HIDUPKATOLIK.COM – PASTOR Paulus Driyan Suwandi SCJ baru saja usai memberkati sebuah Puskesmas di Stasi Tapermai. Dalam perjalanan pelayanan hari raya Natal untuk lima stasi itu, ia ditemani seorang suster, anak asrama, pemuda, dan guru. Dengan sebuah perahu, mereka berniat kembali ke Stasi Aindua.
Saat itu, laut sedang gemuruh, angin kencang dan gelombang. Di muara Aindua, kedua baling-baling mesin perahu tersangkut jaring nelayan. Jaring itu tak kasat mata akibat tertutup amukan ombak.
Segala usaha dikerahkan untuk mengurai jaring dari baling-baling, tapi sia-sia. Perahu tidak stabil. Arus surut air sungai memukul bagian depan perahu. Sedangkan, ombak laut menghantam buritannya. Keadaan kian genting. Sang motoris berteriak, meminta semua penumpang terjun ke laut. Perahu bakal terbalik, lalu karam.
Motoris menyelamatkan suster. Sementara, penumpang lain langsung terjun. Perahu pun terbalik. “Saya, yang tidak bisa berenang, ditarik oleh dua orang ke arah pantai,” tutur pastor, yang sudah lima tahun melayani di Papua ini.
Seorang Bapak Guru, yang menyelamatkan sang pastor, meminta izin untuk kembali berenang ke tengah laut. Ia bermaksud mencari satu penumpang lain yang terseret arus ke tengah laut. Untung tak dapat diraih. Ia ditelan ombak, hilang, dan tidak kembali. Si pemuda, yang ia cari, kembali dengan selamat.
“Tuhan, kami ini ke sini bukan untuk jalan-jalan! Kami melayani umat-Mu di hari Natal nanti. Kalau sampai jenazah Pak Kanis tidak ketemu, saya mau pulang. Saya tidak mau lagi melayani di tempat ini!” teriak Pastor Driyan di bibir pantai. Matanya tajam menghardik laut. Ia menangis.
Berkat bantuan warga lokal, jenazah guru tersebut berhasil ditemukan. “Ternyata Tuhan masih mendengarkan jeritan hati saya. Dia masih menginginkan saya untuk terus bertugas di tempat ini. Jawaban Tuhan inilah yang terus meneguhkan pelayanan saya di sini,” tuturnya memaknai peristiwa nahas di sebuah pesisir pantai Laut Arafuru, pada 22 Desember 2022, pukul 09.00 WIT itu.
Hadir Membawa Hati
Paroki Maria Bintang Laut Kokonao, Keuskupan Timika, terletak di pesisir pantai Laut Arafuru. Semua pelayanan ke stasi-stasi melewati jalur air, lewat sungai dan laut. Perahu fiber menjadi alat transportasi. Waktu tempuh ke stasi sangat bervariasi, antara satu sampai delapan jam. Selebihnya, semua tergantung dari cuaca, gelombang, dan pasang surut air. Terpanggang matahari, diguyur hujan, terdampar menunggu air pasang, dihajar ombak, atau mesin perahu mati di laut, sudah menjadi pengalaman yang biasa.
Semua peristiwa itu justru membuka mata Pastor Driyan, ternyata umat sederhana yang ia layani sungguh mengasihinya. “Akhirnya, saya hanya bisa mengatakan, untuk itulah saya ditahbiskan. Yang bisa saya lakukan adalah berusaha untuk tetap setia dalam karya dan panggilan, melayani dengan total, iklas dengan segala kerendahan hati dan penuh cinta,” imbuhnya.
Pastor Paroki Kokonao, Gabriel K. Tukan SCJ, memiliki pengalaman serupa dengan pastor rekannya itu. Beberapa kali ia mengalami gelombang besar dan badai sehingga perahu rusak dan penuh air. Seluruh peralatan Misa harus dijemur terlebih dahulu. Setelah semua kering, barulah merayakan Ekaristi.
Bagi Pastor Gabriel, yang melayani Papua sejak tahun 2012 itu, keberhasilan pastoral di pedalaman tidak bisa dihitung dengan hasil atau materi. Jika itu yang dilakukan, sebagai misionaris ia bisa stres. Maka, yang bisa ia hayati adalah datang dan hadir dengan membawa hati. Dengan hati yang terbuka, ia belajar untuk berjalan bersama mereka yang sederhana, menerima dan mencintai mereka apa adanya.
“Di tempat inilah saya belajar bersyukur dan menghidupkan harapan. Ketika saya tidak lagi mampu menghidupkan harapan dalam hati, maka akan tampak bahwa seluruh usaha dan karya pelayanan serta persembahan hidup menjadi tidak berarti. Saya yakin, Tuhan akan menjadikan semua indah pada waktunya,” tuturnya memaknai.
Merawat Iman
Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ) wilayah Papua memiliki biara pusat di Kota Timika. Biara Santo Yosep Timika ini sering menjadi tempat singgah bagi para misionaris SCJ yang melayani di pedalaman Keuskupan Timika. Jaraknya sekitar dua jam dengan perahu dari Kokonao. Di kompleks biara ini terdapat sebuah rumah retret. Namanya, Loresa. Ini merupakan akronim dari love, readiness, and sacrifice. Sebuah nama yang mau menandai spirit hati untuk selalu mengasihi, siap sedia, dan rela berkurban.
Berdirinya rumah retret ini berasal dari kerinduan mendiang Uskup Timika, Mgr. John Philip Saklil. Saat itu, Monsinyur melihat pentingnya memiliki semacam Catholic Youth Centre. Gagasan yang ditawarkan kepada SCJ itu disanggupi dengan sangat terbuka. “Pada tahun 2014 mulai dibangun sarana pembinaan. Sesuai dengan gagasan awal, Rumah Retret Loresa memfokuskan diri pada pembinaan iman, mental, dan skill orang muda,” urai sang direktur, Yohanes Haryoto SCJ.
Menurut Pastor Haryoto, keuskupan yang berdiri pada tahun 2004 ini sangat membutuhkan adanya pastoral yang bisa memelihara dan mengokohkan iman umat, sebuah pastoral yang mampu melahirkan agen perubahan. Untuk itu, Rumah Retret Loresa memprioritaskan pastoral keluarga yang berjenjang dan pembinaan orang muda, entah itu dalam bentuk retret atau rekoleksi maupun latihan kepemimpinan. Guru-guru beserta pegiat awam juga menjadi prioritas.
“Untuk pengokohan dasar Gereja lokal, kami juga merintis pastoral panggilan, khususnya untuk orang muda asli Papua,” jelasnya. Mewujudkan komitmen ini, Rumah Retret Loresa bekerja sama dengan aneka pihak. Misalnya, kolaborasi dengan Asrama Kokonao dalam membina dan mengirim anak-anak asli Papua untuk melakukan sekolah lanjut atau menampung mereka yang memiliki arah pada panggilan khusus.
Riam Mahakam
“Saya memulai misi di Long Apari pada 19 Februari 2023. Saat Kongregasi membuka peluang untuk memulai misi di Kalimantan, dan secara khusus di antara Suku Dayak, saya menawarkan diri untuk menjalani misi itu,” kenang Antonius Dwi Putranto SCJ.
Long Apari merupakan kampung paling hulu dari sungai Mahakam, yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Kampung ini didiami oleh sekitar 600 jiwa dari Suku Dayak Aoeheng atau Penihing, yang seluruhnya memeluk agama Katolik. Kampung ini tidak memiliki akses jalan darat. Pelayanan listrik dari negara juga belum masuk. Untuk bepergian ke Kota Samarinda memerlukan waktu tiga hari dengan akses sungai. Biayanya sekitar tiga juta rupiah.
Kampung Long Apari pernah menjadi salah satu pos misi awal setelah Laham, yang menjadi cikal bakal Keuskupan Agung Samarinda. Saat ini, Long Apari merupakan sebuah stasi dari Paroki Santo Paulus, Tiong Ohang. Nama pelindung stasi ini ialah Santo Mikael. Pastor Antonius melayani dengan seorang pastor rekan dan seorang bruder. “Kami mengemban tugas dari Bapa Uskup Agung Samarinda untuk menghidupkan kembali stasi ini menjadi sebuah paroki, terutama dengan menguatkan kembali pondasi iman sebagai orang Katolik,” jelasnya.
Sungai Mahakam merupakan akses utama untuk bisa melayani di Long Apari. Kondisi air yang tidak menentu, berupa riam atau jeram yang berbahaya, sering membuat kehidupan di kampung ini mengalami kesulitan. Harta atau bahkan nyawa sering menjadi taruhan ketika melintasi jalur ini. Efek lain, harga sembako bisa naik puluhan kali lipat.
“Selama menjalani misi di pedalaman Mahakam ini, Tuhan masih selalu melindungi saya dari segala marabahaya,” pungkasnya.
Elis Handoko (Palembang)
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 39, Tahun Ke-78, Minggu, 29 September 2024