web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ketika Kediktatoran Relativisme Mempengaruhi Hampir Semua Aspek Kehidupan Manusia

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – ISTILAH kediktatoran relativisme pertama kali digunakan oleh Josep Ratzinger (Paus Benediktus XVI) dalam kotbah konklaf (2005) menjelang keterpilihannya menjadi Paus. Ia mengatakan: “sebuah kediktatoran relativisme sedang dibangun yang tidak mengakui apa pun sebagai sesuatu yang pasti dan hanya menyisakan diri sendiri dan keinginannya sebagai ukuran terakhir”.

Akibatnya, tidak ada kebenaran universal, obyektif dan definitif. Dalam sebuah tulisan lain di tahun yang sama (2005) dia mengatakan bahwa kediktatoran ini telah mengukuhkan relativisme menjadi landasan filosofis sistem politik negara modern.

Sebagai efek lanjutnya, kediktatoran relativisme juga telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia. Akibatnya, sekularisasi kian hegemonik dan positivistik semakin dominatif. Alhasil, individualisme telah menjadi paramater absolut kebenaran. “Aku” adalah rujukan sekaligus pusat dan kebenaran itu sendiri.

Itulah mengapa, dalam sebuah wawancara dengan Pater Seewald (2010), Paus Benediktus XVI, lagi-lagi mengingatkan hal ini sebagai sesuatu yang mesti dikoreksi. “Saya pikir kita harus menyampaikan bahaya ini dengan sangat tegas” tandasnya. Sebagai solusinya, manusia harus dengan rendah hati mengakui dan menjadikan kebenaran sebagai sejati paramater kehidupan. Sebagai orang Kristiani, kebenaran kita satu-satunya adalah Kristus sendiri. Ketika Kristus menjadi sumber kebenaran, itu berarti tindakan penyelamatan dan penghargaan terhadap martabat manusia harus menjadi ukuran kebenaran.

Baca Juga:  CERITA NATAL TAHUN INI (Oleh: A.M. Lilik Agung)

Relevansi Politik

Pemikiran Benediktus XVI, betapapun berlatarbelakang dunia Eropa, relevan dengan konteks perpolitikan kita. Bagaimana tidak, elite politik kita seringkali mengabaikan kebenaran sejati dari politik. Mereka acapkali mengabaikan kebenaran fundamental dari politik sebagai sarana menciptakan kebaikan bersama.

Mereka tidak paham bahwa kebenaran politik pada ghalibnya adalah tentang martabat manusia, tentang keputusan-keputusan liberatif – etis, tentang artikulasi penderitaan rakyat lewat program-program revitalitatif – transformatif. Sampai di sini, saya setuju dengan Dussel (2001), yang mengusulkan prinsip material universal dengan klaim kebenaran praktis-politik, yang terdiri dari penegasan tugas semua politik untuk: menghasilkan, mereproduksi, dan mengembangkan kehidupan manusia dalam komunitas, pada akhirnya kemanusiaan dalam jangka panjang. Bagi Dusel, kebenaran secara material mengkondisikan validitas, dan validitas secara formal menentukan kebenaran.

Baca Juga:  CERITA NATAL TAHUN INI (Oleh: A.M. Lilik Agung)

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih melahirkan kebijakan yang berasal dari kebenaran politik itu sendiri, para elite politik seringkali menampilkan, apa yang oleh Aldous Huxley dalam Brave New World (1932), dikatakan sebagai kebenaran palsu. Sebab, realitas palsu dengan kebenaran palsunya mendeklarasikan tidak adanya kebenaran dan pada akhirnya tidak ada yang penting dalam hidup manusia.

Hal tersebut bertentangan dengan substansi politik yang secara in se memiliki kebenarannya sendiri yaitu membebaskan rakyat dari penderitaan. Sebagaimana kata-kata Paus Benediktus XVI, bahwa kebenaran memang membutuhkan kriteria untuk diverifikasi atau dipalsukan, tetapi kebenaran tetap menunjukan kepada kita nilai-nilai konstan. Demikian jugalah kebenaran politik. Politik selalu memiliki nilai konstan yaitu menciptakan bonum commune.

Jika politik bukan tentang kebaikan bersama, maka politik seperti itu telah salah kaprah. Kita berharap agar politisi kristiani, tetap menjadi garam dan terang, yang secara tegas menyuarakan politik sebagai sarana untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak. Politisi kristiani harus berani dan konsisten mengagregasi harapan-harapan rakyat untuk selanjutnya mengkonversinya menjadi tindakan-tindakan liberatif. Itu adalah kebenaran sejati politik yang tidak bisa dianulir oleh klaim relativisme dan praksis hegemonik tertentu.

Baca Juga:  CERITA NATAL TAHUN INI (Oleh: A.M. Lilik Agung)

Inosentius Mansur, Formator di Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus, Ritapiret, Maumere

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles