HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 29 September 2024 Minggu Biasa XXVI. Bil.11:25-29; Mzm.19:8, 10, 12-13, 14; Yak.5:1-6; Mrk.9:38-43, 45, 47-48.
“ALLAH tidak pernah meminta para hamba-Nya untuk melakukan hal yang mustahil. Kasih dan kebaikan-Nya terungkap dan tersedia secara berlimpah. Seperti air, kasih-Nya tercurah atas semua orang. Seturut kehendak-Nya, Allah menganugerahi setiap orang kemampuan untuk melakukan perbuatan baik. Tidak seorang pun dari mereka yang ingin diselamatkan, akan kekurangan kemampuan ini, karena Dia yang berkata, “Siapa saja yang memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.”
Kata-kata bijak dari Santo Gregorius Nissa (330-395 M), dalam bukunya tentang Cara Hidup Orang Kristiani di atas, menegaskan bahwa niat, sikap dan perbuatan yang baik bukan monopoli suatu kelompok tertentu saja. Setiap orang beriman berhak dan wajib untuk melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi sesama sehingga menyenangkan Sang Pencipta. Sekalipun demikian, faktanya, ada sejumlah orang yang tidak suka, sinis, atau iri hati saat melihat orang lain melakukan perbuatan baik. Perasaan semacam itu dapat semakin kuat ketika mengetahui bahwa perbuatan baik itu dilakukan oleh orang yang bukan menjadi bagian dari kelompok, komunitas, atau agama mereka. Akhirnya mereka tidak mampu bersukacita atas perbuatan baik sesama karena tertutup oleh pemikiran sempit dan eksklusif, atau karena terperangkap oleh sikap iri hati.
Dalam Injil Markus tercatat pengalaman serupa. Yohanes, salah satu murid Yesus, tidak senang ketika melihat orang yang bukan pengikut Yesus, melakukan mengusir setan demi nama Yesus, atau dengan menggunakan kuasa Yesus. Tampaknya, murid ini berpikir, siapa saja yang melakukan hal-hal baik dengan otoritas Yesus, harus bergabung terlebih dahulu dengan kelompok Yesus.
Pernyataan Yohanes, “bukan pengikut kita”, seolah-olah mau mengklaim bahwa mereka yang tergabung dalam kelompok Yesus adalah satu-satunya “agen penyalur” rahmat dan kuasa dari Yesus. Namun, tanggapan Yesus cukup menggoncangnya, “Jangan kamu cegah! Sebab, tidak seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku seketika itu juga mengumpat Aku.” Bagi Yesus, orang di luar kelompok Yesus, juga dapat dikategorikan sebagai pengikut Yesus, walau tidak secara resmi menjadi murid Yesus, asalkan melakukan perbuatan baik sesuai ajaran-Nya.
Pada zaman Musa, seperti diceritakan dalam Kitab Bilangan, kasus serupa juga terjadi. Ketika tujuh puluh orang dari para tetua bangsa Israel menerima karunia Roh Allah di Kemah Pertemuan, pada saat yang sama, dua orang yang berada di luar Kemah Pertemuan, yaitu Eldad dan Medad, juga menerima karunia yang sama. Yosua, abdi Musa yang setia, tampaknya agak kesal dengan kejadian ini. Ia meminta kepada Musa supaya menghentikan kedua orang itu dari menerima Roh Allah. Seperti Yesus, Musa menjawab, “Ah, kalau seluruh umat TUHAN menjadi nabi, karena TUHAN memberi Roh-Nya kepada mereka.” Maksudnya, jika Roh Allah dikaruniakan kepada semua umat, tidak hanya terbatas pada 72 tua-tua Israel itu, itu malahan lebih baik.
Dua kisah di atas menghadapkan kita sebagai pengikut Kristus zaman ini pada sebuah pertanyaan ini, “Apakah kita seperti Yohanes dan Yosua yang mudah merasa kesal dan jengkel karena perbuatan baik dan karunia Allah untuk orang lain membuat mereka lebih bersinar dari kita?” Jika jawabannya “iya”, maka akar dari semuanya itu adalah iri hati. Iri hati sering membuat kita bersedih atas apa yang seharusnya membuat kita bersukacita, yaitu kebaikan sesama kita. Iri hati muncul karena cara berpikir yang keliru, yaitu karunia dan kelebihan orang lain akan menjadi ancaman bagi harga diri kita di mata sesama.
Syukurlah bahwa iri hati sebenarnya dapat ditaklukkan dengan menyadari bahwa Allah juga telah menaruh kasih-Nya dalam diri kita melalui karunia Roh Kudus. Roh Kudus-lah yang memurnikan hati kita dan membebaskan kita dari hawa nafsu yang tidak teratur, seperti iri hati dan cemburu atas kebaikan orang lain. Kasih Allah-lah yang membuat kita sepenuhnya berorientasi pada kebaikan tertinggi bagi orang lain. Kasih Allah-lah yang memampukan kita bersukacita karena perbuatan baik yang dilakukan orang lain.
“Iri hati sering membuat kita bersedih atas apa yang seharusnya membuat kita bersukacita.”
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 39, Tahun Ke-78, Minggu, 29 September 2024