HIDUPKATOLIK.COM – Motif kita menonton film, pada umumnya adalah untuk mencari hiburan. Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi kita juga bisa menarik pelajaran, menggali makna dari film melaui adegan-adegannya, dan melakukan refleksi.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggali adegan-adegan film Doubt (2008). Kenapa penulis memilih film ini? Karena ceritanya berlatar belakang Katolik tetapi permasalahannya universal. Adegan-adegannya penuh perumpamaan, yang memancing perenungan, sebagaimana judul bukunya, yaitu “Doubt: A Parable.”
Tetapi ini kan film lama? Betul, namun sebuah film yang bagus tak lekang oleh waktu. Yuk, kita mulai.
Latar Belakang
Pada tahun 1964, saat cerita ini berlangsung, situasi umat sedang dilanda oleh angin perubahan. Setahun sebelumnya Presiden John F. Kennedy, yang dicintai rakyat Amerika, terbunuh. Dua tahun sebelumnya dibuka Konsili Vatikan II, di mana Gereja Katolik membuka diri kepada dunia modern, memperbarui liturgi, memberikan peran yang lebih besar kepada kaum awam, dan lain-lain. Sekolah ini juga untuk pertama kalinya menerima murid kulit hitam, Donald Miller. Dengan cantik, film ini memvisualkan angin musim gugur sebagai metafora perubahan yang bertubi-tubi itu. Mari kita menilik adegan-adegannya.
Menciptakan Rasa Takut
“Mereka semua takut kepada anda” ujar seorang guru muda, Suster James (Amy Adams) yang lugu namun optimis, setelah melihat sikap Kepala Sekolah yang keras dan otoriter. “Ya, begitulah cara kerjanya,” jawab Suster Kepala Sekolah di SD Santo Nikolaus, di Bronx, Suster Aloysius Beauvier (Meryl Streep). Beliau percaya bahwa rasa takut dapat menegakkan disiplin.
Penulis jadi teringat tokoh Batman, pahlawan super yang juga menebarkan rasa takut untuk mengatasi kejahatan di kota Gotham. Memang, metode ini sungguh manjur. Konon, politikus ulung secara terencana mengangkat kerabat dan mantan ajudan ke posisi kunci. Posisi yang mampu mengubah undang-undang, menangkap dan menghukum orang. Dengan demikian beliau sukses memaksakan kehendaknya kepada para pejabat lain, karena mereka takut dosa-dosanya diungkit oleh Sang Politikus.
Kecurigaan Tanpa Bukti
Di samping berdisiplin keras dan otoriter, Suster Aloysius juga memiliki kecurigaan terhadap Pastor Brendan Flynn (Philip Seymour Hoffman), pastor paroki di mana SD itu bernaung, bahwa terjadi hubungan yang “tidak biasa-biasa saja” antara Pastor dengan satu-satunya murid kulit hitam. Tambah seru lagi, kedua tokoh sentral film ini digambarkan memiliki sifat yang bertolak belakang. Pastor Flynn liberal, memberi kebebasan kepada umat, sedangkan Suster Aloysius ortodoks, ingin batasan-batasan terus diterapkan. Mungkin Suster akan menggerutu “Mau dibawa ke mana Gereja ini?” seperti umumnya orang yang tidak suka perubahan.
Di kelasnya, Suster James menemukan bahwa mulut Donald, yang juga seorang putera altar, berbau alkohol setelah Donald kembali dari pastoran. Kemudian ia memergoki Pastor Flynn menaruh kaus dalam anak laki-laki ke dalam loker Donald. Kejadian ini dilaporkannya kepada Suster Aloysius.
Seperti api dari ban bekas yang dibakar di tengah jalan untuk memancing kerusuhan, laporan itu juga memicu kerusuhan dalam batin Suster Aloysius, yang memang curiga dan tidak suka pada Sang Pastor. Menurutnya, keberadaan Pastor Flynn dapat mengancam dan menghancurkan moral masyarakat, sehingga Sang Pastor mesti didongkel, meski tanpa secuil pun bukti.
Bagaimana bisa, jika tidak punya secuil bukti pun? Laporan ke polisi saja harus ada dua saksi. Tapi pada kenyataannya, sih, bisa saja. Pada tahun 2003 Amerika Serikat menginvasi Irak antara lain karena adanya klaim palsu bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Padahal, PBB sudah menyatakan tuduhan ini tidak berdasar.
Dalam kondisi seperti itu, Suster Aloysius tetap kukuh pada keyakinannya, bahkan ketika harus mengambil langkah-langkah ekstrem. Beliau mengancam akan melakukan apa pun untuk memaksa Sang Pastor keluar, dengan risiko Suster Aloysius sendiri dapat diusir dari gereja, karena melanggar hierarki. Sepertinya Suster Aloysius tidak ingat pada Matius 7:1, “Janganlah menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”
Sebetulnya disini ada masalah moralitas. Apakah tindakan itu benar atau salah, baik atau buruk. Tetapi sepertinya paradigma “tujuan menghalalkan cara” semakin hari semakin diterima sebagai kewajaran, jika kita tidak membangun kesadaran, agar tidak terbawa arus. Disinilah kerennya film ini, keraguan pun menular ke penonton. Kebenaran pun menjadi pertanyaan.
Memanfaatkan Kekuasaan
Keyakinan Suster Aloysius didukung oleh kekuasaannya sebagai kepala sekolah. Beliau menekan ibunya Donald untuk mendukungnya melawan Sang Pastor, dengan mengancam Donald akan dikeluarkan dari sekolah itu.
Kekuasaan memang membutakan mata. Sang penguasa bisa merasa paling benar, bahkan ketagihan kekuasaan. Di negara kita, keranjingan membangun dinasti untuk melanggengkan kekuasaan, lagi-lagi dianggap sesuatu yang lazim.
Sementara Suster James, sebagaimana judul film ini, terombang-ambing dalam keraguan, yang manakah yang benar dari kedua atasannya? Jadi teringat Pontius Pilatus, yang bertanya kepada Yesus, “Apakah kebenaran itu?” (Yoh 18:38a)
Seni Peran yang Memesona
Ketegangan yang dibangun oleh kekuasaan dan keadaan saling menekan ini, ditampilkan dengan sangat apik oleh keempat aktor utama film ini. Sebuah seni peran yang sungguh indah. Lihatlah Viola Davis, artis berkulit hitam, yang memerankan ibunya Donald. Meskipun ia hanya bermain dalam satu adegan, namun dengan ciamik, dengan mata dan mimiknya, ia memunculkan kekhawatiran seorang ibu akan nasib anaknya, yang ternyata seorang gay, dan suaminya yang pemberang yang tidak bisa menerima kenyataan itu. Dalam seni peran, tidak hanya kata-kata yang dapat menyampaikan kekayaan perasaan .
Inti Persoalan yang Terlewatkan
Dalam sebuah perdebatan sengit, Sang Pastor meminta agar Donald diajak bicara, tetapi Sang Suster menolaknya, karena Donald pasti akan membela Romo Flynn. Sayang memang, dalam struktur cerita, bocah dua belas tahun itu, yang menjadi inti persoalan, tidak diberi porsi untuk berbicara.
Sepertinya inilah kebiasaan orang dewasa yang selalu sibuk dengan pikirannya sendiri, namun sering tidak sampai menyentuh substansi permasalahan. “Hanya dengan hati kita dapat melihat dengan benar. Hal yang esensial tidak terlihat oleh mata,” begitu nasihat seekor rubah kepada Pangeran Kecil, dalam buku karya Antoine de Saint-Exupéry.
Perumpamaan Tentang Gosip
Dalam film yang dirilis pada Natal 2008 ini, Pastor Flynn beberapa kali berkhotbah. Dalam salah satu khotbahnya, Sang Pastor menceritakan sebuah perumpamaan tentang gosip, yang seolah sindiran atas persoalan yang dihadapinya. Katanya, jemurlah bantal di atap rumah. Lalu robeklah kain pembungkusnya, sehingga bulu-bulu isi bantal itu berterbangan ke mana-mana, terbawa angin. Kemudian cobalah mengumpulkan kembali bulu-bulu itu. Tentu tidak bisa. Nah, bulu-bulu itulah gosip, sekali ia tersebar maka tiada dapat dihentikan.
Tidak Ada yang Baru?
Selain melalui perumpamaan, perbedaan pandangan tentang perubahan menimbulkan perdebatan antara Sang Pastor dengan Sang Suster. Pastor berkata: “Ini zaman yang baru, Suster. Ada sesuatu yang baru dalam diri manusia.” Dengan dingin Suster menjawab, “Apanya yang baru? Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” (Pkh. 1:9)
Betulkah demikian bahwa tidak ada hal baru? Sedangkan peribahasa yang lain berbunyi: “Segalanya berubah kecuali perubahan itu sendiri?” (Herakleitos, filsuf Yunani, 540 SM-480 SM, setelah dirumuskan ulang). Di manakah titik temunya?
Sebuah contoh: api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, tetapi api tetaplah api yang sama. Contoh lain: teknologi berubah, tetapi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi, terhubung, dan berekspresi tetap sama. Dapat disimpulkan, kedua peribahasa ini sebenarnya tidak sepenuhnya bertentangan. Mereka justru dapat dilihat sebagai dua perspektif berbeda yang saling melengkapi. Dunia ini terus berubah, tetapi esensi atau pola dasarnya sering kali tetap sama. Jadi yang tampaknya bertentangan tidak selalu harus bermusuhan. Nah, apakah Suster Aloysius dan Pastor Flynn bertentangan?
Sang Sutradara
Apakah Suster Aloysius yang begitu tegas tidak menyimpan keraguan? Apakah Pastor Flynn benar bersalah? Salut pada John Patrick Shanley, penulis dan sutradara film ini, yang telah membuat karya yang begitu provokatif, mengganggu pikiran. Ia mengaduk berbagai tema seperti: kebenaran, kekuasaan, prasangka dan moralitas, tanpa menghakimi siapa yang bersalah.
Isu yang diangkat dalam film ini memang relevan. Dikabarkan oleh bbc.com, pada tahun 2020 Vatikan menggelar sidang pelecehan seksual pertama. Dua pastor dituduh terlibat pelecehan putra altar antara 2007 sampai 2012.
Penutup
Melakukan refleksi atas adegan film, bisa juga mengasah kesadaran pada adegan-adegan yang kita alami dalam hidup keseharian. Menjadikan momen-momen itu sebuah perayaan.
Henry C. Widjaja (Kontributor)