HIDUPKATOLIK.COM – Paus Fransiskus dalam kunjungannya di depan para korps diplomatik, politisi dan tokoh masyarakat bicara tentang bagaimana kita menata kehidupan bersama. Menarik kalau Paus juga menyinggung tentang prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan pembukaan UUD 1945. Sepertinya, dia mau mengingatkan kita untuk bekerja sungguh bagi kebaikan semua. Bisa jadi kita telah melupakannya, maka Paus mengingatkan kita akan prinsip dasar kehidupan berbangsa kita.
Gereja Katolik memang dikatakan Paus berjuang bagi kepentingan umum, bagi kesejahteraan bersama. Di hadapan para pimpinan Gereja, dia mengingatkan akan panggilan Gereja memberikan kesaksian akan sukacita kebangkitan. Iman membawa orang untuk mengenali kehadiran Allah dalam sesama dan alam, karenanya memelihara kehidupan.
Harmoni dalam keberagaman bisa tercapai bila kita mengakui keberagaman. Mengasihi sesama hanya mungkin dengan saling mengakui satu sama lain, bagaikan dua tetesan air yang betapapun berbeda namun tetap dibutuhkan, karenanya kita perlu saling menerima satu sama lain, menerima yang lain dalam kesetaraan. Karena itu pembatasam perlu disingkirkan dan membangun jembatan yang menghubungan serta mempersatukan perlu dibuat.
Paus mengatakan hal itu di Gereja Katedral. Keseimbangan perlu ditata di tengah perbedaan, jangan sampai ada pemaksaan kehendak. Untuk itulah jalan dialog perlu terus-menerus dibangun, agar prasangka bisa disingkirkan dan iklim saling menghargai serta saling percaya dapat semakin tumbuh. Paus memberi catatan di sini tentang masih lebarnya kesenjangan sosial di negeri ini, dan hal itu menghambat tumbuhnya persaudaraan.
Kekerasan bisa terjadi, demikian Paus mengatakan di depan Presiden Joko Widodo dan para pejabat lainnya, kalau ada pemaksaan kehendak, penyeragaman serta tiadanya penghargaan akan otonomi diri pribadi. Akibatnya ada banyak orang yang hidupnya berada di kawasan pinggiran, tidak memiliki sarana dan bantuan untuk hidup sesuai dengan martabatnya, bahkan tidak berdaya menghadapi kesenjangan sosial yang bisa memicu datangnya konflik parah.
Paus kemudian mengutip ungkapan klasik dalam tradisi ajaran sosial Gereja dari Pius XII, opus iustitiae pax, perdamaian adalah buah dari keadilan. Tanpa perdamaian dalam kehidupan bersama kalau tanpa keadilan.
Mungkin bisa kita menambahkan dari pernyataan dari Paus Yohanes Paulus II, Opus solidarietatis pax, perdamaian adalah buah dari solidaritas. Solidaritas sebagai suatu sikap serta gerakan untuk menghalau penindasan, ketidakadilan, kemiskinan, agar budaya kasih dan pelayanan kasih, yang menandai adanya semangat rekonsiliasi dan persahabatan, semakin tumbuh.
Paus seakan hendak mengatakan ada problem serius di negeri ini: ketidakadilan. Hal tersebut tidak hanya dilihat sebagai persoalan sosial, namun juga persoalan iman. Kita perlu senantiasa bertanya sejauhmana saya berbela rasa, hati yang tergerak oleh belaskasihan. Belaskasihan bukanlah sekadar berbagi derma atau bantuan, namun berani menanggalkan rasa aman dan nyaman kita untuk dekat dengan sesama.
Maka bagi Fransiskus belaskasihan, salah satu tema yang diangkat dalam kunjungan ke Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari tema persaudaraan. Kalau kita membangun hidup berdasarkan kalkulaasi, kepentingan diri, maka kita akan menumpuk untuk diri sendiri atau kelompok sendiri, akibatnya kita malahan akan merusak ciptaan serta memecahbelah persaudaraan.
Paus Fransiskus mengingatkan pada gagasan yang disukainya tentang polihedron. Realitas kehidupan ini, betapapun satu kenyataan namun terbangun dari berbagai lapisan yang walaupun berbeda namun saling terkait satu sama lain. Kita karenanya perlu keluar dari kungkungan keberpusatan diri, seakan hanya mau mengejar apa yang dipandang baik dan benar sendiri, sehingga malahan menyingkirkan pihak lain, sehingga prinsip keadilan sosial diabaikan.
Kita perlu berupaya berssama untuk mengalahkan segala bentuk kesenjangan moral, ekonomi dan sosial, sehingga membangun keselarasan dan kedamaian. Gagasan akan polihedron ini dapat merupakan tanda kesatuan di tengah keberagaman yang ada di bumi Indonesia. Saat bertemu di Grha Pemuda, yang masih berada di kompleks katedral Jakarta, Fransiskus menyebut kekuaran akan keunikan serta keberagaman sebagai modal berharga dalam membangun kehidupan bersama.
Gerakan Scholas Occurrentes
Gerakan Scholas Occurrentes yang telah lama digagas Paus Fransiskus saat masih menjadi Uskup di Buenos Aires diterjemahkan dalam konteks Indonesia dalam gagasan akan “hati Indonesia”, yang tidak lepas dari gagasan Fransiskus tentang polihedron.
Gerakan ini melibatkan pula banyak kalangan Muslim, memadukan kesetaraan serta persaudaraan lintas batas, yang memadukan antara unsur akademis, namun pula seni, teknologi dan olahraga.
Pembentukan pribadi yang utuh memang senantiasa menjadi perhatian dari Paus. Membangun budaya perjumpaan, itulah angan yang dicoba diwujudkan Paus lewat gerakan ini. Di tengah kenyataan krisis yang melanda dunia ini, kita akan cenderung melawan satu sama lain. Dia karenanya memandang penting serta mendasarkan peran pendidikan untuk menerobos batas, yang cenderung membangun dunia sempit di seputar dirinya.
Paus karenanya mendorong Gereja Indonesia untuk melanjutkan karya misinya, membangun hidup yang kukuh dalam iman, terbuka bagi semua dalam persaudaraan serta kedekatan dengan yang lain dalam belaskasihan. Teguh, berduka dan dekat, baginya merupakan kekuatan iman.
Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan beragam budaya maupun dalam banyak hal, senantiasa mensyaratkan akan keterbukaan untuk menerima semua. Maka bagi Paus Fransiskus iman, persaudaraan serta belaskasihan bukan sekedar tema, melainkan pula pesan. Maka pesan tersebut diberikan Paus kepada Gereja Indonesia tidak hanya dihidupi namun pula diperjuangkan bagi Indonesia yang adil, damai dan sejahtera.
Paus datang memberi catatan, yang ada nada kritik, namun pula tantangan. Memang kita perlu bersama berjuang bagi masa depan bangsa ini.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog