HIDUPKATOLIK.COM – Pada Rabu (2/10) pagi, suasana mirip dengan Konsili melingkupi Lapangan Santo Petrus. Sebelum dimulainya misa, sebuah prosesi panjang bergerak menuju altar di depan Basilika Santo Petrus yang bersinar di bawah matahari akhir musim panas. Dengan diiringi nyanyian liturgi kuno, para tokoh utama yang akan terlibat selama hampir empat minggu ke depan mendekati Basilika: sekitar 370 pria dan wanita, termasuk 272 uskup, yang berusaha menemukan jalan untuk pembaruan Gereja pada sidang final Sinode Sedunia. Di bawah kanopi putih di altar, duduk seseorang yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana proyek reformasi ini diimplementasikan: Paus Fransiskus.
Kebetulan atau tidak: Misa pembukaan Sinode Uskup Sedunia diadakan pada “Pesta Malaikat Pelindung.” Dalam litani meriah, semua malaikat dan para santo dimohonkan untuk memberikan doa syafaat. Misa yang berlangsung sekitar 90 menit ini diiringi oleh paduan suara dan organ. Sekitar 20.000 orang memenuhi deretan kursi di Lapangan Santo Petrus. Angin kencang sesekali menyertai khotbah di mana Paus Fransiskus mengingatkan pada kelahiran Gereja hampir 2.000 tahun yang lalu, yang diperingati setiap tahun pada hari Pentakosta.
Sinode bukanlah sebuah sidang parlementer
Paus mengajak para peserta, yang sekitar seperdelapannya adalah wanita, untuk bertukar pikiran dengan kerendahan hati dan persahabatan. Para peserta sinode seharusnya tidak menyampaikan pandangan mereka sebagai “agenda,” melainkan sebagai “anugerah” dengan sikap terbuka untuk menyesuaikan sudut pandang mereka sendiri. “Kita harus berhasil menciptakan harmoni dalam keberagaman,” tegas Paus yang berusia 87 tahun itu. Sinode bukanlah sidang parlementer, melainkan tentang mendengarkan dan berdialog dalam kebersamaan, Paus menekankan. Di akhir khotbah selama 15 menit itu, Paus mengajak untuk berdoa dan berpuasa pada Senin (7 Oktober) untuk perdamaian dunia.
Perayaan misa yang khidmat dipimpin oleh Kardinal Jean-Claude Hollerich dari Luksemburg, yang baru saja menyambut Paus di keuskupannya pada Kamis. Kardinal ini dikenal memiliki hubungan kepercayaan yang erat dengan Paus. Untuk Sinode Sedunia dengan tema “Untuk Gereja yang Sinodal: Komunitas, Partisipasi, Misi,” Hollerich (66) dipercayakan oleh Paus dengan peran penting sebagai “Pelapor Umum.” Dalam konsultasi yang akan dimulai pada Rabu sore, ia akan memainkan peran kunci.
Namun, agar pembaruan Gereja benar-benar dimungkinkan, Paus sudah mengadakan upacara tobat pada Selasa malam di Basilika Santo Petrus, di mana Gereja meminta pengampunan atas kesalahannya. Selama acara tersebut, pria dan wanita menceritakan dengan kata-kata yang sangat pribadi tentang penderitaan yang mereka alami. Beberapa kardinal mengakui rasa malu dan rasa bersalah atas nama mereka; selain kekerasan seksual dan penyalahgunaan kekuasaan, disebut juga keterlibatan umat Kristen dalam perusakan lingkungan, kolonialisme, dan perbudakan, serta kegagalan pria-pria di Gereja dalam memperjuangkan martabat wanita. Untuk pertama kalinya, mereka secara terbuka meminta pengampunan dari Tuhan dan umat manusia atas kegagalan Gereja Katolik dalam menangani kasus pelecehan seksual oleh para rohaniwan.
Pembaruan membutuhkan pengampunan
Dalam pidatonya, Paus menekankan bahwa pengakuan dosa pada malam sebelum Sinode Sedunia ini adalah “kesempatan untuk memulihkan kepercayaan dalam Gereja dan kepercayaan pada Gereja yang telah dirusak oleh kesalahan dan dosa kita, untuk menyembuhkan luka-luka yang masih berdarah, dan untuk melepaskan ikatan ketidakadilan.”
Upacara tobat berlangsung dalam suasana yang tenang dan penuh konsentrasi; beberapa hadirin menangis. Uskup Passau, Stefan Oster, salah satu dari lima uskup Jerman yang berpartisipasi dalam Sinode Sedunia, mengaku sangat tersentuh setelahnya. Namun, dia memandang Sinode dengan kegembiraan dan optimisme.
Paus Fransiskus pada Rabu tampak lebih santai daripada malam sebelumnya. Setelah misa, ia menghabiskan waktu sekitar 20 menit mengelilingi Lapangan Santo Petrus dengan mobil Paus. Ia menyapa beberapa peserta Sinode, bercakap-cakap dengan para kardinal, memberi salam, tersenyum, dan beberapa kali memberikan isyarat “acungan jempol.”
Bene Xavier dari Wina, Austria