membuat Bethlehem juga terkenal dengan produksi ternaknya. Banyak domba Betlehem dikirim ke Yerusalem untuk dijadikan domba kurban di kenisah Yerusalem. Menurut Mishnah, kumpulan tradisi para rabbi Yahudi di luar Taurat, domba untuk kurban, harus dipelihara di luar hunian penduduk, di chora, seperti pada gambaran Lukas 2:8. Pada masa penggembalaan Maret-November itu pun, umumnya para gembala (Lat. pastores, jamak dari tunggal pastor), tinggal dan tidur bersama domba-domba mereka, di gua-gua atau di tempat terbuka, yang diberi pagar batu, di luar Betlehem.
Melalui penduduk dan para penggembala, Betlehem merupakan sebuah economic hinterland yang ‘menghidupi’ Yerusalem dengan kenisahnya.
Penduduk yang Ramah
Pada dasarnya, seperti orang Yahudi zaman itu, penduduk desa Betlehem itu ramah. Hospitality mereka tinggi karena itulah perintah Taurat. Sikap ‘membawa masuk orang-orang asing’ tersebut adalah sebuah ‘tugas suci’’, yang teladannya adalah para leluhur mereka (lih. Kel. 22:21; Ul. 10:18-19; Im. 19:33-34). Karena itu, banyak rumah mereka, meski sederhana tidak ada privacy, tetapi punya sebuah kataluma (Yun.), atau ‘ruang tamu’ (lih. Luk. 2:7; 22:11; Mrk. 14:14), yang disediakan untuk siapa saja, khususnya para tamu yang membutuhkan, tanpa bayar. Yesus dan para murid-murid-Nya pun memanfaatkan sebuah kataluma di Yerusalem untuk mengadakan ‘Perjamuan Terakhir’ (lih. Mrk. 14:14; Luk. 22;11). Kataluma berbeda dengan losmen berbayar, yang dalam Injil disebut pandokeinon Luk. 10: 34.35), ‘tempat penginapan’ dalam perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37).
Maka, ketika Maria dan Yusuf tidak mendapat tempat di kataluma warga desa Betlehem untuk kelahiran Yesus, sebaiknya jangan ditafsirkan bahwa penduduk tidak ramah. Lukas 2:7 menulis “tidak ada tempat bagi mereka di kataluma’, artinya, tempat semacam itu sudah habis. Pada masa sensus itu, di mana Betlehem pasti penuh dengan pendatang dari seluruh wilayah Yahudi, semua kataluma sudah terisi oleh ‘saudara-saudara sedesa garis Raja Daud’.
Kepada Maria dan Yusuf, penduduk Betlehem pasti menaruh simpati. Mereka kasihan pada pasangan muda itu karena harus menanggung sebuah suasana sensus, yang merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh orang Yahudi karena bisa berakibat malapetaka bangsa. Menurut kepercayaan Yahudi, sensus adalah gambaran dari arogansi manusia untuk menghitung kekuatan diri. Ini adalah tanda ketidakpercayaan kepada Yahwe. Sensus adalah hak istimewa Allah (lih. Yes. 40:26; Mzm. 147:4. 15-20). Maka Yahwe akan murka ketika manusia mengadakan sensus (lih. 1 Sam. 24:1), sama seperti ketika manusia minta raja (1 Sam. 8). Karena itulah, hukuman atas pelanggaran sensus ini adalah wabah, seperti yang diterima oleh Daud dan rakyatnya (2 Sam. 24).
“Rex” yang Ketakutan
Dalam Injil Lukas, yang diundang pertama kali ke palungan Yesus adalah para pastores. Secara sosiologis mereka adalah orang yang selalu berada di ‘luar rumah’, pengembara, dan dianggap tidak perlu punya identitas. Sebagai orang yang ‘terbuang’, beberapa rabbi melarang membeli barang-barang dari para gembala, karena kemungkinan barang-barang itu adalah curian.
Namun, para pastores yang hidupnya selalu bersama dengan binatang-binatang, lembu, kambing, dan domba, dipanggil oleh para malaikat datang ke palungan, justru agar mereka menerima identitas sejati mereka. Kata-kata Yes. 1:3 menunjukkan arah ini: “Lembu (dan pastores, para gembalanya) mengenal pemiliknya (yaitu Yahwe), tetapi Israel (para pemimpinnya) tidak; keledai (dan pastores mereka) mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya.”
Salah satu pemimpin Yahudi yang tidak bisa mengenal Yahwe, adalah Herodes Agung atau Herodes Magnus (74 Seb.Mas.- 4 Seb.Mas.), tokoh boneka Romawi yang dijadikan rex (raja) Yahudi, dan berkuasa di wilayah Yudaea.
Raja ini tidak disukai penduduk Yahudi sendiri, karena dia adalah keturunan Arab yang pindah ‘menjadi Yahudi’ demi bisa kekuasaan. Dia juga tahu situasi orang Yahudi yang terus mendambakan kembalinya seorang keturunan Daud untuk menggeser kedudukannya. Untuk memberi kesan punya ‘bau-bau garis Daud’, Herodes mendirikan istana, bagunan megah, yang dinamai dengan nama dirinya sendiri, Herodion. Ini adalah sebuah tindakan ‘anti Roma’.
Konteks inilah, yang membuat Herodes sangat ketakutan ketika tiga orang majus menanyakan adanya Mesias baru, dan para ahli kitab istana mengatakan, “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mikha 5:1).
Inilah yang membuat Herodes paranoid sepanjang ia memerintah. Ia selalu mudah curiga terhadap berbagai upaya orang Yahudi yang berbau pemberontakan. Maka, menjelang akhir hidupnya— sekitar tahun 6-4 Seb.Mas. menjelang dan saat kelahiran Yesus di Kota Daud–, Herodes sangat brutal, kejam, dan tega membunuh siapa saja, termasuk kepada keluarganya. Bagi rex yang satu ini, Betlehem menjadi ancaman.
Kisah selanjutnya kita tahu dari Mat. 2:16-18. Maka rex ini jangan diikuti. Pergilah bersama para pastores saja.
H. Witdarmono, M.A.Rel. Stud.Katholieke Universiteit te Leuven, Belgia
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.51, Tahun Ke-78, Minggu, 22 Desember 2024