web page hit counter
Sabtu, 21 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mencecap Kesederhanaan dan Keheningan di Stadion Bola

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Sekitar sembilan puluhan ribu umat di Stadion Utama dan Stadion Madya GBK turut berdoa dan bernyanyi memuji Tuhan seraya merenungkan nasihat dan ajaran Paus Fransiskus.

Apakah mungkin berdoa di sebuah stadion sepak bola? Bagaimana nyanyian meditatif yang pendek dan diulang-ulang mampu menenangkan puluhan ribu umat dengan sebuah paduan suara kecil? Sanggupkah alat musik sederhana – gitar, recorder, dan oboe –mengiringi madah pujian yang umumnya megah nan ‘grande’? Mengapa harus doa dengan nyanyian Taizé?

Sejumlah pertanyaan lain serupa sempat berdengung dan berseliweran di benak teman-teman yang ambil bagian dalam acara pra-misa dalam rangkaian Perayaan Ekaristi bersama Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta (Kamis 5/9/2024). Semua pertanyaan seperti sirna dan berganti dengan perasaan lega, bahagia, bangga, merinding, penuh syukur, dan tumpukan perasaan lainnya. Semuanya campur aduk!

Stadion umumnya identik dengan lautan penonton, teriakan ataupun sorakan, hingar bingar musik yang memekakkan telinga hingga keributan dan tawuran. Namun demikian, semua keramaian itu mampu ‘disulap’ menjadi suasana yang relatif tenang dan hening oleh sebuah kelompok kecil – 11 orang penyanyi dan pemusik, salah seorang di antaranya jemaat Protestan – dari kelompok Doa dengan Nyanyian Taizé (DNTZ) dari Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Bersama Tim DNTZ tersebut sekitar sembilan puluhan ribu umat di Stadion Utama dan Stadion Madya GBK turut berdoa dan bernyanyi memuji Tuhan seraya merenungkan nasihat dan ajaran Paus Fransiskus.

Doa dengan Nyanyian Taizé umumnya bertempat di kapel, aula kampus/sekolah, atau ruang meditasi milik gereja/komunitas, dengan jadwal bulanan atau dua bulan sekali, atau waktu lain yang disepakati oleh kelompok tertentu. Dengan segala kesederhanaan yang ada, para pemerhati DNTZ melayani segenap umat yang rindu akan doa meditatif menggunakan nyanyian pendek dan diulang-ulang milik komunitas ekumenis Taizé di Prancis Tenggara.

Saat Paus Fransiskus memimpin Perayaan Ekaristi di GBK, Kamis, 5/9/2024.

Beberapa DNTZ diselenggarakan dalam skala yang lebih besar saat bruder Taizé datang dan mengadakan pertemuan di kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Manado. Demikian juga saat diadakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005, Indonesian Youth Day (IYD) 2016, Asian Youth Day (AYD) 2017, dan Doa Ekumenis TOGETHER (2023), para peserta berkesempatan mengalami DNTZ dimana di pusat doa terdapat ‘saat hening’ selama beberapa menit. Saat hening tersebut menjadi saat teduh yang khusus untuk berjumpa dengan Tuhan. Energi yang ditarik dari perjumpaan dalam keheningan itu niscaya akan mampu menggerakkan seseorang untuk bergerak maju dan berani melakukan hal-hal baru dan tindakan konkret yang bermakna.

Baca Juga:  Rayakan 50 Tahun Imamat, Mgr. Petrus Turang: Selama Ada Kelekatan Diri Sendiri, Kita Akan Mengalami Kekecewaan

Apa yang menarik dan menantang dalam DNTZ di acara pra-misa di GBK? Kali ini Tim DNTZ GBK hanya menyanyikan empat lagu – Ubi Caritas, Bless the Lord, Confitemini Domino, dan El Senyor – yang diharapkan mampu membantu segenap umat untuk memasuki suasana doa sehingga nantinya mereka yang hadir akan merasa lebih tenang dan khidmat saat memulai Misa Kudus bersama Bapa Paus.

Hal yang terasa istimewa adalah Komunitas Taizé Prancis memberikan dukungan penuh kepada teman-teman pemerhati DNTZ Indonesia. Selain memberikan izin atas penggunaan lagu-lagu yang digunakan, para bruder juga membantu Tim DNTZ GBK dalam masa persiapan. Salah satunya adalah memberikan dua set solis baru berbahasa Indonesia untuk lagu Bless the Lord dan El Senyor. Tentu saja hal ini disambut dengan sukacita karena solis tersebut menambah koleksi yang sudah ada.

Salah seorang pemain musik pria adalah anggota dari Korps Musik Kepolisian Republik Indonesia membagikan pengalamannya. “Saya sudah biasa tampil di depan publik di level nasional ataupun internasional. Yang membedakan kali ini adalah saya memainkan oboe sebagai seorang umat Katolik yang bermain di hadapan pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Ini benar-benar istimewa karena saya bermain untuk penerus Yesus Kristus, Tuhan saya.”

Setelah Misa Kudus beberapa reaksi yang diterima dari umat mengatakan bahwa DNTZ di GBK terasa ‘berbeda’ dari doa-doa yang pernah mereka ikuti. Mereka menyatakan tidak terbiasa melihat seorang cantor bernyanyi atau musisi yang memainkan musik Taizé sambil berdiri dan masing-masing menggunakan wireless mic. Hal ini menimbulkan kesan seolah- olah Tim DNTZ GBK sedang tampil di sebuah acara show. Namun demikian mereka sadar dan paham bahwa hal tersebut dilakukan karena mungkin ada alasan tertentu. Alasan tersebut tak lain adalah adanya aturan dari Panitia Nasional dan protokol keamanan dari Paspampres yang wajib dipatuhi. Tim DNTZ GBK berusaha keras menemukan titik tengah dengan para pemangku kepentingan tersebut. Apa yang akhirnya terjadi di GBK merupakan semacam kompromi terbaik yang Tim DNTZ GBK dapat lakukan meskipun sangat tidak mudah untuk mencapai kompromi tersebut.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Setidaknya ada dua hal yang dapat dipetik dan kiranya dapat menjadi pelajaran berharga. Pertama, kesederhanaan Paus Fransiskus. Sejak kedatangannya di Indonesia hingga kepulangannya, publik ramai membicarakan pesawat komersil, jam tangan warna hitam,

maupun tempat tinggal Paus Fransiskus di Kedutaan Vatikan selama melakukan kunjungan. Semuanya jauh dari kata mewah. Simplicity at its best!

Kesederhanaan tidaklah menyangkut benda atau materi belaka namun lebih dari itu. Kesederhanaan hendaklah dimaknai secara baru yang mencakup pola pikir, pola rasa, dan pola laku/tindakan. Tentu tidak mudah menggabungkan ketiga pola tersebut. Berita gembiranya adalah kita memiliki figur seperti Paus Fransiskus yang dapat menjadi teladan keselerasan antara gagasan, empati, dan tindakan simpel namun konkret saat menyangkut kesederhanaan.

Bruder Roger, Prior pertama Komunitas Taizé, menulis tentang kesederhanaan dalam beriman. Dikutip dari website Taizé: “Tepat di kedalaman keberadaan diri manusia, terdapat kerinduan akan sebuah kehadiran, keinginan yang tanpa suara akan sebuah persekutuan. Janganlah kita lupa bahwa kerinduan yang sederhana akan Tuhan ini sudah merupakan awal dari iman. …bahwa iman — percaya kepada Allah —  merupakan satu hal yang sangat sederhana, begitu sederhananya sehingga setiap orang dapat menerimanya. Iman senantiasa muncul bergelora di sepanjang kehidupan kita hingga saat kita menghembuskan nafas terakhir.”

Baca Juga:  Mengambil Makna di Balik Kemeriahan HUT Ke-75 RS Brayat Minulya Surakarta

Kedua, menjadi pendengar dan pelaku. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar istilah ‘Actions speak louder than words.’ Atau ‘Easier said than done’. Pepatah pertama

menggambarkan bahwa apa yang dilakukan lebih bermakna daripada sekedar berkata-kata, sedangkan pepatah kedua maknanya lebih mudah mengatakan daripada melakukan.

Memulai khotbahnya, Paus Fransiskus mengatakan seorang umat Tuhan seharusnya menjadi pendengar yang taat terhadap ajaran penciptanya. Selain esensi menjadi umat beragama yang taat, beliau juga kembali menyerukan pesan perdamaian. Paus menekankan pentingnya kasih di antara sesama manusia. Dia menyebut berbuat baik memang tidak selalu berbalas kebaikan. Namun, upaya untuk menjadi aktor perdamaian harus terus dilakukan.

“Saudara dan saudari, saya juga hendak berkata kepada Anda, kepada bangsa ini, kepada Nusantara yang mengagumkan dan beranekaragam ini. Janganlah lelah berlayar dan menebarkan jalamu, janganlah lelah bermimpi dan membangun lagi sebuah peradaban perdamaian. Beranilah selalu untuk memimpikan persaudaraan,” tutur Paus Fransiskus.

Para penyanyi dan pemuzik Taize di GBK. (Dokpri)

Pertanyannya, sudahkah kita mendengarkan dan melakukan Sabda Tuhan? Pilihan yang ada: mengenakan jubah kerohanian yang sempurna secara luar saja atau mengerjakan usaha-usaha yang luar biasa, ataukah secara konkret mulai melakukan nasihat dan ajaran Paus Fransiskus yang ditawarkan Tim DNTZ GBK saat menyanyikan Confitemini Domini: belajar untuk senantiasa rendah hati dan melayani sesama tanpa membeda-bedakan (Khotbah di Casa Santa Marta), menghayati hidup sebagai keluarga yang penuh pengampunan (Seruan Apostolik Amoris Laetitia), tidak membuang makanan karena hal tersebut menghindari mencuri makanan orang-orang miskin (Ensiklik Frateli Tutti), serta melindungi bumi – rumah kita bersama – dan bekerja sama menjaga alam dan lingkungan hidup dengan penuh hormat (Ensiklik Laudato Si’). Let’s continue our journeying together. God bless!

 Yusuf Suharyono 

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 39, Tahun Ke-78, Minggu, 29 September 2024

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles