web page hit counter
Kamis, 19 September 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Paus Fransiskus di Singapura: Jangan Terpukau oleh Kemegahan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Singapura tentu berbeda dengan Indonesia, pun dengan Papua Nugini dan Timor Leste.  Negara kecil tersebut mempunyai tingkat kemakmuran yang tinggi, tingkat pendidikan yang amat baik dan korupsi yang rendah. Kardinal Pietro Parolin, sekretaria negara Vatikan, menggambarkan Singapura sebagai negara pulau yang terbuka, berwajah multikultural dan beragam tradisi yang dapat hidup bersama dengan damai.  Umat Katolik di Singapura dicatat sekitar 395.000 jiwa, sekitar 3% dari jumlah penduduk, namun memiliki   Gereja yang hidup dan dinamis. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kemakmuran dan iman, juga persoalan pendampingan bagi kaum muda. Maka Gereja pun cukup banyak berkarya di bidang pendidikan dan karya-karya sosial.

Umat Singapura dengan antusias menyambut Bapa Suci.

Paus Fransiskus mengakui bahwa memandang Singapura akan menemukan jajaran bangunan-bangunan tinggi menjulang, yang menggambarkan kerja keras dan usaha manusia, dalam segala ketekunan maupun kecerdasaannya. Namun di tengah semua itu Paus mengingatkan akan bagaimana membangun keadilan sosial dan kesejahteraan umum, dengan antara lagi berbagai kebijakan publik terkait dengan perumahan, pendidikan dan kesehatan, agar semua warga mendapatkan manfaat dari kemajuan yang ada. Tanpa itu kemakmuran akan bisa berdampai pada penyingkiran mereka yang berada di pinggiran, karena mereka tidak sangat mendapatkan manfaat dari kemajuan tingkat kemakmuran. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang mendukung mereka yang rentan, miskin, tua dan pekerja migran perlu mendapatkan perhatian sungguh. Dia mengatakan ini di depan para pejabat pemerintahan dan politisi.

Keseimbangan perlu dijaga, juga keseimbangan antara berbagai unsur dan kelompok yang berbeda. Keseimbangan ini bicara tentang masa depan yang sehat serta berkelanjutan. Maka Paus bicara juga soal krisis ekologi, yang dampaknya bisa dirasakan oleh negara pulau seperti Singapura, juga akan perkembangan teknologi yang berbasis kecerdasan buatan, di tengah arus budaya digital ini. Relasi antar pribadi manusia jauh lebih penting daripada relasi virtual. Maka bagaimana tetap membangun saling pengertian dan solidaritas satu sama lain, jangan mengisolasikan diri, yang bisa membahayakan diri karena terjebak dalam realitas yang imajinatif dan tak berwujud nyata. Paus kemudian bicara tentang pentingnya menata kehidupan keluarga, di mana kita dapat belajar saling berinteraksi dan saling mencintai satu sama lain.

Presiden Singapura Tharman Shanmugaratnam menyambut Paus Fransiskus di Singapura.

Tidak mengherankanlah kalau Fransiskus dalam homilinya mengingatkan agar kita tidak mudah terpukau oleh kemegahan, tergiur begitu saja oleh uang, lebih terkagum pada bangunan-bangunan tinggi serta terlalu mengandalkan kemampuan-kemampuan tehnis. Ada sesuatu yang jauh lebih mendasar daripada semua itu, yaitu kasih. Kasihlah yang membangun, bukan terutama uang atau kemegahan fisik dan material. Dia mengingatkan bahwa di balik segala kemegahan dan kebesaran itu ada kerapuhan, dan kerapuhan tersebut ada terlebih karena tiadanya tatanan bangunan kasih yang melandasi pribadi maupun kehidupan bersama. Tanpa kasih, segala yang lain bukanlah apa-apa, tak berarti sama sekali. Kasih mengatasi kebencian, solidaritas melampaui ketidakpedulian, kemurahan hati menghalau keberpusatan diri. Tanpa itu kita bisa membangun kemegahan namun bisa kosong, tanpa isi.

Tidak mengherankanlah kalau Paus Fransiskus mengajak umat untuk menemukan dan menyingkatkan berbagai kisah kasih satu sama lain, di dalam berbagai kehidupannya nyata, terlebih dalam keluarga dan komunitas lintas etnis dan kepercayaan, kisah belaskasihan antar warga, dalam berbagai lingkup masyarakat dan keterlibatannya. Dimaksudkan dengannya agar kita pun sadar bahwa tidak ada sesuatu yang abadi dan berkelanjutan kalau tidak lahir dan tumbuh dari kasih. Dan di situlah kita semua menemukan bangunan kokoh bagi kehidupan bersama, bagi proses serta gerak kemajuan dan pertumbuhan kesejahteraan.  Fransiskus kemudian mengutip homili Paus Yohanes Paulus II saat berkunjung di Singapura, 20 November 1986, kasih ditandai dengan rasa hormat mendalam akan semua orang, tanpa mempedulikan ras, kepercayaan serta segala hal yang membedakan satu sama lain.

Maka hendaklah kita jangan terlalu terpukau oleh kemegahan dan terkagum-kagum oleh kebesaran, akan tetapi merasakan serta mengalami keterpukauan akan tumbuhnya kasih satu sama lain, dalam rasa hormat dan penghargaan satu sama lain, di mana keberagaman dibangun berlandaskan solidaritas. Kita semua, pribadi manusia ciptaan Allah, yang bisa saling mengasihi satu sama lain, itulah investasi yang paling menguntungkan, bukan bangunan tinggi dan berbagai upaya profit lainnya.  Menginvestasikan diri dengan kasih, itulan undangannya.

Paus menyapa umat Singapura sebelum Misa di National Stadium (12/9/2024)

Dalam pertemuan dengan kaum muda yang terlibat dalam dialog lintas agama, Paus kemudian mengingatkan akan tiga hal: kritik dari ruang tertutup, zona nyaman dan teknologi. Kritik tanpa bersentuhan dengan realitas nyata bisa tanpa batas, namun bisa destruktif, karena tanpa dialog. Maka kita, terutama kaum muda, diajak untuk keluar dari zona nyaman diri dan kelompoknya, memenuhi dirinya dengan gagasan, tapi takut keluar untuk ambil resiko. Memang kesalahan bisa dibuat, akan kesalahan paling parah adalah kesalahan yang dibuat karena tidak berbuat apa-apa, takut ambil resiko tanpa membuat kesalahan. Penggunaan teknologi media pun dikatakan Paus jangan sampai menjebak dan menjerat, sehingga orang menutup diri dan terkukung di dalamnya, tanpa mau membangun perjumpaan. Kita semua terbatas, namun keterbatasan kita akan bisa lebih kita hadapi dan atasi kalau kita mau keluar dan menjalin dialog.

Paus Fransiskus dengan demikian mengingatkan kita akan apa yang paling mendasar dalam hidup kita. Kita mudah terjebak dalam kultur kekaguman dan tontonan, jebakan budaya tepuk tangan. Kita diajak masuk ke dalam, hidup dalam kasih persaudaraan dengan kepedulian akan sesama, terlebih mereka yang lemah.

T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Semarang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles