HIDUPKATOLIK.COM – “Pada suatu ketika, di depan pintu surga, para pemuka agama menunggu lama. Pintu surga tidak dibuka-buka. Mereka sudah sebal menunggu. Tiba-tiba datang orang lusuh, sempoyongan. Mereka curiga, jangan-jangan ini orang mabuk. Malaikat membuka pintu surga dan mempersilakan dia masuk ke dalam. Para pemuka agama itu bingung. Mereka langsung menggedor-gedor pintu surga. Malaikat keluar. Para pemuka agama bilang: ‘Kami menunggu dari tadi kok tidak dipersilakan masuk? Tetapi orang lusuh begitu, bahkan kayak mabuk, kok masuk cepat-cepat?’ Lalu malaikat bilang: ‘Yang mana? Yang barusan? Itu sopir metromini di Jakarta.’”
Sambil tersenyum, Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid, putri pertama mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid, menyampaikan dark joke tersebut saat memberikan sambutan sebagai keynote speaker di hadapan puluhan tamu undangan, termasuk para imam, yang menghadiri soft launching Ringkasan Hasil Penelitian Kajian Politik-Ekonomi dan Refleksi Etis Indonesia 2014-2024 berjudul “Mencari Demokrasi yang Memajukan Kebaikan Bersama” pada Selasa (10/12/2024) malam di Aula Lt. 9 Kolese Kanisius, Jakarta Pusat.
Ringkasan Hasil Penelitian dalam Bahasa Indonesia ini diterbitkan untuk pertama kali oleh Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus (PRAKSIS).
Menurut Alissa, humor tersebut mengingatkan umat manusia bahwa agama-agama dan para tokoh agama memiliki kewajiban bukan hanya untuk menyampaikan firman Tuhan dan mengatakan bahwa nilai-nilai demokrasi itu penting melainkan juga memastikan bahwa umat manusia mendapatkan apa yang menjadi hak mereka yakni kemuliaan di muka bumi.
Ia lantas mengutip sebuah pernyataan dari Ilya Prigogine, penerima Nobel di bidang kimia pada tahun 1977, yang mengatakan bahwa “when a system is far from equilibrium, small islands of coherence in a sea of chaos have the capacity to lift the entire system to a higher order.”
“Semoga kehadiran PRAKSIS tidak hanya menjadi small island tetapi bisa membawa dan mendorong koheren dengan small island-small island yang lain. Dan kita bisa mendapatkan koherensi dari banyak small island. Dan itu akan menjadi obat di tengah-tengah kekacauan, ketidakseimbangan sistem peradaban dunia saat ini,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyinggung soal Ajaran Sosial Gereja yang disebutkan dalam Ringkasan Hasil Penelitian setebal 15 halaman tersebut.
“Ajaran Sosial Gereja yang digunakan dalam laporan ini sebetulnya adalah undangan istimewa bagi para Romo. Dalam tulisan tentang Romo Mangun, Gus Dur pernah menuliskan begini: ‘Teologia tidak ada artinya dirumuskan muluk-muluk kalau tidak bisa dilihat dan dipraktikkan dalam kenyataan tindakan, bahkan digunakan sebagai fundamentalisme untuk melakukan pembedaan,’” imbuhnya.
Dengan demikian, ungkapnya, panggilan para tokoh agama adalah memenangi pertarungan dalam hal ini.
“Kita ngomong demokrasi tidak serta merta dihubungkan dengan agama, pasti. Tetapi apakah tokoh-tokoh agama akan mengambil kepemimpinan nilai-nilai dari masyarakat? Apakah lembaga-lembaga agama dan komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok agama bisa melihat dirinya sebagai aktor untuk membangun demokrasi? Karena saat ini yang dipercaya oleh masyarakat, yang dipercaya oleh umat adalah para tokohnya, para pemimpin agamanya. Rakyat sudah tidak percaya pada politisi. Bahkan rakyat sudah mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintahannya,” tegasnya.
Latar Belakang
Menurut Direktur Public Engagement PRAKSIS, Pastor Heinrich Angga Indraswara, SJ, latar belakang penelitian adalah sebuah kesadaran sederhana. Demokrasi adalah perjalanan bersama bangsa Indonesia yang belum selesai. Di satu sisi, apa yang telah dicapai oleh demokrasi Indonesia adalah sebuah prestasi.
“Kalau kita melihat kawasan Asia Tenggara, kita akan melihat tidak ada banyak demokrasi yang berhasil bertahan. Lihatlah contoh di Thailand, lihatlah contoh di Myanmar. Demokrasinya rapuh. Ada juga negara-negara lain yang bahkan tidak pernah menjadi demokrasi di Asia Tenggara. Maka bahwa Indonesia berhasil menjadi demokrasi pada tahun 1998 dan bertahan hingga hari ini, juga dengan segala permasalahan, itu adalah sebuah prestasi tersendiri. Ini adalah sebuah prestasi,” ujarnya.
“Tetapi kita tahu masih ada banyak tarikan de-demokratisasi yang menghambat proses demokratisasi di Indonesia. Masih ada banyak persoalan, masih ada persoalan korupsi, masih ada persoalan konsolidasi demokrasi, dan masih ada persoalan ketimpangan yang luas. Inilah yang membentuk latar belakang pendirian PRAKSIS.”
Satu pertanyaan yang ingin dijawab oleh penelitian PRAKSIS, imbuhnya, adalah bagaimana memetakan, menjelaskan, dan memaknai situasi politik-ekonomi di Indonesia selama periode 2014-2024. Untuk menjawab pertanyaan ini, PRAKSIS menggunakan metode penelitian yang disebut dengan pendekatan comparative historical analysis, yakni mengumpulkan berbagai data sekunder yang dibaca dengan metode process tracing untuk menjelaskan apa yang terjadi dan perubahan atau pergeseran yang terjadi. Ini dilengkapi dengan kajian neurotik.
“Di akhir, ini diterangi dengan Ajaran Sosial Gereja untuk melihat bahwa demokrasi Indonesia dengan segala keberhasilan dan kegagalannya memanggil kita untuk terus mencari dan mewujudkan demokrasi yang lebih memajukan kebaikan bersama,” ungkapnya.
Pastor Angga, sapaan akrabnya, kemudian menyebut dua ciri utama situasi politik-ekonomi di Indonesia selama periode tersebut. Pertama, de-demokratisasi yang ditandai dengan penyempitan ruang partisipasi aktif warga masyarakat. Kedua, penyusutan, shrinking, kelas menengah yang ditandai dengan pelemahan pekerja dan kemampuan finansial mereka serta menajamnya ketimpangan.
“Dari dua fenomena itu, tim peneliti PRAKSIS menggarisbawahi satu persoalan pokok, yaitu lemahnya mekanisme timbal balik antara negara dan warga,” ujarnya. “Terakhir, laporan ringkasan hasil penelitian ini memberikan kita sebuah panggilan untuk mencari dan mewujudkan demokrasi yang lebih memajukan kebaikan bersama.”
Potret Politik-Ekonomi
Sementara itu, Yanuar Nugroho, seorang akademisi, menjelaskan tentang potret politik-ekonomi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
Seperti tertulis dalam Ringkasan Hasil Penelitian, situasi politik-ekonomi di Indonesia selama periode tersebut memperlihatkan bahwa, di bidang politik, Indonesia tetap merupakan sebuah “demokrasi elektoral.” Tingkat partisipasi pemilih tetap tinggi, dan sebagian besar pemilih tetap puas dengan penyelenggaraan Pemilu. Namun tren memperlihatkan kecenderungan de-demokratisasi yang ditandai dengan menyusutnya ruang partisipasi substantif warga dalam proses pengambilan keputusan.
Sementara di bidang ekonomi, ketimpangan terus melebar sementara pertumbuhan kelas menengah didera persoalan struktural yang menjadikannya amat rentan terhadap guncangan.
Ajaran Sosial Gereja
Sedangkan Direktur Riset PRAKSIS, Pastor Baskara T. Wardaya, SJ menjabarkan soal Ajaran Sosial Gereja yang terkandung dalam Ringkasan Hasil Penelitian.
“Ketika PRAKSIS mulai dirembug, sebagai sebuah pusat riset dan advokasi, salah satu pertanyaan kami adalah apa kekhasan PRAKSIS? Karena yang lain sudah banyak di Jakarta, bahkan di Indonesia. Kami berpikir mungkin salah satu sumbangan yang bisa kami sampaikan kepada bangsa kita adalah membuat sumbangan warga Katolik ini menjadi lebih visible, menjadi lebih jelas, menjadi lebih terlihat. Tidak hanya menjadi garam tetapi juga menjadi terang dunia,” ujarnya.
“Oleh karena itu, kami mencoba mencari sesuatu yang khas yang bisa kami sumbangkan kepada negeri ini. Dan itu adalah yang tadi disampaikan Mbak Alissa sebagai ‘PR’ para Romo, mengintroduksi Ajaran Sosial Gereja. Benar juga apa yang dikatakan Mbak Alissa bahwa di antara kami juga banyak yang belum mengenal secara mendalam. Tetapi dalam penelitian kami ini, kami mencoba menerangi apa yang disampaikan Romo Angga maupun Mas Yanuar dalam terang Ajaran Sosial Gereja.”
Menurut Pastor Baskara, masyarakat, khususnya umat Katolik, terpanggil untuk mencari demokrasi yang tidak hanya berpusat pada kepentingan elite politik atau politik-ekonomi melainkan juga memajukan kebaikan bersama atau common good.
“Apa itu kebaikan bersama? Kami mendefinisikan kebaikan bersama, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Catechism of the Catholic Church, No. 1906, adalah kondisi-kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Itu yang kami pandang sebagai sebuah definisi yang paling dekat dengan kami tentang apa yang dimaksud dengan kebaikan bersama atau common good,” ujarnya.
Ia kemudian menggarisbawahi tiga hal terkait kebaikan bersama. Pertama, penghormatan terhadap martabat manusia. Kedua, kesejahteraan sosial dan pembangunan masyarakat. Ketiga, subsidiaritas dan solidaritas.
Dalam kesimpulannya, ia mengatakan demokrasi di Indonesia merupakan sebuah perjalanan yang tidak berkesudahan sejak kemerdekaan. Sampai hari ini pun masih berlangsung, dan kelangsungannya mengandaikan keterlibatan bersama. Berdasarkan kesimpulan ini, Ringkasan Hasil Penelitian tersebut juga memuat beberapa rekomendasi untuk pemerintah, Gereja, dan masyarakat sipil.
“Kepada pemerintah, kami merekomendasikan agar (1) semakin membuka ruang partisipasi aktif dan substantif bagi warga, (2) melindungi hak-hak politik dan kebebasan sipil warga, (3) mendorong kebijakan ekonomi yang mempromosikan usaha kecil-menengah, (4) meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan, baik hard skills maupun soft skills, (5) melindungi hak-hak pekerja supaya tidak begitu mudah untuk di-PHK atau dengan kontrak-kontrak yang pendek sehingga mereka menjadi sangat disposable melainkan terlindungi, dan (6) semakin siap untuk membangun aset masyarakat dengan segala kemampuan dan dimensinya,” ujarnya.
Untuk Gereja, imbuhnya, Ringkasan Hasil Penelitian tersebut merekomendasikan agar semakin memahami persoalan publik dari perspektif Ajaran Sosial Gereja dan ilmu-ilmu lainnya, semakin terlibat dalam mengadvokasi keadilan sosial dan kebaikan bersama, terlibat aktif dalam dialog khususnya dialog antaragama, dan memberi perhatian khusus kepada masyarakat yang terpinggirkan, kecil, lemah,
Sedangkan masyarakat sipil, Ringkasan Hasil Penelitian mengusulkan agar masyarakat semakin memperkuat solidaritas sosial, mengadvokasi perubahan kebijakan yang mengarah pada keadilan sosial, meningkatkan kesadaran mengenai ketimpangan yang semakin tajam terutama dalam sepuluh tahun terakhir, menyuarakan alternatif kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan nyata komunitas-komunitas di masyarakat.
“Mari kita bersama-sama bekerja sama untuk memajukan kebaikan bersama,” pungkasnya.
Katharina Reny Lestari