HIDUPKATOLIK.COM – TAK muda lagi, tapi belum terlalu tua. Menurut Ketua Yayasan Brayat Minulya (YBM), Suster M. Carola Sugiyanti, OSF, inilah gambaran RS Brayat Minulya (RSBM) Surakarta yang genap berusia 75 tahun pada tanggal 8 Desember 2024. Bagaimana perjalanan RSBM Surakarta selama ini? Berikut petikan wawancara HIDUP melalui Zoom pada awal November lalu dengan Suster Carola, sapaan akrabnya:
Bagaimana awal mula Suster terlibat di YBM?
Berawal dari nyantrik (belajar). Provinsial kami menunjuk saya untuk terlibat di YBM sebagai sekretaris selama satu periode. Bisa dikatakan dalam Bahasa Jawa nyantrik. Waktu itu tahun 2018. Saya belum punya tanggung jawab penuh, masih membantu. Jadi saya banyak bertanya kepada ketua, direksi, dan rekan-rekan pengurus.
Setelah satu periode, ada pergantian pengurus YBM oleh provinsial kami. Saya ditunjuk sebagai ketua selama satu periode. Periode berikutnya mestinya sudah ganti tapi ternyata provinsial kami menunjuk saya lagi sebagai ketua untuk periode kedua.
Satu periode itu empat tahun. Saya menjadi sekretaris untuk periode 2014-2018 dan ketua untuk periode 2018-2022 dan 2022-2026.
Bagaimana rasanya menjadi ketua?
Tentu saya mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan, karena saya bertanggung jawab terhadap roda pelayanan di rumah sakit walaupun ada pengelolanya, jajaran direksi. Tapi secara hukum YBM yang bertanggung jawab.
Sebagai ketua, tentu saja saya harus memahami seluk-beluk regulasi tentang rumah sakit. Apalagi regulasi begitu cepat berubah. Regulasi yang sedang diikuti belum tuntas sudah ganti regulasi baru. Tentu saja hal ini membutuhkan cara berpikir yang lebih luas dan harus menjalin relasi dan jejaring yang lebih luas terutama dengan jajaran direksi RSBM Surakarta supaya kinerja pengurus dan direksi sejalan. Searah, tidak melangkah sendiri-sendiri.
Situasi RSBM Surakarta saat itu seperti apa?
RSBM Surakarta tentu saja tidak seperti sekarang. Saya ingat persis poliklinik rawat jalan kami masih mengunakan gedung terbatas. Sementara jumlah pasien semakin bertambah setiap hari sehingga tempat duduk di ruang tunggu tidak mencukupi. Banyak pasien berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan tongkat, kursi roda. Melihat pemandangan itu kayak tidak manusiawi.
Lalu kami berpikir bagaimana caranya membuat ruang tunggu pasien lebih nyaman. Sementara kami dihadapkan pada situasi tempat yang tidak memungkinkan untuk diperluas. Mau tidak mau kami harus melakukan renovasi.
Akhirnya kami membangun gedung baru, namanya Instalasi Rawat Jalan Terpadu. Sekarang sudah kami gunakan untuk pasien rawat jalan. Areanya lebih luas, ruang tunggu lebih nyaman, tempat duduk lebih memadai. Ruang periksa sudah ber-AC dan dilengkapi alat-alat kesehatan yang mendukung sehingga pelayanan dan pemeriksaan rawat jalan bisa ter-cover di instalasi rawat jalan. Maka kami menamakannya terpadu. Artinya sudah bisa menyatu.
Kapan mulai diperluas?
Tahun 2021. Renovasi hampir setahun. Bukan hanya renovasi tapi juga pembangunan. Awalnya hanya renovasi karena terbentur tempat yang tidak memungkinkan untuk diperlebar. Kami menggunakan lahan yang ada dan membangun gedung. Gedung Instalasi Rawat Jalan Terpadu namanya Santa Clara.
Apa saja tantangan yang dihadapi selama ini?
Tantangan tidak pernah habis, selalu ada. Kami merasa tantangan dari hari ke hari semakin menantang. Tapi kami optimis bahwa ada tantangan berarti ada peluang. Kami mencari perutusan yang bisa dilakukan.
Tantangan terbesar adalah regulasi. Regulasi terbaru tentang rumah sakit. Ini yang sangat menantang bagi kami karena ada perubahan paradigma. Peraturan sebelumnya tentu saja juga menantang, tapi regulasi terbaru lebih menantang. Undang-Undang yang saya maksudkan adalah UU No. 17/2023. Orientasi sebuah rumah sakit tidak sekadar mengobati pasian, tapi kami dituntut untuk melakukan pencegahan, preventif. Sebelumnya orientasinya pengobatan atau kuratif. Artinya, rumah sakit harus mengepakkan sayap supaya para pasien yang merasa sakit tersembuhkan dan yang belum sakit bisa dicegah.
Selain itu, RSBM Surakarta adalah rumah sakit Tipe C. Kami juga dituntut untuk membuat akses layanan menjadi lebih mudah. Tidak terbelit-belit. Kami sudah mengantisipasi dengan membuka Instalasi Rawat Jalan Terpadu. Jadi pasien tidak merasa dipingpong, harus periksa ke sana kemari. Dalam satu gedung sudah dilengkapi dengan alat-alat kesehatan untuk menunjang pemeriksaan yang lain sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan cepat.
Tentang tenaga medis dan tenaga kesehatan sekarang tidak ada ampun lagi. Setiap tenaga profesional sebelum praktek harus dipastikan sudah mempunyai surat izin praktek. Sebelum mempunyai surat izin praktek, dokter belum boleh pegang pasien. Kami semakin ditantang, kami harus mempunyai sumber daya manusia yang profesional dan kompeten di bidangnya.
Untuk pasien BPJS, bagaimana pelayanan dilakukan?
Regulasi BPJS Kesehatan juga cukup menantang, Peraturan BPJS Kesehatan sering berubah-ubah. Ke depan ada pemberlakukan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). KRIS akan menggantikan BPJS Kleas I, II, dan III.
Persyaratan KRIS dari sisi fisik gedung juga ribet. Ruangan, kamar, pencahayaan, suhu diatur. Jarak antara satu kamar dengan kamar lain ada standarnya. Kemudian satu ruang, misalnya dulu Kelas III bisa ditempati enam-delapan pasien tapi sekarang tidak boleh. Satu ruang maksimal empat pasien. Bangunan tidak boleh bertekuk, harus melengkung. Bentuk siku tidak boleh. Tujuannya supaya mudah dibersihan dan tidak jadi tempat debu dan kotoran. Gorden juga aturannya. Sekarang tidak boleh pakai gorden kain. Sekarang bahannya tidak berpori dan mudah dibersihkan. Pencahayaan juga diatur. Suhu kamar juga diatur. Dulu Kelas III ibaratnya panas-panas, hanya ada kipas angin. Sekarang harus pasang AC.
Sudah siap dengan aturan ini?
Kalau dikatakan siap ya harus siap. Tapi kalau dikatakan apakah siap 100 persen ya masih berproses. Menurut informasi KRIS akan diberlakukan pada Juni 2025 sehingga kami masih berproses.
Ada dukungan pemerintah setempat dan Keuskuan Agung Semarang (KAS)?
Dukungan sangat kami rasakan, baik dukungan dari pemerintah maupun Keuskupan Agung Semarang. Dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta ada pembinaan khusus setiap enam bulan sekali atau secara periodik untuk rumah sakit kami. Wali Kota juga menaruh perhatian kepada kami. Kalau ada acara pemerintahan, rumah sakit kami juga dilibatkan. Ini salah satu bentuk perhatian bahwa kami diperhitungkan.
Kalau dukungan dari KAS sudah jelas. RSBM Surakarta adalah rumah sakit Katolik, membawa nama Geeja, bahkan jadi wajah pelayanan Gereja. Bapak Uskup (Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang, Red.) sangat beperan. Contoh konkret yaitu rumah sakit kami mengedepankan pastoral care. Hal ini tidak bisa terlepas dari tangan seorang imam. Kami mendapat bantuan yang sangat luar biasa. Banyak imam di Kota Surakarta membantu kami. Bahkan mereka memimpin Perayaan Ekaristi bulanan untuk rumah sakit. Labih-lebih kami oleh Bapak Uskup diberi romo moderator untuk mendampingi kami.
Apakah setiap minggu ada imam yang mengantar Komuni untuk pasien?
Pembagian Komuni tidak dilakukan oleh imam tetapi para suster kami. Itu diberikan setiap hari. Setiap pagi ada Perayaan Ekaristi di biara, kemudian para suster secara bergilir memberi Komuni kepada para pasien beragama Katolik di ruang rawat inap. Ini salah satu bentuk pastoral care sehingga saudara-saudari kami yang sakit betul-betul terjamah secara rohani, karena menerima Sakramen Ekaristi menjadi kekuatan. Mereka tidak berjuang sendiri.
Bagaimana Suster merefleksikan 75 tahun RSBM Surakarta?
Usia 75 tahun bukan usia muda lagi. Dikatakan sudah sepuh, mungkin juga. Tapi belum uzur. Yang kami rasakan adalah pendampingan Bunda Maria yang luar biasa. Dalam hal ini juga Keluarga Kudus Nazaret, karena brayat minulya artinya keluarga kudus. Ini yang menjadi pelindung kami.
Di kala kami sedang mengalami tantangan berat, kami berdoa kepada Keluarga Kudus, Bunda Maria. Dari situ ada insight. Jadi semacam petunjuk, apa yang harus kami lakukan. Dan saat kami berjuang, kami tidak merasa berjuang sendiri. Bunda Maria menemani kami. Bahkan kami merasa melangkah bersama Bunda Maria. Kami merasa dirangkul, diteguhkan. Sehingga ketika kami dihadapkan pada tantangan berat, kami merasa tetap optimis. Ini yang membuat perjalanan kami tidak berat.
Refleksi saya, rangkulan dan lindungan Bunda Maria dan Keluarga Kudus sangat mengayomi kami sehingga sampai sekarang kami tetap optimis bahwa bersama Bunda Maria kami boleh melangkah bersama untuk melayani para tamu ilahi.
Katharina Reny Lestari dari Surakarta, Jawa Tengah
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 49, Tahun Ke-78, Minggu, 8 Desember 2024