HIDUPKATOLIK.COM – JAM sudah menunjukkan pukul 12.47 WIB tatkala saya bersama Pastor Thomas Ferry Suharto OFM, Pastor F.X. Sadono Agung Widodo, SX dan Agatha Budi Astuti memasuki pelataran Gereja St. Maria Diangkat Ke Surga, Katedral Jakarta demi antrean untuk acara Audiensi Bapa Suci Fransiskus dengan Uskup-uskup, imam, suster, diakon, katekis, animator dan seminaris di hari Rabu, 4 September 2024. Wajah-wajah ceria para imam, suster dan sebagian umat awam yang ikut dalam antrean itu menambah selaksa euphoria dalam sanubari menantikan kehadiran Paus Fransiskus di Katedral ini pada 16.30 WIB.
Saat memasuki Katedral seraya memandang ratusan biarawan-biarawati di hadapanku, suasana batinku mulai mengharu-biru dan aura spiritual rumah Tuhan ini semakin mengkristal. Karena di rumah Tuhan ini akan hadir seorang Bapa Suci yang ke-266 dan telah dirindukan kehadirannya sejak 35 tahun yang lalu. Harapan, kerinduan dan keinginan hatiku agar Bapa Paus juga dapat memberkati 3 lukisan mozaikku yang sudah terpajang (berupa potret Paus Paulus VI, St Yohanes Paulus dan Paus Fransiskus) di sela-sela audiensi ini, kian membuat merinding bulu romaku.
Masih ada sekitar 3,5 jam lagi untuk menantikan kedatangan Paus saat aku duduk manis di bangku Zona H yang dekat tembok dan agak ke belakang letaknya. Meskipun, ini bukanlah tempat atau posisi strategis untuk dapat melihat dengan jelas paras Bapa Suci atau mengambil foto beliau, alih-alih menyalami yang mulia ini. Namun aku masih selalu dapat bersyukur kepada Tuhan, bahwa sebagai imam/pastor Xaverian yang mendapat kesempatan emas beraudiensi dengan Paus Fransiskus di dalam Katedral ini, adalah suatu momen penuh rahmat. Dan berkatnya Bapa Suci sarat mukjizat.
Tidak semua imam, biarawan, suster apalagi awam yang menerima undangan khusus dari Panitia Kunjungan Paus untuk dapat hadiri audiensi dan vesper (ibadat sore) bersama Bapa Suci seperti saat ini. Bila aku mengadakan ibadat harian secara pribadi atau komuniter dengan memakai buku ofisi (brevir) di tanganku, aku selalu menambahkan bacaan rohani dari buku saku yang berjudul “Paus Fransiskus: Sepuluh Inspirasi Menghayati Imamat”, karangan James H. Kroeger MM. Meskipun saat audiensi dan vesper di dalam Katedral ini, aku tidak membawa buku brevir yang di dalamnya kuselipkan buku saku tersebut, namun aku selalu teringat akan 10 inspirasi tentang imamat, di antaranya; “Tambatkanlah Imamatmu dalam relasimu dengan Kristus” (I).
Sambil mengingat-ingat dan menghayati poin-poin tentang imamat ini, kurasakan aura spiritual Bapa Suci menghiasi relung-relung hatiku bagaikan lukisan mozaik parasnya yang membayang jelas dalam benakku. Ohh, aku semakin tak sabar menunggu kehadirannya secara fisik di dalam Katedral yang sarat aura spiritualnya ini.
Sejam sebelum dimulainya vesper, pikiranku masih melayang-layang khususnya ke poin IX dan X tentang menghayati imamat itu; yakni “Jadilah sungguh peka terhadap mereka yang terabaikan dan tersingkir” (poin IX); dan “Dalam segala hal, jadilah seorang ‘murid utusan’ yang sejati” (X). Di dalam Katedral yang megah dan indah ini buah-buah pikiran dan refleksi Bapa Suci tentang imamat sungguh menyentuh dan mengena dalam jiwaku; Sebagaimana yang masih kuingat dalam poin IX itu, yakni bahwa Paus Fransiskus dikenal sebagai “uskup kumuh”. Karena ia terbiasa melawat orang yang tersingkir dan terabaikan. Melawat orang miskin dan sekarat ia percayai sebagai pelayanan yang paling kongkret melayani Kristus.
Di dalam Katedral ini seakan-akan hanya Paus Fransiskus dan aku sendiri yang mengadakan audiensi rohani tentang penghayatan imamatku sendiri. Bapa Suci kurasakan kehadirannya face to face di depan hidungku yang tak kuasa aku membendung air mata yang mulai menetes di pipiku tanpa terlihat oleh romo-romo di samping kiri dan kananku. Lalu, beliau seolah-olah membisikkan di telingaku, “Padre, sebagai imam, kita mengenal bersama orang-orang yang terabaikan, orang yang Tuhan selamatkan. Kita mengingatkan diri kita bahwa ada manusia yang tak terhitung jumlahnya yang miskin, tidak berpendidikan, menjadi tahanan, yang menyadari diri mereka dalam situasi semacam itu karena orang lain menindas mereka…”.
Sebagai imam misionaris Xaverian aku merasa diingatkan dan diteguhkan kembali oleh Paus Fransiskus dalam poin-poin refleksinya bahwa kita membutuhkan sebuah “Gereja yang berevangelisasi keluar dari dirinya sendiri”, bukan Gereja yang melulu melihat dirinya sendiri”, dan “hidup dalam dirinya, dari dirinya, dan untuk dirinya sendiri”. Setiap umat Kristiani adalah orang yang diutus sejauh ia mempunyai kasih Allah dalam Yesus Kristus; Kita tidak lagi mengatakan bahwa kita adalah “para murid” dan “orang-orang yang diutus”, melainkan bahwa kita selalu “murid-murid yang diutus”.
Paus Fransiskus, seperti halnya St. Yohanes Paulus II yang pernah hadir di tempat yang sama tahun 1989 tatkala aku masih sebagai frater tingkat II STF Driyarkara, bagiku pribadi merupakan sosok dan tokoh spiritual yang fenomenal. Beliau identik dengan pembaruan Gereja. Beliau menandaskan dirinya sendiri tentang sosok gembala yang berbau domba. Sementara dalam hatiku kupikirkan tadi “gembala yang berbau pizza”.
Di Zona H ini kududuk termenung seraya menantikan dengan sabar kedatangan Bapa Paus Fransiskus. Saat kulukis wajahnya dengan tehnik mozaik, aku mempunyai intensi khusus bahwa sosok Fransiskus adalah seperti mozaik yang terdiri dari selaksa warna-warni aura spiritual dirinya, yang indah dipandang mata. Dan membuat semua orang ingin menjamah dan menyalaminya. Secara spiritual aku mempunyai hubungan dan kedekatan batin dengan Bapa Suci sebagai Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik di dunia, yang hari ini dan di sini hadir secara fisik dengan kerendahan hati dan senyuman yang selalu menghiasi bibirnya.
Dan… lihatlah… ketika Paus memasuki pintu utama Katedral sekitar pukul 16.40 WIB diiringi lagu Arbab menuju altar, hatiku sungguh bergetar. Paus sungguh hadir di depan mataku di Katedral yang beraura spiritual-komunal. Meskipun aku sendiri tak mendapat kesempatan untuk bersalaman dengan seorang Paus Fransiskus, namun aku selalu bahagia bisa menyalami sebanyak-banyaknya orang miskin di pedalaman negara Bangladesh, tempat misi pertamaku sebagai imam Xaverian selama 11 tahun di sana. Aku bersukacita telah menghantarkan ribuan komuni suci di pedalaman Siberut, Mentawai selama sekitar 7 tahun kepada mereka yang lansia, rapuh, sakit dan tak mampu lagi pergi sendiri ke gereja untuk menerima komuni suci.
Di tengah hingar-bingar dan gemuruh seluruh kaum religius menyambut Bapa Suci seraya mengambil posisi yang lebih dekat dan lebih tinggi dari yang lain, mereka berupaya sedapat mungkin mengabadikan momen langka ini di hape mereka masing-masing. Kaum berjubah; yang putih, yang coklat, yang hitam, yang cream; serta yang botak, yang gondrong berbondong-bondong menuju bagian tengah untuk mengambil foto dengan ponsel masing-masing, di mana Bapa Paus Fransiskus lewat dengan kursi rodanya.
Tatkala suara Bapa Suci bergema membuka ibadat vesper dengan Bahasa Latin, “In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti…” , tanganku gemetar memegang buku panduan liturgi Audiensi Bapa Suci Fransiskus. Aku hanya bisa melihat wajah beliau yang tersohor di layar monitor. Sambutan selamat datang dari Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC menegaskan hal betapa cintanya Bapa Suci terhadap umat Katolik dan negara Indonesia tercinta. Pastor Maxi Un Bria (UNIO Indonesia) menyampaikan testimoniumnya dengan menggarisbawahi bahwa kunjungan Paus ke Indonesia merupakan tanda yang nyata akan kehadiran yang ilahi dan membahagiakan. Khususnya kunjungan apostolik Bapa Suci telah menjadi berkat bagi bangsa Indonesia, para imam diosesan, imam dari tarekat-tarekat yang bahu membahu membangun negeri yang pluralis ini. Kesaksian dari seorang katekis perempuan, Ibu Agnes Natalia (44 thn), menandaskan bahwa Bapa Suci sungguh sosok pribadi yang menunjukkan kepedulian yang besar bagi para disabilitas yang adalah indah di mata Allah.
Akhirnya aura spiritual Gereja Katedral mengkristal tatkala Paus Fransiskus memberikan sambutannya dengan mensintesakan kembali secara mendalam makna beriman, bersaudara dan berbela rasa. Suara kenabian Bapa Suci di Gereja Katedral ini telah meninggalkan pesan dan wasiat mendalam pula dalam hidup panggilanku sebagai imam misionaris Xaverian. Grazie mille Santo Padre.
Pastor Antonius Wahyudianto, SX (Rektor Skolastikan SX Cempaka Putih, Jakarta Pusat)