HIDUPKATOLIK.COM – Di akhir sebelum berkat penutup Ekaristi di Stadion Gelora Bung Karno, Paus Fransiskus memberi dorongan: jangan pernah lelah menabur harapan. Harapan memang adalah tanda iman, apalagi jika harapan tersebut diwujudkan dalam kasih. Pewujudan kasih yang diharapkan secara khusus ditandakan di Indonesia adalah kasih akan persaudaraan. Ketiga hal tersebut kita butuhkan untuk membangun rumah kemanusiaan, menjaga rumah kita bersama.
Ketiga berkunjung ke Mesjid Istiqlal, Paus menyatakan tentang dialog, saling menghargai dan hidup bersama dalam keselarasan di tengah berbagai keberagaman yang ada sebagai kondisi bagi terbangunnya masyarakat yang damai, keluar dari kepicikan serta kesempitan diri. Dia lalu memapaki simbol dari terowongan persahabatan yang menghubungan Gereja Katedral dengan Mesjid Istiqlal. Memang begitulah adanya, segala hal yang menghubungkan satu sama lain perlu selalu dibangun, sehingga budaya perjumpaan dapat diwujudnyatakan.
Fransiskus mengajukan dua hal bagi terwujudnya tatanan hidup yang ditandai dengan kesatuan dan keselarasan. Pertama adalah senantiasa memandang ke kedalaman. Hal ini selaras dengan bacaan Injil dalam Ekaristi, ajakan untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam. Untuk menemukan apa yang menyatukan di tengah perbedaan, apa yang menjadi kehendak Allah di tengah keberagaman kita perlu mendengarkan sehingga melihat jalan menuju pada Allah yang menyatukan itu. Langkah kedua adalah menjaga ikatan yang mempersatukan itu. Bagaikan terowongan penghubung itu, kita diajak menjaga apa yang mempersatukan, apa yang menghubungkan, memperjuangkan apa yang menjadi tujuan bersama: membela martabat pribadi, mengentaskan kemiskinan serta mengupayakan perdamaian. Mengupayakan keselarasan hidup sebagai umat beriman bagi kemanusiaan, itulah jalan yang musti kita tempuh, demikian Paus mengatakan.
Demi menjaga itu semua kita bersama perlu terus menanggapi berbagai hal yang bisa mengancam masa depan kemanusiaan kita, terlebih dengan melawan budaya kekerasan dan ketidakpedulian, manipulasi agama serta krisis lingkungan. Hal-hal ini menjadi bagian dari deklarasi Istiqlal yang ditandatangani Paus Fransiskus bersama imam besar Istiqlal, Nasaruddin Umar. Menarik kalau dua pokok penting dari deklarasi itu, yaitu dehumanisasi dan kerusakan lingkungan, kita tempatkan dalam persoalan tawaran tambang bagi lembaga agama dan berbagai konflik serta kekerasan yang masih terus berlangsung di berbagai belahan negeri, akibat kita kurang sanggup berdialog dan menerima perbedaan, misalnya saja di Papua maupun di berbagai tempat di mana ada konflik agraria dan kerusakan lingkungan akibat ekspansi tambang yang ekstraktif. Negeri yang kaya ini akhirnya malahan memiskinkan kita, karena ketidaksanggupan menjaganya, demikian peringatan Paus di Istiqlal.
Kita perlu menjadi pejuang kasih, penggiat kemanusiaan dan mercusuar harapan, untuk menjaga dan mengembangkan harta kekayaan yang kita miliki bersama ini. Paus Fransiskus mengatakan ini saat bertemu dengan mereka yang mendapatkan dukungan dari berbagai karya amal Gereja. Pribadi manusia, terlebih mereka yang membutuhkan, adalah harta berharga yang dimiliki Gereja, hal itu sudah diperlihatkan sejak awal keberadaan Gereja. Yang terpenting akhirnya adalah kasih (lih 1 Kor 13:13). Betapapun kita sering gagal untuk itu, namun Tuhan selalu mengasihi kita. Kasih adalah kriteria dasar.
Keberanian menatap pengalaman kegagalan dan keterbatasan disinggung Paus dalam homili misa di Gelora Bung Karno. Kita diharapkan tidak menjadi tawanan dalam kegagalan kita atau bengong menatap jala yang kosong, mengacu pada kisah panggilan Patrus dan kawan-kawannya (lih Luk 5:1-11). Secara kebetulan liturgi tanggal 5 September adalah pula peringatan St Teresa dari Calcutta, yang dikenal sebagai orang suci yang mengalami pengalaman panjang dan berat akan kesepian dan kekosongan. Ibu Teresa bagi Paus Fransiskus adalah orang suci yang mau mengosongkan diri, merendahkan diri, agar dapat menjumpai sesama yang mengalami kegelapan, walau untuk itu dia sendiri harus masuk ke dalam lorong kegelapan tersebut. Dalam homili tersebut Paus lalu mengutip Ibu Teresa, “Kalau kita tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan, berikanlah ketiadaan itu; kalau kita tidak menunai apa-apa, jangan pernah lelah menabur.
Pengalaman Petrus memperlihatkan hal itu. Betapapun semalam-malaman tidak mendapatkan apa-apa, namun dia mau mendengarkan Tuhan yang memintanya bertolak ke tempat yang lebih dalam, menebarkan jala. Mendengarkan sabda, dilanjutkan dengan melaksanakannya, itulah sikap pencari kebenaran. Tidak cukup berhenti pada gagasan, tetapi mau bergerak dan berbuat, mau ambil resiko. Maka Paus pun mengajak umat Katolik untuk jangan lelah menebarkan jala, jangan lelah bermimpi, membangun peradaban damai, bermimpi bagi persaudaraan.
Hidup iman kita mulai tumbuh kalau kita dengan rendah hati membiarkan Yesus naik dalam perahu kehidupan kita, menyediakan ruang bagi-Nya, mendengarkan sabda-Nya serta membiarkan diri kita ditantang, diguncangkannya dan diubah oleh-Nya. Kita pun, demikian Paus menjelaskan, kita belajar menaruh kepercayaan akan Yesus, sebagaimana pengalaman Petrus, kalau kita dengan berani melemparkan jala Injil ke dalam bentangan lautan dunia. Kita perlu memeluk kemanusiaan dan iman Petrus, yang menaati panggilan Tuhan betapapun telah mengalami malam kegagalan serta kekecewaan. Untuk itu kita perlu tekun dan setia dalam hal-hal yang biasa, tidak mengenakan jubah kebesaran yang penuh kebohongan. Menjadi biasa dan sederhana, menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati.
Maka tantang Paus: teruslah berlayar, tetaplah melemparkan jala, janganlah lelah untuk bermimpi, mimpi ajan budaya perdamaian, mimpi akan persaudaraan. Di tengah kekayaan hidup di negeri ini, janganlah kita memiskinkan diri, karena kepentingan diri. Pesan Paus bagi kita: tetap berani bermimpi dan keluar dari diri sendiri untuk berbagi bagi sesama; hati mencintai, tangan melayani!
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah