web page hit counter
Jumat, 18 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pastor Paulus Sarmono, SCJ Konsisten Gemakan Kesadaran Ekologis

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “Indahnya Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita. Negeri penuh pesona, anak negeri ini ceria. Ayo jaga kekayaan negeri ini, jangan salah kelola harta pusaka negeri ini. Jangan cemari keindahannya. Bumi sehat, manusia sejahtera. Kita bangun ketahanan pangan menyongsong era bonus demografi. Ironis kalau bangsa kita kelaparan di tanah yang kaya dan subur,” tulis Pastor Paulus Sarmono, SCJ pada laman media sosialnya.

Perhatian Pastor Sarmono pada lingkungan hidup membuat imam dari Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ) ini dikenal sebagai sosok  pegiat dan pemerhati lingkungan hidup. Gerakannya sudah berlangsung jauh sebelum Paus Fransiskus mengeluarkan Ensiklik Laudato Si’, 24 Mei 2015.

 Berawal dari Bela Rasa

Alumnus Seminari Menengah St. Paulus Palembang kelahiran 30 Desember 1965 ini menerima tahbisan imamat dari Mgr. Joseph Hubertus Soudant, SCJ di Palembang, 23 November 1994. Ia ditahbiskan bersama lima temannya. Setelah ditahbiskan, ia melayani umat di Paroki St. Antonius Padua Bidaracina, Jakarta.

Setahun berselang, bersama Pastor F.X. Harimurtono, SCJ ia memulai perutusan di Paroki St. Barnabas Pamulang. Di paroki baru ini, para dehonian melayani umat yang jumlahnya relatif besar. Saat itu, Perayaan Ekaristi dilaksanakan di gedung sekolah. Para imam tinggal dikontrakan. Dari sinilah pesan kasih itu bermula.

Perjumpaan bersama umat di Pamulang diwarnai dengan terjadinya krisis pangan tahun 1997-1998. Situasi ini menggerakkan hatinya untuk menyuarakan pesan kasih bukan hanya dari mimbar tetapi ikut ambil bagian dalam keprihatinan dan pergumulan umat serta masyarakat setempat. Bersama umat, Pastor Sarmono bergerak untuk dapat menghasilkan sumber pangan dengan mengolah lahan-lahan kosong milik umat dan menanam berbagai jenis tanaman pangan, seperti ubi, sayur-mayur, dan kacang. Hasilnya dibagi-bagikan untuk umat dan masyarakat.

Saat itu di sekitar Pamulang masih ada cukup banyak orang yang mengalami kesulitan secara ekonomi. Mereka ini bukan hanya orang Katolik, tetapi juga masyarakat lainnya, seperti para pemulung yang jumlahnya relatif banyak. Selain mengupayakan bantuan berupa hasil tanaman pangan, mereka juga membantu para pemulung dengan membuat kolam ikan lele, membangun jamban, dan memperbaiki rumah mereka.

Baca Juga Artikel:  Rumah Dehonian: Menjadi Ruang Perjumpaan

Meski dengan jumlah yang relatif kecil, gerakan ini juga melibatkan masyarakat lintas iman yang mau ikut membantu meringankan kesulitan sesama. Semua berawal dari keprihatinan dan kepedulian yang kemudian menggerakkan semua untuk berbelarasa dengan wujud yang nyata. Kepeduliannya pada sesama menjadi wujud nyata panggilan hidupnya sebagai seorang imam dehonian untuk mengasihi dengan hati dan budi yang terbuka.

Pertanian Organik

Dari Pamulang ia diutus ke Paroki Hati Kudus Palembang dan berjumpa dengan umat di Stasi Cinta Manis. Kala itu, Cinta Manis merupakan daerah transmigrasi dengan kondisi wilayah yang relatif sulit. Untuk mendapatkan air bersih mereka harus berjalan menempuh jarak lebih dari 7 km.  Mereka mengandalkan lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, kondisi tanah yang memiliki kadar keasaman (pH) tinggi mengakibatkan pertanian gagal dan tidak berkembang.

Menurut para ahli, kadar pH tanah memiliki kisaran 1-14 skala pH. Tanah yang memiliki pH dibawah 7, yaitu kisaran 1-6 disebut sebagai tanah asam. Tanah dengan tingkat keasaman tinggi berisiko gagal jika diolah menjadi lahan pertanian karena memiliki kandungan nutrisi yang rendah dan kandungan racun yang berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman.

Kondisi inilah yang menggerakkannya untuk menemukan solusi agar tanah yang asam itu dapat diolah dan menghasilkan sesuatu yang dapat meningkatkan kualitas hidup umat dan masyarakat setempat. Pilihannya adalah dengan mengembangkan pertanian organik. Pastor Sarmono kemudian belajar dengan membaca berbagai macam sumber tentang pertanian organik dan berkunjung serta belajar dari para pegiat pertanian organik, antara lain Pastor Agatho Elsener, OFMCap di Cisarua Bogor, Jawa Barat, dan ke daerah Dieng Wonosobo, Jawa Tengah.

Pengetahuan yang diperoleh kemudian ia bagikan kepada umat serta masyarakat lewat kebun percontohan pertanian organik. Ia mengajak umat untuk menanam jeruk dan mengolah lahan pertanian menggunakan pupuk kandang yang diperoleh dari kandang ayam yang dikembangkan bersama. Gerakan ini tampak membawa secercah harapan bagi masyarakat, perlahan kondisi ekonomi masyarakat berkembang.

Baca Juga Artikel:  Sinode III Keuskupan Sibolga: Bersama-sama Menemukan Kehendak Allah

Rumah Organik Nusantara

Keprihatinan yang sama juga ia temukan saat melayani umat di Paroki St. Isidorus Singkut, Jambi, yang sebagian besar adalah petani karet. Mereka berhadapan dengan jamur yang mengakibatkan pohon karet mudah patah dan mati. Kondisi itu membuat Pastor Sarmono berusaha menemukan solusi agar dapat membantu para petani. Pencarian itu terus berlanjut hingga di tempat perutusannya yang baru di Paroki St. Maria Tak Bernoda Tegalrejo Belitang, Sumatera Selatan. Daerah persawahan yang menjadi lumbung padi provinsi.

Bersama umat, ia belajar untuk mengembangkan metode Mikro Organisme Lokal (MOL) yang berasal dari berbagai macam bahan, antara lain adalah buah berenung atau maja (Aegle Marmelos).Menurut Pastor Sarmono, kandungan di dalam buah maja memiliki fungsi ganda, menjadi pupuk yang berpengaruh bagi pertumbuhan vegetatif sekaligus menjadi pestisida dan fungisida alami dalam pengendalian hama yang ramah lingkungan.

Selain itu, MOL juga bermanfaat sebagai biang dalam penguraian, fermentasi bahan organik menjadi pupuk organik padat maupun cair dan dekomposer atau biang pembuatan kompos. Ini menjadi salah satu jawaban bagi para petani padi yang membutuhkan pupuk dan petani karet untuk melawan jamur seperti yang dialami oleh para petani di Singkut.

Kini, Pastor Sarmono berkarya di Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu. Di tengah kesibukannya melayani umat, ia selalu menyempatkan diri untuk berkebun dan merawat aneka tanaman di lahan milik paroki. Ada beragam tanaman yang ia tanam, seperti terong, gambas, kangkung, kacang, semangka, cabe, sawi, lobak, dan alpukat. Semua dirawat, diolah, dan dipupuk secara organik, tanpa menggunakan pestisida dan pupuk kimia.

Di atas lahan seluas 2,5 ha yang terletakdi Pekik Nyaring inilah, Pastor Sarmono kemudian mendirikan Rumah Organik Nusantara (ROS), sebuah wahana bagi siapa saja untuk belajar, mendalami, dan mengembangkan metode pertanian organik berikut cara menghasilkan aneka pupuk, pestisida, dan fungisida alami yang ramah lingkungan. Di tempat ini ia juga mulai mengembangkan perpaduan antara MOL dengan sumber organik yang dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman yang disebut dengan Jamur Keberuntungan Abadi (Jakaba).

Baca Juga Artikel:  100 Tahun SCJ di Indonesia: Dari Laut Arafuru ke Sungai Mahakam

Selain berbagi ilmu dan semangat di ROS, ia juga membagikan pengetahuannya tentang pertanian organik dan gerakan ekologis ke berbagai kelompokdan mengkampanyekan gerakan pertanian keluarga. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk terus mendukung pertanian yang ramah lingkungan dan bebas dari bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan.

Kesadaran Ekologis

Lahirnya Ensiklik Laudato Si’ membuatnya semakin bersemangat dalam menyerukan pentingnya menjaga lingkungan, merawat bumi sebagai rumah kita bersama, yang juga harus disiapkan untuk generasi selanjutnya. Ia menyuarakan semangatnya agar semakin banyak orang peduli, terlibat, memiliki perilaku yang baik dan cara pandang baru mengenai kesadaran ekologis lewat pertanian dan terus merawat Ibu Bumi. Hal ini ia wujudkan melalui kumpulan puisi berjudul Rona-rona Bunga Bakung, yang terbit pada tahun 2022. Ia mau menegaskan bahwa ada banyak hal sederhana di sekitar kehidupan manusia yang kaya makna dan berharga, seperti bunga bakung yang lebih indah dan bermakna daripada jubah Salomo.

Bagi Pastor Sarmono, kerasulannya melalui gerakan ekologis ini merupakan bagian dari upaya menghadirkan Kerajaan Allah secara nyata dengan ambil bagian dalam keprihatinan masyarakat. Ia berharap agar banyak pihak mendukung usaha para petani untuk dapat mengelola lahan pertanian dengan baik, tetap memelihara lingkungannya sehingga menghasilkan pangan yang sehat. Selain itu, ia pun berharap agar para dehonian muda semakin memiliki kesadaran bahwa pastoral bukan hanya terbatas pada pelayanan sakramental saja, tetapi juga menjadi sakramen keselamatan bagi orang lain,mendatangkan Kerajaan Allah dan menjadi nabi-nabi cinta kasih di manapun berada.

PastorTitus Jatra Kelana (Palembang)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 39, Tahun Ke-78, Minggu, 29 September 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles