HIDUPKATOLIK.COM – Paus Fransiskus senang menggambarkan diri sebagai Paus kaum dan kawasan pinggiran (pope of peripheries). Papua Nugini menjadi salah satu perhatian Paus terkait ini: kesenjangan sosial, kemiskinan, korupsi, perusakan lingkungan maupun pertikaian antar suku mewarnai.
Timor Leste, disebut Kardinal Pietro Parolin, sekretaris negara Vatikan, sebagai negara yang menyimpan sejarah luka dan penderitaan, sehingga kemerdekaan sebagai negeri digambarkannya sebagai suatu ‘mukjijat’. Negara ini pun masih berjuang mengatasi persoalan kemiskinan, kesenjangan dan perjuangan proses pembangunan negara. Benar, keadilan dan perdamaian merupakan suatu bangunan yang rapuh, mudah retak, maka kedatangan Paus juga membawa pesan bagi perjuangan mengatasi luka dan derita menuju pada harapan masa depan.
Bila kemiskinan menerpa berbagai persoalan menyertai, demikian pula lebarnya kesenjangan sosial. Kriminilitas, kekerasan, kelaparan, bahkan juga penggunaan minuman keras. Itulah yang dihadapi. Akan tetapi, baik di Papua Nugini maupun saat memulai kunjungan di Timor Leste, Paus mendorong langkah pemulihan dan memulai awal yang baru. Di Dili, Paus menyebut terkait ini soal rekonsiliasi yang terus dibangun dengan Indonesia.
Di Papua Nugini dia menyinggung soal potensi perpecahan di tengah masyarakat beragam suku dan budaya di Papua Nugini, dengan mengajak mereka bergandengan tangan, bukan menyingkirkan dan memecahbelah. Songsong masa depan dengan senyum penuh harapan, demikian Paus memesankan kepada kaum muda Papua Nugini. Di Dili pun, dia memuji rakyat Timor Leste yang teguh dalam harapan, meniti jembatan rekonsiliasi.
Dalam tradisi teologi adalah ungkapan memoria passionis. Kenyataan kehidupan senantiasa memuat kisah dan pengalaman derita. Kenyataan itu janganlah dibuang apalagi dilupakan. Sejarah keselamatan senantiasa menyediakan kisah tentang pembebasan, dan karenanya umat diajak untuk selalu mengingat masa atau saat derita, situasi keterpurukan serta realitas ketertindasan, untuk kemudian melihat bagaimana tangan Tuhan menyertai dalam langkah atau proses pembebasan.
Kenangan akan derita yang dialami masyarakat Papua Nugini dan Timor Leste jangan dilupakan, tidak saja agar kita tidak terjerumus dalam pengalaman yang sama namun agar semakin menyadari akan pengalaman pembebasan dan pemerdekaan. Tradisi Kristiani pun selalu menyimpan dan mengingat pengalaman derita (memoria passionis) Yesus, yang dengan masuk ke dalam pengalaman derita pengosongan diri, mengalami kebangkitan.
Setelah selama kurang lebih seperempat abad konflik, Timor Leste bangkit memulai era baru, memperjuangkan kedamaian dan kebebasan, demikian dikatakan Paus di Dili. Memurnikan ingatan untuk membalut luka perlu terus dilakukan, agar dapat semakin tumbuh budaya damai.
Bagaimana yang pinggiran dibawa ke pusat, demikian gambaran dari kunjungan apostolik Paus. Maka Paus pun berkunjung ke Vanimo dan desa terpencil Baro, menyapa umat setempat dan misionaris yang tekun dan setia berkarya di sana. Kawasan itu langka air bersih, listrik dan ketersediaan obat-obatan.
Namun wilayah itu lekat dengan eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan multinasional serta konflik antar suku. Situasi yang dihadapi agak mirip dengan penggambaran akan misi di kalangan kaum Indian di Amerika Latin, sebagaimana digambarkan dalam film The Mission.
Maka Paus pun mengunjungi daerah pinggiran tersebut agar mereka tidak dilupakan, dan perjuangan mereka dikenali, sehingga keterhubungan dengan kawasan-kawasan lain bisa terjalin dan terwujud semangat saling peduli dan saling membantu.
Kunjungan Paus ke Timor Leste memang bukan yang pertama kali. Pada 12 Oktober 1989, Yohanes Paulus II pernah berkunjung ke Timor Timur (nama waktu itu), saat masih berada sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Kunjungan Paus saat itu oleh Roberto Tucci, kepala protokol Vatikan, yang mengatur perjalanan Paus, dipandang sebagai kunjungan pelik, karena menghadapi kepentingan yang saling bertolak-belakang, kepentingan pemerintah Indonesia dan kepentingan rakyat setempat yang mendambakan keadilan dan menjeritkan penderitaan.
Namun dikatakan kunjungan Yohanes Paulus II berhasil membuka mata dunia akan apa yang terjadi di Timor Timur saat itu. Timor Leste sendiri dikatakan sebagai negara dengan prosentase populasi Katolik terbesar, setelah Vatikan, 95% umat Katolik dari keseluruhan warga negara.
Bagimana iman menjadi bagian dari budaya setempat, itulah yang menjadi pokok refleksi dari kunjungan ke Timor Leste. Dengan tema ini Gereja ingin terus menjadi bagian dari pergulatan masyarakat setempat, sebagaimana telah diperlihatkan saat masa-masa pergolakan.
Pada tanggal 20 Mei 2022, Presiden Ramos Horta mengumumkan untuk memasukkan deklarasi Abu Dhabi, yang ditandatangi oleh Paus Fransiskus dan imam besar Al-Azhar Mesir, Ahmad al-Tayyeb sebagai bagian dari dokumen nasional. Langkah ini kemudian disertai dengan mencoba mengaplikasikan pesan dari deklarasi tersebut ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.
Antara isi dari deklarasi Abu Dhabi dengan konstitusi negara ada kesamaan isi dan pesan, demikian dikatakan Ramos Horta. Maka mengadopsi deklarasi tersebut dalam gerak berbangsa dan bernegara menjadi sarana bantu yang mendasar bagi terbangunnya proses rekonsiliasi dan pengampunan. Rekonsiliasi sebagai bangsa dengan tetangga tidak bisa dilepaskan dari gerak membangun persaudaraan. Timor Leste ingin memberikan kesaksian akan rekonsiliasi dan perdamaian, itulah budaya iman yang dipahami sebagai misi Gereja di sana.
Ingatan akan luka dan derita, pengalaman hidup yang pahit bisa membawa orang kepada kecemasan dan ketakutan dalam menyongsong masa depan. Konflik bisa lebih mudah terjadi, apalagi kalau kemudian unsur dari luar dengan kepentingan ekonominya ikut bermain. Maka kehadiran Paus, yang memuji juga adaptasi deklarasi Abu Dhabi di Timor Leste, hendak meneguhkan perjalanan umat dan rakyat Timor Leste menyongsong harapan baru masa depan.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah