HIDUPKATOLIK.COM – Begitu Paus Fransiskus mendarat di Jakarta, sorotan orang langsung tertuju pada mobil yang dikendarainya, dari bandara menuju ke kedutaan Vatikan, bahkan juga dalam perjalanannya selama kunjungan Paus di Indonesia. Innova zenix, mobil sesuai yang dipakai orang Indonesia pada umumnya, demikian dikatakan.
Banyak orang heran dan terkagum-kagum, juga saudara-saudari yang bukan Katolik. Cukup banyak yang lalu membandingkan dengan mobil-mobil yang dipakai oleh para pemimpin negeri ini, bahkan para pemimpin agama. Bila demikian, peristiwa mobil Paus tersebut bisa merupakan pukulan dan kesaksian profetis, mungkin juga bagi kalangan kita, orang Katolik dan para pemimpinnya. Memang mobil yang dikendarai Paus sebelumnya relatif lebih mewah, besar dan memenuhi standart jabatannya.
Pope mobile, demikian dikatakan tentang mobil yang dikendarai Paus. Ada mobil terbuka kalau Paus Fransiskus berkeliling di lapangan Santo Petrus, namun ada mobil kecil bahkan mungkin bisa dikatakan mini, biasanya Fiat 500 L atau Ford focus, yang dipakai Paus Fransiskus kalau melakukan perjalanan ke tempat lain.
Bahkan pernah Paus mendapatkan hadiah dari seorang imam mobil Renault 4 tahun 1984, Saat berkunjung ke Korea Selatan tahun 2014, Paus mengenakan Kia Soul. Pada saat berkunjung ke Amerika Serikat, orang sering mengkontraskan mobil Paus dengan mobil-mobil besar dan kokoh dari barisan pengawal perjalanan, terutama dari secret service pemerintah Amerika.
Akan tetapi kalau kita melihat gaya hidup Paus Fransiskus kita tidak akan heran dengan pilihan yang dibuatnya. Selama menjadi Uskup di Buenos Aires Argentina, Bergoglio memilih tinggal di apartemen biasa dan bukan di wisma uskup, dan setiap hari naik kendaraan umum dari apartemennya ke kantor keuskupan.
Malahan tidak jarang, dia melakukan kunjungan pastoral dengan menaiki transport publik, apalagi dia sering mengunjungi umat di kampung-kampung kumuh. Hari setelah terpilihnya menjadi Paus, Fransiskus menaiki mini bus menuju ke penginapannya selama masa konklaf untuk mengambil barang-barangnya, malahan kemudian mengeluarkan uang membayar biaya penginapannya.
Beberapa kali dia memang melakukan perjalanan bersama dengan para kardinal dan staf kuria Vatikan dengan bersama-sama mengendarai bis. Malahan mudah kita temukan foto atau kisah tentang Paus yang bisa tiba-tiba berhenti di tengah jalan, saat melakukan perjalanan ke suatu tempat, untuk menyapa mereka yang sakit atau pun anak-anak yang berjajar di tempat yang dilaluinya.
Sebagai Paus, Fransiskus pun tidak tinggal di wisma kepausan, yang menurutnya terlalu besar dan mewah. Dia memilih tinggal di apartemen Santa Marta lantai 2. Apartemen tersebut biasanya ditempati oleh para tamu atau juga beberapa pejabat Vatikan. Ruang kerjanya pun sederhana, tanpa banyak aksesori.
Dia mengatakan ingin tetap dekat dengan orang, tidak suka kalau terpisahkan dari yang lain karena alasan jabatannya. Kiranya salah satu penderitaan seorang Paus adalah seakan terpisah, atau malahan dipisahkan dari yang lain, sehingga bisa kurang sentuhan akan realitas atau malahan karenanya kurang kenal sungguh dengan pergulatan orang di tengah kenyataan hidupnya. Paus Fransiskus hendak mengurangi jarak tersebut.
Kita bisa menempatkan ini pada nama yang disandang Paus: Fransiskus. Nama tersebut memuat pesan dan program. Pesan dan program yang termut di dalamnya adalah memandang dunia dan kehidupan dari kacamata serta sudut kehidupan orang miskin.
Memang di sekitar proses pemilihan Paus, setelah Benediktus XVI mengundurkan diri, adalah dorongan bagi pembaharuan Gereja. Salah satu bentuk pembaharuan paling nyata terlihat dari bagaimana Paus menghadirkan diri sebagai Paus.
Dia memperlihatkan cara hidup yang sederhana, sebagaimana diteladankan oleh poverello dari Assisi. Kesederhanaan tampak dari sikap, hidup dan pilihan kamar kerja, mobil dan segala apa yang dikenakannya, namun juga dalam sikap dan cara bertindaknya.
Paus Fransiskus menyatakan apa yang menjadi impiannya. Dia memimpikan Gereja yang rendah hati, sederhana, Gereja yang melayani dalam kelembutan, kedekatan dan belaskasihan.
Itulah Gereja yang merangkul dan menyambut siapa saja, menghadirkan wajah Allah yang berbelaskasih. Pembaharuan sejati tumbuh dari belaskasihan, pelayanan yang berarti lahir dari kemurahan hati. Semua ini merupakan pewujudan wajah Allah yang adalah kasih. Kesederhanaan dan kerendahan hati Fransiskus Assisi mengajarkan hal itu dan Paus Fransiskus mencoba menghidupinya.
Kita hidup di tengah masyarakat dengan kultur yang cenderung memuja penampilan, terpukau akan apa yang tampak. Akibatnya kita mudah membayangkan kebesaran dan kemegahan. Kita bisa menyimaknya dengan pameran kemewahan yang seakan lazim ditampilkan dalam media, berjajarnya rumah maupun mobil mewah, dan bahkan pesawat pribadi bisa mudah kita telusuri. Lepas dari persoalan darimana mereka mendapatkan semua itu, namun kita perlu bertanya untuk apa semua itu, apalagi lalu dipamerkannya.
Akan tetapi itulah kenyataan masyarakat kita, suatu sikap yang bisa jadi membuat orang merasa suka bermimpi akan kekayaan, namun di sisi lain bisa mudah memancing kecemburuan sosial. Padahal tidak jarang kekayaan yang dipamerkan itu hanyalah pulasan ataupun tipuan di balik segala salah jalan yang dilakukan.
Paus Fransiskus datang membuka mata kita bahwa apa yang lebih pokok dan mendasar dalam kehidupan ini: kesederhanaan dan keberanian memeluk hal yang biasa. Semakin seseorang sederhana dan berani apa adanya, dia akan semakin mudah menjumpai sesama, terlebih yang kecil, miskin dan menderita. Semakin pula dengannya kita memberikan kesaksian akan apa yang paling pokok dan mendasar dalam hidup ini, tidak bergantung pada aksesori yang lebih sekedar sebagai pulasan saja. Pesan Paus: jangan takut menjadi sederhana dan biasa.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girsonta, Jawa Tengah