HIDUPKATLIK.COM – SAYA merasa terhormat dan gembira, dalam rangka kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia yang segera berlangsung, untuk menyajikan kepada para pembaca Majalah HIDUP, sebuah refleksi tentang Takhta Suci dan Bapa Suci, dalam pelayannya kepada Gereja Universal dan Gereja-Gereja Lokal, komunitas bangsa-bangsa, khususnya Indonesia, dan seluruh umat manusia.
Banyak orang di Indonesia, dari para cendekiawan hingga siswa muda, dari perwakilan berbagai agama hingga para politisi dan pebisnis, yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Sri Paus, tentang jabatan rohaninya sebagai gembala tertinggi Gereja Katolik yang menduduki Takhta Suci. Banyak orang juga tertarik mengenal lebih dalam tentang kediaman Paus di “Stato della Citta del Vaticano,” atau “Negara Kota Vatikan”, yang merupakan sebuah Negara Berdaulat berdasarkan hukum dan pengakuan internasional.
Mereka ingin tahu tentang fungsinya, baik sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sedunia, maupun sebagai kepala negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan 183 negara, termasuk Indonesia. Menarik untuk diketahui, negara terakhir yang menjalin hubungan diplomatik dengan Takhta Suci adalah Myanmar, pada tanggal 4 Mei 2017.
Namun harus saya katakan bahwa Bapa Suci dan Takhta Suci, sejak masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), selalu memperhatikan negara besar ini. Pada tanggal 1 Juni 1947, Mgr. Georges de Jonghe D’Ardoy diangkat oleh Paus Pius XII, menjadi Utusan Kepausan (Utusan Apostolik) untuk Gereja Katolik di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, hubungan diplomatik antara Vatikan dengan Republik Indonesia dibuka pada 10 Januari 1950.
Pada tanggal 16 Maret, Mgr. G. de Jonghe D’Ardoy menyerahkan surat-surat kepercayaan sebagai Duta atau Nunsius Apostolik kepada Presiden Soekarno. Dari pihak Indonesia, Dr. Sukardjo Wiryopranoto diangkat sebagai Duta Besar pertama untuk Takhta Suci. Lalu ia menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Sri Paus pada tanggal 25 Mei 1950.
Dalam terang ikatan yang erat dan bersahabat ini, baik Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto pernah mengunjungi Sri Paus pada tahun 1956, 1959, dan 1972. Presiden Abdurrahman Wahid juga mengunjungi Paus pada 5 Februari 2000. Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II juga berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970 dan 1989.
Minat orang-orang terhadap Takhta Suci dan Vatikan dibuktikan oleh banyaknya surat, khususnya dari kaum muda, yang isinya meminta kepustakaan dan informasi dari Nunsiatura Apostolik di Jakarta. Banyak orang Indonesia, Katolik maupun bukan, berziarah ke Roma untuk mengunjungi Vatikan dan bertemu dengan Sri Paus dalam audiensi umum setiap hari Rabu. Banyak orang sangat terkesan oleh corak rohani kepemimpinan Gereja Katolik, suasana yang sangat khidmat dan keindahan arsitektur Gereja Basilika Santo Petrus, serta khazanah karya agung di bidang seni, filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan, yang dihasilkan banyak orang berpendidikan selama hampir dua ribu tahun.
Orang Indonesia yang mampu mengunjungi Kota Abadi menceritakan pengalaman dan kesan mereka kepada orang lain yang belum sempat berkunjung ke sana, dan mereka ini juga pada gilirannya ingin tahu tentang Vatikan dan Sri Paus. Teristimewa, mereka berminat terhadap kekuatan spiritual batiniah, yang merupakan jiwa jabatan Paus, Negara Kota Vatikan, dan apa sebabnya keduanya dapat bertahan dengan kokoh selama hampir 2000 tahun. Apa artinya semua gelar resmi Sri Paus, seperti: Uskup Kota Roma, Wakil Yesus Kristus, Penerus St. Petrus, Kepala Gereja Universal, Uskup Tertinggi Italia, Uskup Agung dan Metropolit dari Provinsi Gerejani Roma, Penguasa Tertinggi Kota Vatikan, dan terutama, Hamba dari Semua Hamba Allah?
Asal Usul Jabatan Kepausan
Kalau kita menelusuri sejarah dalam mencari asal-usul atau akar jabatan Kepausan, kita tiba pada titik awal Kekristenan hampir dua milenium yang lalu. Petrus, seorang nelayan dari Galilea, dipanggil Yesus untuk menjadi salah seorang di antara kedua belas rasul atau pembantu-Nya yang dekat.
Pada suatu waktu, Petrus dipercayakan tugas memimpin umat dan juga rekan-rekannya. Kita dapat membaca tentang penugasan itu dalam Injil yang ditulis Matius, ketika Yesus berkata kepadanya: “Engkau adalah Petrus dan di atas ‘batu karang’ ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku … Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di Surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia ini, akan terlepas di surga” (Matius 16:18-19).
Pada kesempatan lain Yesus berkata kepadanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-17). Teks ini menunjukkan bahwa Petrus akan menjadi orang yang diserahi tanggung jawab atas persekutuan para pengikut Yesus di seluruh dunia, dan di sepanjang sejarah, hingga hari ini. Sejak permulaan jelaslah bahwa kepemimpinannya berciri rohani. Menjelang hari wafat-Nya, Yesus berkata kepada Petrus: “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insyaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:32). Tugasnya ialah menguatkan iman rekan-rekannya maupun seluruh umat.
Konsili Vatikan II, yang menyatakan rumusan hakiki ajaran Katolik, merumuskan hal tersebut sebagai berikut: “Supaya para Uskup sendiri tetap satu dan tak terbagi, Ia (Yesus Kristus) mengangkat Petrus menjadi ketua para rasul lainnya. Dalam diri Petrus itu, Ia menetapkan adanya azas dan dasar iman serta persekutuan yang tetap kelihatan” (Lumen Gentium, 18).
Takhta Suci di Roma
Ketika umat Kristiani mulai berkembang di daerah-daerah Timur Tengah dan di sekitar Laut Mediterania, Petrus Berangkat dari Yerusalem ke Roma, ibu kota Kekaisaran Romawi dan kota yang paling berpengaruh di dunia pada masa itu, mendirikan rumahnya di sana, dan dapat kita katakan, kantor pusatnya. Kata “Takhta Suci” atau dalam bahasa Inggris “Holy See” mengacu pada jabatan itu, dan bukan pada suatu singgasana kerajaan politik.
Hal ini sama seperti dalam Bahasa Indonesia, kata “kursi” mengacu pada jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan bukan pada tempat duduk, begitu juga kata “takhta” dipakai di sini untuk jabatan pemimpin rohani tertinggi di dalam Gereja.
Dalam konteks ini, Petrus menduduki “kursi” atau posisi paling tinggi dalam mengajarkan Sabda Tuhan dan membimbing umat di jalan Tuhan yang berpusat di Roma. “Takhtanya” disebut “Suci” karena jabatannya bersifat rohani.
Negara Kota Vatikan
Negara Kota Vatikan adalah wilayah geografis independen yang darinya Paus bebas mengemban jabatan rohaninya dalam membimbing banyak orang menurut ajaran Yesus. Ia mulai berdiri sejak Perjanjian Lateran yang diadakan antara Takhta Suci dan Kerajaan Italia pada tanggal 11 Februari 1929.
Di pihak Paus, pemikiran dasar perjanjian itu ialah sebagai Kepala Rohani Gereja Katolik, ia mempunyai pengakuan hukum internasional. Dan, memang, hukum internasional menerimanya sebagai Kepala Gereja Katolik, bukan hanya sebagai Kepala Negara (Kota) Vatikan. Apabila Sri Paus memiliki kedaulatan teritorial, hal itu hanya bersifat pendukung dan fungsional bagi misi rohani dan moralnya.
Contoh yang baik untuk menjelaskan hal tersebut ialah dengan membayangkan sebatang lilin yang menyinari dan menerangi di atas kandil. Negara Kota Vatikan mendukung misi rohani Takhta Suci di seluruh dunia bagaikan kandil yang menopang lilin yang menyala. Inilah alasan diperlukannya negara kecil dan independen yang melindungi kepemimpinan rohani Takhta Suci dari konflik antar bangsa atau kepentingan politik mereka.
Komunitas internasional, oleh karena itu, tidak hanya mengakui Negara Kota Vatikan, tetapi juga mengakui Takhta Suci sebagai lembaga internasional yang berdaulat, yang dipahami – sebagaimana saya katakan sebelumnya – sebagai jabatan Paus Roma dalam pemerintahan pusat Gereja Katolik. Sesungguhnya, hukum internasional telah mencermati fakta bahwa Takhta Suci ditempatkan di dalam sistem internasional dan telah menaruh perhatian akan kemampuannya untuk bertindak seturut kekhususan rohaninya.
Kesimpulan
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya hendak menjelaskan secara singkat tentang alasan dan tujuan kehadiran dan aktivitas internasional Takhta Suci. Ada dua tujuan.
Pertama, tujuan gerejawi: perlindungan dan dukungan terhadap kebaikan Gereja dan kestabilan persatuan dan persekutuan di antara Gereja-Gereja lokal dengan Gereja Roma. Tugas ini juga dilaksanakan dengan masuk ke dalam dialog yang konstruktif, berbuah dan saling menghormati, bersama Pemerintah dan Agama-Agama lain di Negara masing-masing tempat Gereja Katolik memenuhi misinya.
Kedua, terdapat pelayanan lain yang dilakukan Paus melalui aktivitas internasional Takhta Suci. Di antara semua gelar yang diatributkan kepada Bapa Suci – dan yang telah kita sebutkan – terdapat satu gelar yang amat penting, yakni “Hamba dari Segala Hamba Allah”. Dan Allah, kita semua tahu, adalah Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa yang Mahakuasa dan berbelas kasih di sepanjang sejarah.
Allah tidak menciptakan dunia dan manusia untuk ditinggalkan dan diabaikan seturut takdir mereka, tetapi Allah mengarahkan mereka kepada realisasinya yang penuh. Tuhan telah memberikan kepada Gereja cinta kepada dunia dan semua umat manusia. Itulah sebabnya, menurut tradisi kuno dan menurut prinsip-prinsip hukum internasional, Paus, “Hamba dari Segala Hamba Allah”, melalui jabatannya dan juga melalui rekan kerjanya, melaksanakan misinya dalam melayani dunia dan semua orang tanpa membeda-bedakan ras, bahasa, dan agama.
Secara khusus, guna menggambarkan kontribusi yang ditawarkan Paus, Takhta Suci, dan pelayanan diplomatiknya kepada komunitas bangsa dan perdamaian, sangat berguna untuk membuat daftar tiga prinsip yang menjadi dasar bagi pemahaman tentang kehadiran internasional Takhta Suci. Ketiga prinsip ini juga membantu kita memahami mengapa kehadiran ini dikehendaki Bangsa-Bangsa, dan hal ini bisa dilihat semua orang dan juga diikuti dengan teliti oleh media.
- Hakikat religius dan rohani dari Takhta Suci menuntunnya untuk selalu menjunjung tinggi perdamaian dan kebutuhan untuk mencari solusi damai bagi resolusi krisis di dalam Negara tertentu dan di antara Bangsa-Bangsa.
- Hakikat universal Takhta Suci memungkinkannya untuk mengikuti dengan cermat semua situasi kritis yang dapat meledak di dunia.
- Terakhir, hakikat kemanusiannya membimbingnya untuk menegaskan perlunya mengambil langkah yang pantas, sehingga banyak orang, dan, terutama, anak-anak, orang sakit, dan mereka yang tidak terkait konflik, tidak menderita karena keputusan yang diambil untuk menyelesaikan krisis, dan sayangnya, kita tahu bahwa keputusan demikian terkadang keliru karena mencakup perang, perpecahan, dan permusuhan.
Para sahabat terkasih, dengan beberapa patah kata, saya telah mencoba menjabarkan bagaimana kehadiran dan langkah Takhta Suci, khususnya melalui pribadi Bapa Suci, telah muncul, sebagaimana ia berkembang di dunia, khususnya di Indonesia, yang mana karakteristiknya membuatnya memenuhi syarat dan menjadikannya sarana yang berharga bagi pelayanan Bapa Suci untuk Gereja dan perdamaian serta koeksistensi di antara bangsa-bangsa.
Di akhir kontribusi kecil ini, saya hendak berterima kasih kepada Majalah HIDUP karena telah mengizinkan saya untuk menjangkau banyak orang, Katolik dan non-Katolik di Indonesia dan luar negeri, yang mengikuti kunjungan Bapa Suci, yang bergembira dan mengakui kehadirannya di Negara yang luhur ini! Saya berharap agar benih pengetahuan ini – yang disebarkan melalui kata-kata saya yang sederhana ini – dapat jatuh ke tanah yang baik dan bermanfaat bagi Anda semua.