web page hit counter
Jumat, 27 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Palangka Raya Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF: Tidak Sekadar Menjadi Orang Baik

1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 22 September 2024 Minggu Biasa XXV Keb.2:12, 17-20; Mzm.54:3-4,5,6,8; Yak.3:16-4:3; Mrk.9:30-37

DALAM kehidupan sehari-hari, kita menemukan adanya dua pengelompokan orang: yaitu orang  baik dan orang jahat. Orang baik biasanya taat dalam hidup beragama, berperilaku santun, ramah, suka membantu orang lain, tertib dalam menaati aturan, serta membawa kedamaian dan ketenangan.  Sedangkan orang jahat, tidak menjalankan hidup keagamaannya, suka mengganggu orang lain, berlaku tidak sopan, acuh dan bahkan suka mencuri, korupsi, berjudi, minum-minum sampai mabuk.

Sifat kedua kelompok itu saling berlawanan: baik dari segi keagamaan maupun dari segi perilaku moral. Lalu bagaimana Sabda Tuhan memberi pencerahan terhadap kedua kelompok ini? Kitab Kebijaksanaan mempertentangkan keduanya: orang jahat merupakan ganguan bagi orang baik, sehinga perlu dihadang dan ditentang. Orang jahat merasa tertuduh kalau ada pelanggaran hukum. Orang jahat ingin mengetahui, apa orang baik itu anak Allah, dengan melihat apakah Allah menolong orang jahat terhadap serangan para musuhnya (bdk. Keb 2:12.18).

Baca Juga:  Kardinal Suharyo: Tahun Suci 2025, Pembukaan Pintu Suci Hanya Simbol

Perjanjian Baru memberi gambaran tentang kejahatan yang tercermin dalam sifat iri hati, egosime, mementingkan diri sendiri dan menuruti hawa nafsunya, sehingga menimbulkan, pertengkaran, perkelaian, pembunuhan dan akhirnya menyebabkan kekacauan. Sedangkan orang yang berhikmat berperilaku sesuai dengan apa yang ada  dalam hati murni yang membawa kedamaian, keramahan, serta membuahkan pelbagai macam kebaikan.

Orang beriman selayaknya menerima buah-buah kebaikan, yang diakibatkan oleh doa, yang bukan sekadar untuk memuaskan nafsu dan atas keinginan diri saja; tetapi, ia memohon seperti apa yang dikehendaki oleh Allah. Yesus mengajarkan kepada setiap orang beriman untuk tidak sekadar menjadi orang baik dari segi agama dan sekadar hidup mengikuti kaidah-kaidah moral baku saja.

Kebaikan bisa diartikan secara lebih dinamis, yaitu kehidupan beriman yang terus berkembang mengarah kepada kesempurnaan. Kalau mau menjadi yang terdahulu, harus menjadi yang terakhir dari semua pelayan. Bahkan Yesus kemudian mengambil seorang anak kecil, dan bersabda: “Barangsiapa menyambut seorang anak kecil ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku” (Mrk 9:37).

Baca Juga:  Benarkah Misa Natal Saja Belum Cukup?

Apa yang sebenarnya menjadi “keistimewaan” seorang anak kecil dalam kaitan dengan kebijaksanaan untuk menentukan yang baik dan yang jahat dalam pandangan hidup orang beriman? Kiranya ada beberapa sifat dasar dan kebaikan anak kecil yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dan pelajaran untuk orang dewasa. Pada umumnya, anak kecil bersifat dan bersikap polos. Mereka mengungkapkan kejujuran. Apa adanya. Apa yang dipikirkan dan diinginkan itu persis seperti apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Itulah cerminan dari kerendahan hatinya.

Sekaligus anak-anak kelihatan selalu ceria, tanpa beban karena memang memiliki kepercayaan kepada orang tua dan keluarganya. Dalam pergaulan dengan anak-anak lain, mereka bisa saling cepat akrab tanpa memperhatikan perbedaan. Mereka malah suka berbagi, tidak ada sikap egois. Setiap orang beriman haruslah bersikap seperti anak kecil baik dalam hubungannya dengan Allah, yaitu berani merasa apa adanya, dan mau bergantung sepenuhnya kepada kehendak Allah.

Baca Juga:  MENONTON NATAL DI TEPI JALAN

Iman akan Allah justru menjadikan kita akan memilih yang baik seperti yang dikehendaki-Nya, dan berusaha bertindak baik terhadap sesama. Karya Roh Kudus menjadi semakin nyata dan bimbingan-Nya bisa ditangkap dan dinyatakan dalam pengungkapan dan pengamalan iman pribadinya.

Di tempat Ibadat seperti di dalam Gereja, orang beriman mendengarkan Sabda Tuhan.  Sekaligus, ia bisa merayakan kebersamaan untuk saling mengampuni dan memberi Salam Damai dengan puncaknya kebersamaan dan kesatuan dengan Allah itu terlaksana ketika ia ikut ambil bagian dalam menerima dan menyantap Tubuh Kristus dalam Ekaristi.

Pada akhirnya, Perayaan Ekaristi itu ditutup dengan Pengutusan untuk mewartakan kebaikan Allah dan dan bermisi untuk mewartakan karya keselamatan-Nya,  kepada orang-orang di sekitarnya, baik di tempat tinggal, tempat kerja, dan di mana pun orang beriman diutus.

 Kebaikan bisa diartikan secara lebih dinamis yaitu, kehidupan beriman yang terus berkembang.”

Majalah HIDUP, Edisi No. 38, Tahun Ke-78, Minggu, 22 September 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles