web page hit counter
Jumat, 1 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

GEREJA DI MUSIM DINGIN

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Sekitar 2 minggu setelah kembali dari Singapura, Paus Fransiskus mengadakan kunjungan ke Luxemburg dan Belgia. Namun berbeda dengan eforia dari kunjungannya di awal September, antara lain ke Indonesia itu, atmosfer yang berbeda dialami oleh Paus. Paus menggambarkan wajah Gereja di Asia berbeda dengan wajah Gereja di Eropa, yang digambarkannya semakin menua serta dingin. Vitalitas hidup tidak lagi banyak ditemukan, walau sebenarnya masih hidup dikobarkan lagi. Hal itulah yang hendak disampaikan oleh Paus dalam kunjungan ke dua negara, yang digambarkan telah banyak tersekularisasi.

Kardinal Pietro Parolin, sekretaris negara Vatikan, mengggambarkan kedua negara tersebut sebagai membawa cahaya keberanian serta harapan kepada Eropa, untuk menemukan kembali akarnya. Eropa kehilangan ingatan akan bencana besar yang pernah menimpanya, dan karenanya terancam akan kembali mengulangi kesalahan yang sama, kalau menghidupi ketakutan, perpecahan dan aura populisme. Hal tersebut terjadi menurutnya karena Eropa melupakan akar yang membentuknya. Kunjungan Paus karenanya dimaksudkan untuk mengingatkan Eropa dalam membangun masa depan dengan penuh harapan. Memang Fransiskus menggambarkan diri sebagai peziarah harapan.

Terbuka

Kunjungan Paus Fransiskus terutama ditempatkan dalam kerangka peringatan 600 tahun Universitas Leuven, Belgia.  Sejarah adalah guru kehidupan, demikian diingatkan oleh Paus Fransiskus, dan sejarah telah mengajarkan bagaimana Eropa terbangun dan bagaimana perang dan perpecahan, ketertutupan dan kepentingan sempit telah menghancurkan mimpi Eropa. Luxemburg dan Belgia baginya memperlihatkan kenyataan hidup di simpang jalan Eropa, maka menjadi momen yang menentukan saat ini dalam merancang tata kehidupan masa depan. Solidaritas yang melintasi segala batas serta kepedulian kepada mereka yang miskin, baginya telah diletakkan sebagai fondasi tatanan kehidupan di Eropa, dan dia kemudian menambahkan dua hal lagi: persaudaraan serta kepedulian akan ciptaan.

Baca Juga:  Ini Uskup Baru Keuskupan Surabaya: Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo
Paus Fransiskus menyapa para lansia.

Tentu dua hal baru tersebut tidak bisa dilepaskan dari keprihatinan Paus akan apa yang disebut sebagai adanya musim dingin demografis.  Orang lebih suka pula menutup pintu, daripada membuka ruang bagi para pendatang. Bahkan aborsi maupun segala bentuk hilangnya penghargaan akan kehidupan disinggung pula, sebagai bentuk sikap tidak peduli. Solidaritas kasih hilang, kepedulian memudar. Bukan jembatan penghubung yang dibangun, sehingga kedamaian serta harmoni tidak lagi sangat mewarnai. Oleh karena itu Paus kemudian mengajak Eropa untuk   kembali menyusuri tapak jalannya yang telah dilaluinya dan telah mengisi perjalanannya, menemukan lagi identitas dasarnya yang asali, dan mengarahkan daya upaya menuju ke masa depan, dengan membuka diri kepada kehidupan maupun harapan.  Dengannya diharapkan kebekuan dan kekerasan hati bisa dihalau.

Fransiskus mengingat, karenanya, agar mewaspadai kultur dominan yang sedang berlaku. Jangan sampai penyesuaian diri dengan perkembangan yang ada menjadikan kita menanggalkan akar yang telah menjadi dasar serta membentuk dirinya. Penyesuaian diri bukanlah tujuan, sehingga jangan sampai orang hanya berpusat di situ. Di Leuven Paus mengundang, pun civitas akademis, untuk memperluas batas, pun ruang batas pengetahuan, agar dapat semakin mengenali kebenaran, tanpa perlu berkubang dalam kenyamanan kotak gagasan yang tertutup. Keterbatasan dibangun bisa karena  kepenatan intelektualitas, di mana orang hanya berkubang pada sesuatu yang dangkal belaka, tidak mau ambil resiko dan berani terus-menerus bertanya, sebagai proses wajar dalam pencarian kebenaran.

Tantangan lain yang dilihat Paus adalah rasionalitas yang tanpa jiwa. Di sini umat manusia bisa sekedar ditempatkan sebagai barang belaka, karena pemujaan akan segala apa yang tampak terlihat dan akal budi dipersempit sekedar pada ruang logika matemaris, sehingga nalar muncul dari ‘laboratorium’, sehingga manusia kehilangan rasa kagum, memudar kemampuan untuk memandang sesuatu yang mengatasi batas, apalagi mengarahkan pandangan ke Surga.  Tanpa ini maka manusia akan kehilangan nyala api yang mengobarkan daya hidup. Diakui oleh Paus menjadi terbuka itu tidak mudah, karena kita cenderung mapan dan akhirnya berhenti pada rasa puas diri belaka.

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Kairos

Di tengah segala gerak arah tersebut, Paus mengajak untuk mengarahkan pandangan kepada Yesus. Dia menggambarkan ini dalam illustrasi tentang Gereja yang senantiasa bergerak, berada selalu dalam perjalanan. Perjalanan tersebut merupakan langkah evangelisasi, dan prosesnnya berangkat dari  Injil. Hal ini dipandang perlu baginya, sebab Gereja sedang mengalami apa yang disebutnya sebagai krisis iman. Gereja sedang mengalami desolasi, kekeringan dan kebekuan, maka perlu menemukan kembali kairos, saat untuk bergerak dan bertindak, yang mengacu pada gerak perubahan atau pembaharuan. Kairos tersebut menurutnya ditandai dengan dua hal: sukacita dan belaskasihan.

Tanpa itu umat beriman akan terjebak pada kegelisahan, entah terkait dengan terpaan persoalan kehidupan yang tidak pernah kunjung selesai maupun gambaran masa depan yang sering terbayang suram. Semua ini bisa terjadi karena jalannya kehidupan telah dimanipulasi, juga oleh berbagai arah kemajuan, yang cenderung disetir dengan kepentingan ekonomi, atau disebutnya sebagai ‘spiritualitas pasar’. Akibatnya ideologi yang lebih menentukan, bukan perjumpaan hati dengan Allah maupun sesama. terkait ini di Leuven dan Parlemen Belgia, Paus mendapatnya ‘serangan’ mengenai kelambanan Gereja menghadapi berbagai persoalan perundungan seksual di kalangan klerus maupun masih sempitnya ruang bagi perempuan di dalam tubuh Gereja.

Baca Juga:  Ketua ICRP Ulil Abshar Abdallah: Michael Utama Sosok Petarung

Paus Fransiskus menegaskan ciri feminim Gereja, sebagai ibu dan mempelai. Keterlibatan perempuan tidak terelakkan. Akan tetapi menurutnya, ciri tersebut tidak ditentukan oleh ideologi ataupun konsensus di atas kertas. Letak dan peran perempuan perlu ditempatkan dalam kenyataan hakikat kodratinya, yang tentu dalam relasi kesejajaran dengan laki-laki. Tampaknya, Paus tidak mau masuk ke dalam desakan yang lebih terkait dengan persoalan tahbisan perempuan. Menurutnya, yang lebih pokok dan mendasar bukan status, melainkan lebih pada pemahaman yang lebih utuh dan menyeluruh tentang kodrat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Persoalan ini cukup kuat diajukan kepada Paus seakan tanpa adanya keterbukaan akan kemungkinan tahbisan perempuan maka Gereja mereka bayangkan akan masuk ke dalam kesuraman, akan ditinggalkan. Paus tidak mau menanggapi.

Persoalan pelik lain adalah soal aborsi. Secara khusus Paus Fransiskus mengunjungi makam raja Belgia, Baudouin, yang memilih melepaskan tahta daripada menandatangani hukum yang disetujui parlemen untuk mengesahkan aborsi. Memang dia mundur hanya selama 3 hari, namun itulah hari-hari di mana dia bisa menghindar dari keharusannya menandatangi aturan aborsi.   Fransiskus mengenakan gambaran akan hal ini dengan kisah Injil pembantaian anak-anak oleh Herodes. Pandangan Paus ini mendapatkan reaksi keras, bahkan pemerintah Belgia mengajukan keberatan kepada duta besar Vatikan. Paus dianggap campur tangan dengan urusan dalam negeri. Mereka menempatkan Paus sebagai kepala negara, bukan pemimpin Gereja Katolik.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Luxemburg dan Belgia bukan kunjungan yang mudah. Kedatangannya sebagai peziarah harapan untuk menghangatkan kebekuan dan memheri terang di tengah musim dingin, menghadapi tantangan yang berat. Hal ini menunjukkan evangelisasi dan kehidupan menggereja di Eropa menjadi ladang tandus.

Pastor T Krispurwana Cahyadi SJ, Teolog

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles