web page hit counter
Kamis, 19 September 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ketua LBI, Pastor Albertus Purnomo, OFM: Menderita seperti Mesias

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 15 September 2024 Hari Minggu Biasa XXIV. Yes.50:5-9a; Mzm.116:1-2, 3-4, 5-6, 8-9; Yak.2:14-18; Mrk.8:27-35

 “JIKA memang ada makna dalam kehidupan, maka pasti ada makna dalam penderitaan. Penderitaan adalah bagian yang tidak dapat dihilangkan dari kehidupan, bahkan seperti takdir dan kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, kehidupan manusia tidak akan lengkap.”

Perkataan Viktor E. Frankl, seorang neurolog dan psikiater Austria serta korban Holocaust yang selamat, dalam bukunya Man’s Search for Meaning ini menegaskan, penderitaan bukanlah kenyataan yang harus ditolak. Penderitaan akan ditolak bagi mereka yang hanya mendewakan satu sisi kehidupan, yaitu kenyamanan, kegembiraan, dan kemakmuran. Bagi mereka yang mencari makna kehidupan, penderitaan hanyalah sisi lain dari kehidupan yang tidak perlu ditakuti secara berlebihan.

Hampir semua tulisan Perjanjian Baru menyinggung penderitaan, teristimewa penderitaan Yesus yang memuncak pada kematian-Nya di salib. Injil Markus (8:27-35) menceritakan bahwa Yesus meramalkan diri-Nya akan menanggung banyak penderitaan. Dikisahkan, Yesus sedang menguji sejauh mana pemahaman para murid tentang identitas diri-Nya. Menurut mereka, banyak orang memahami Yesus sebagai nabi. Mungkin, karena mereka menyaksikan bagaimana Yesus melakukan karya mukjizat dan pengajaran yang menginspirasi, sebagaimana dilakukan oleh para nabi zaman dahulu. Tetapi, pendapat yang berbeda ditemukan dari para murid-Nya, yang praktis setiap hari hidup bersama dengan Yesus.

Petrus, yang tentunya mewakili para murid, menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. “Mesias” atau dalam bahasa Yunani “Kristus”, adalah sebuah gelar ilahi, yang berarti “Dia yang diurapi.” Gelar ini menunjuk pada orang yang dipilih, dikhususkan, dan diperlengkapi oleh Allah untuk sebuah misi. Kebersamaan dengan Yesus rupanya telah membuat para murid dapat memahami identitas Yesus yang sejati, yaitu seorang Mesias.

Meski demikian, pemahaman tentang Mesias versi para murid ternyata masih jauh dari harapan Yesus. Ketika Yesus menyatakan, bahwa Mesias, yang juga memiliki gelar Anak Manusia, itu harus menanggung banyak penderitaan, ditolak oleh para pemimpin agama dan masyarakat, dan akhirnya dibunuh, Petrus dan para murid lainnya tidak bisa menerimanya. Bagi mereka, Mesias adalah sosok pemenang, bukan sosok yang dikalahkan. Ketidakmengertian para murid ini sampai membuat Yesus marah dan mengucapkan kata yang keras “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mrk. 8:33)

Pernyataan Yesus bahwa “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan” (Mrk. 8:31) juga sulit dipahami oleh orang Yahudi pada waktu itu. Dia yang mendapat gelar “Anak Manusia” tidak mungkin menderita. Sebab, dalam pandangan tradisional, Anak Manusia adalah gelar untuk figur ilahi, entah malaikat atau utusan Allah (bdk. Dan. 7:13) yang akan mengembalikan kekacauan dan penderitaan di dunia menjadi keharmonisan dan kesejahteraan.

Anak Manusia sejatinya adalah seorang penyelamat, seorang Mesias yang pada akhirnya menjadi pemenang dalam setiap karyanya. Karena itu, di dalam benak para murid Yesus, adalah absurd, tidak masuk akal, jika Anak Manusia justru mengalami penderitaan dan menjadi pecundang.

Bagi kita pengikut Kristus di zaman ini, kisah ini menyadarkan bahwa penderitaan dalam berbagai bentuk dan levelnya harus berani kita tanggung. Jika Yesus, Mesias kita, berani menanggungnya, mengapa kita, para murid-Nya tidak berani untuk menanggungnya? Pasti selalu ada makna dan sisi positif di balik penderitaan. Nyatanya, ketabahan dan kepasrahan Yesus dalam menanggung penderitaan menghasilkan buah positif dan mulia, yaitu kebangkitan dari kematian. Bukankah ini sebuah kemenangan juga?

Setiap orang kiranya akan menemukan makna penderitaannya masing-masing, tergantung dari pengalaman dan kesadarannya. Akan tetapi, bagi orang beriman, ketika penderitaan dan pengalaman pahit datang tanpa diundang, dan mungkin belum siap menerimanya, keterhubungan dengan Allah akan dibangkitkan dan dikuatkan secara otomatis. Paling tidak, orang akan berseru seperti seruan sosok Hamba TUHAN yang menderita dalam kitab nabi Yesaya “Sesungguhnya, Tuhan Allah menolong aku; siapakah yang berani menyatakan aku bersalah?” (Yes. 50:9a). Bukankah ini sebuah kemenangan juga?

 “Ketika penderitaan dan pengalaman pahit datang tanpa diundang keterhubungan dengan Allah akan dibangkitkan dan dikuatkan secara otomatis.”

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 37, Tahun Ke-78, Minggu, 15 September 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles