web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Sinaga: Menjadi Murid Yesus secara Total

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 13 Oktober 2024.Minggu Biasa XXVIII.Keb.7:7-11; Mzm.90:12-13, 14-15, 16-17; Ibr.4:12-13; Mrk.10:17-30 (Mrk.10:17-27)

PAUS Benediktus XVI dalam Ensiklik Deus Caritas Est menulis, «permulaan hidup Kristiani bukanlah keputusan etis atau suatu gagasan besar, melainkan pertemuan dengan suatu peristiwa, seorang pribadi yang memberi kepada hidup kita wawasan baru dan dengan demikian arah yang menentukan.» (DCE no. 1). Menjadi orang kristiani (murid Yesus) itu selalu berawal dari sebuah pengalaman perjumpaan dengan Allah sendiri. Kitab Suci menulis begitu banyak contoh tentang ini. Pengalaman perjumpaan itu tidak hanya menjadi titik awal, tetapi juga menentukan arah hidup kita selanjutnya.

Paus Benediktus XVI

Perikop injil Markus pada perayaan Minggu Biasa XXVIII berbicara mengenai panggilan kemuridan. Perikop ini dibuka dengan kisah perjumpaan Yesus dan seorang pemuda kaya. Secara materi, ia sudah berkecukupan—bahkan mungkin berkelebihan. Namun, ia sadar bahwa kekayaan bukanlah segalanya. Baginya, harta bukanlah garansi untuk mendapatkan hidup kekal. Oleh karena itu, ia datang kepada Yesus, dan sambil berlutut, ia menanyakan kepada Yesus mengenai jalan menuju hidup kekal. «Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?» (Mrk. 10:17), demikian ia membuka dialognya dengan Yesus.

Baca Juga:  Vitamin dan Suplemen untuk Lansia: Apa yang Perlu Diperhatikan?

Sikapnya ini pantas diapresiasi. Ia tidak hanya memikirkan hidupnya di dunia ini, tetapi juga memberi perhatian pada kehidupan di akhirat. Di dunia ini ia sudah memiliki jaminan, tetapi untuk di akhirat belum ada kepastian.

Yesus menyampaikan dua hal menanggapi permohonan pemuda itu. Pertama, penting membangun hidup yang baik dengan sesama sebagaimana diperintahkan Allah. Tapi ini tidak cukup. Maka, kedua, Yesus menantangnya untuk tidak hanya mengikuti hukum Taurat tetapi juga mengikuti Yesus melalui penyangkalan diri yang radikal dan pelayanan kepada orang lain, yakni: ia harus pergi menjual seluruh hartanya, lalu hasil penjualan itu diberikan kepada orang miskin, dan sesudahnya harus kembali utuk mengikuti Yesus. Yesus tidak bermaksud menggertaknya, tetapi justru karena mencintainya. «Yesus memandangnya dan menaruh kasih kepadanya» (Mrk. 10:21).

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Markus kemudian menutup kisah perjumpaan Yesus dan pemuda itu dengan menulis bahwa ia pulang dengan kecewa dan sedih, sebab hartanya banyak. Kata-kata Yesus itu ternyata sangat menyentaknya, terasa «lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun! Firman itu menusuk amat dalam…» (Ibrani 4:12).

Ia tidak menduga dan tidak mengharapkan jawaban seperti itu. Ia belum menangkap kasih Yesus di balik tuntutan-Nya itu, sehingga ia tidak berani mengubah arah hidupnya seturut kehendak Yesus. Ia terkungkung oleh perasaan dan pikirannya akan harta. Padahal, seperti kata Paus Fransiskus, justru dalam perjumpaan dengan kasih Allah itulah kita dapat berkembang dalam suatu persahabatan yang memperkaya dan dibebaskan dari kesempitan dan keterkungkungan diri (Evangelii Gaudium no. 8). Ia belum masuk ke ruang kasih Yesus lebih dalam.

Yesus, Guru yang baik itu, adalah hikmat-kebijaksanaan Allah. Yesus adalah personifikasi sempurna dari kebijaksanaan Allah. Rasul Paulus menulis, «Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah» (1 Kor 1:24). Oleh karena itu, kita mengafirmasi kata-kata Kitab Kebijaksanaan, bahwa kebijaksanaan itu luhur melampaui kekayaan. Nilainya jauh lebih tinggi daripada perak, emas, bahkan permata sekalipun. Ia melampaui kesehatan dan keelokan pribadi.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Pantas jika penulis Kitab Amsal memerintahkan: «kasihilah dia!» (Amsal 4:6). Sebab dengannya budi kita dituntun dalam setiap situasi untuk memahami kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya (Katekismus Gereja Katolik 1806). Orang yang diterangi kebajikan kebijaksanaan akan memilih jalan yang baik dan benar, meskipun disertai tuntutan yang berat. Sejatinya menjadi murid ada dalam totalitasnya di jalan kebaikan dan kebebanaran, yang diikuti kerelaan berkorban untuk menanggung konsekuensinya.

 Menjadi orang kristiani (murid Yesus) itu selalu berawal dari sebuah pengalaman perjumpaan dengan Allah sendiri.”

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 41, Tahun Ke-78, Minggu, 13 Oktober 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles